Share

Fakta yang Menyakitkan

Matahari pagi bersinar melewati celah gorden apartemen milik Evan. Setelah papanya tahu dia menceraikan dan mempermainkan sebuah pernikahan, ia diusir dari rumahnya. Meksipun begitu, Evan masih tetap bekerja di anak perusahaan milik papanya. Dia memang orang yang ahli di bidangnya, bagaimanapun juga perusahaan itu membutuhkan keahliannya.

Evan mengerjapkan matanya, sejak merasa dikhianati dan di permainkan oleh Anin, ia makin jauh dari Tuhannya. Evan memijit pelipisnya, kepalanya terasa sakit. Sudah beberapa bulan ini dia mengalami insomnia, tertidur selalu menjelang dini hari dan akan bangun dalam keadaan kepala pusing.

Hampir satu tahun berlalu sejak kejadian itu, tapi rasa sakitnya tetap membekas. Sedalam cintanya pada Anin sedalam itulah rasa sakit yang dideritanya, dan hingga saat ini dia tidak berniat untuk dekat lagi dengan wanita manapun meksipun mamanya trus berusaha menjodohkannya kembali.

Hari ini Evan berencana untuk memeriksakan diri ke Nathan, temannya seseorang dokter yang dulu sering dia ajak pergi ke yayasan. Setelah menikahi Anin dan melakukan hal buruk padanya, Evan tidak pernah lagi pergi kesana. Semua hal yang dulu pernah dia lakukan di yayasan itu di handel oleh asisten pribadi papanya.

Bukan tanpa alasan dia tidak ingin pergi kesana, pertama dia tidak ingin bertemu Anin karena Anin juga mengajar disana. Kedua, jika Anin buka mulut tentang hubungan mereka, dia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada pimpinan yayasan yang sudah menikahkan mereka. Evan benar-benar menjadi seorang pengecut setelah semua peristiwa itu.

Bergegas Evan mandi dan membersihkan diri, kemudian berganti pakaian dan sarapan seadanya dengan roti tawar di baluri selai. Setelah siap dia segera pergi kerumah sakit tempat Nathan bekerja, dia sudah membuat jadwal dengannya.

Sesampainya dirumah sakit, Evan langsung pergi ke ruangan Nathan karena ia datang tepat waktu sesuai janji ketemu.

"Apa yang kamu keluhkan bro?" Nathan bertanya dengan santai pada sahabatnya itu. Ia merasa hasil pemeriksaan Evan baik-baik saja tidak ada masalah, dia mengira sahabatnya ini bukan fisiknya yang sakit tapi jiwanya.

"Aku gak bisa tidur beberapa bulan ini?" jawab Evan malas.

"Kenapa? sibuk ngurus anak dan istri?" tanya Nathan dengan tergelak.

"Apaan sih loe Tan?" sunggut Evan.

"Ya sejak menikah kamu gak pernah ngajak aku lagi ke yayasan itu, bahkan kita udah jarang banget ketemu. Dan kamu sembunyikan istrimu itu seperti barang berharga, seolah-olah akan di ambil orang lain. Yaa walaupun sebenarnya, mau juga sih aku mengambilnya jika kamu tak mau sama dia," kelakar Nathan.

Evan melotot ke arah sahabatnya, merasa tidak senang dengan ucapnya barusan. Apa lagi dia menyinggung akan mengambil Anin jika dia sudah tak mau.

"Awas kamu berani macam-macam sama dia!" ancam Evan.

Bagaimanapun juga ia tak rela jika mantan istrinya bahagia dengan laki-laki lain, apa lagi itu sahabatnya sendiri.

"Bagaimana anak kalian? sudah lahir dong?" tanya Nathan.

Nathan malah terus membicarakan keluarga Evan, mungkin dari situ dia akan dapat jawaban tentang sakit yang diderita temannya. Jika dia menyuruh Nathan datang ke pisikolog langsung, pasti laki-laki itu akan memakinya seketika itu juga.

"Anak?" lirih Evan hampir tak terdengar.

"Iya anak, sebulan setelah kalian menikah aku melihat dia masuk ke ruangan obgyn sendirian. Tentu istrimu itu hamil dong?"

Ucapan Nathan barusan sukses membuat jantung Evan berdetak lebih cepat dari jantung orang dalam keadaan normal.

"Kapan kamu melihatnya?" cecar Evan.

"Sekitar sebelas bulan yang lalu, kenapa? sepertinya kamu kok kaget begitu?"

"Siapa dokter yang bertugas saat itu?" Bukan menjawab pertanyaan Nathan tapi Evan malah bertanya hal lain.

"Ada apa ini? kenapa reaksimu seperti itu sih. Ada apa sebenarnya?" tanya Nathan curiga.

"Aku enggak bisa menceritakannya sekarang, cari tahu siapa dokter yang bertugas saat itu," titah Evan.

"Kamu menyuruhku bro? kamu pikir aku asisten atau sekertaris kamu yang kamu bisa perintah sesuka hati? sanalah cari tahu sendiri dibagian informasi," tolak Nathan.

"Mana bisa begitu, kamu harus menolongku!"Evan berkata sambil menarik tangan Nathan dengan paksa.

Mau tidak mau akhirnya Nathan mengikuti kemauan Evan, jika tidak maka dia tak akan bisa bekerja seharian ini. Mereka pergi ke bagian informasi, dan dengan bantuan Nathan dapat juga nama dokter yang bertugas saat itu. Teknologi memang membantu memudahkan urusan semua orang sekarang.

Entah kebetulan atau keberuntungan, dokter yang bertugas saat itu adalah Aletta temannya juga. Dahulu saat sekolah menengah atas, mereka berlima adalah sahabat yang dekat. Namun setelah kuliah, mereka mengambil jalan masing-masing sesuai profesi yang ingin mereka geluti.

Evan mengambil kuliah jurusan arsitektur, Nathan dokter umum, Aletta dokter kandungan, Bella menjadi pengacara dan Malik mendapatkan beasiswa kuliah di negara Piramida.

Setelah mendapat informasi, Evan segera meninggalkan Nathan dengan sejuta pertanyaan dan mencari Aletta, karena Aletta tidak ada jadwal praktek hari ini. Evan sibuk dengan ponselnya menghubungi Aletta.

"Letta, kamu dimana? aku ingin ketemu," ucap Evan tanpa basa-basi setelah sambungan telepon terhubung.

"Ya udah aku kerumah," ucap Evan kemudian mematikan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya.

Tanpa menunggu lagi, Evan segera memacu kendaraannya menuju rumah Aletta. Dia sangat ingin tahu tentang kebenaran cerita Nathan, apa benar Anin hamil. Kalau memang hamil, kenapa tidak mencarinya untuk meminta tanggung jawab seperti apa yang di katakan mamanya.

Kalau tidak hamil untuk apa pergi ke dokter kandungan, apa dia terus memeriksakan diri pada Aletta apa cuma sekali. Jika Anin benar-benar hamil harusnya dia sudah melahirkan sekarang. Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam otaknya yang tidak ada jawaban atas itu.

Setelah lama berkendara, akhirnya Evan sampai juga dirumah Aletta. Setelah di persilahkan masuk oleh pembantu rumah tangganya, Evan menunggu Aletta di ruang tamu dengan tidak sabar.

"Letta, apa wanita ini memeriksakan diri padamu?" Segera setelah Aletta datang dihadapannya dia menyodorkan foto Anin yang ada di smartphone miliknya sambil bertanya pada temannya itu.

Evan memang masih menyimpan foto Anin meskipun hanya satu. Foto Anin yang dia ambil diam-diam saat tersenyum dengan manis dan berbincang dengan Meysha. Jarak mereka yang tidak berdekatan saat berbincang, membuat Evan bisa mengambil gambar Anin seorang.

"Apaan sih kamu ini, datang-datang langsung tanya pertanyaan gak jelas. Kamu pikir pasienku cuma satu orang saja!" sunggut Aletta.

"Ah benar juga apa yang kamu bilang," desis Evan lemah.

Bahkan rasa kagetnya membuat otaknya tidak bekerja sebagaimana mestinya.

"Memangnya siapa wanita itu?" tanya Aletta.

Evan diam tidak menjawab, memang pernikahannya yang di lakukan dengan tergesa-gesa itu hanya di hadiri oleh orang tuanya dan Nathan sebagai saksi dari pihak laki-laki karena Nathan juga sudah sering datang kesana bersamanya.

Alibinya untuk segera menikah secara agama karena takut berzina membuat semua berjalan mulus, semua orang juga tahu menikah secara agama itu sudah sah. Tapi karena hidup di negara yang memiliki aturan hukum dan administrasi, maka sebagai warganya harus mengikuti segala peraturannya untuk memudahkan segala urusan dan dapat perlindungan hukum bagi istri maupun calon anak dari hasil pernikahan tersebut.

"Bisakah kamu membantuku melihat data wanita ini, aku akan mengirimkan fotonya dan data dirinya, kira-kira dia memeriksakan diri pertama kali sekitar sebelas bulan yang lalu," pinta Evan dengan memelas.

"Tapi siapa wanita itu?" tanya Aletta lagi.

"Aku tidak bisa memberitahukan itu padamu saat ini, aku mohon tolonglah. Ini sangat aku butuhkan."

Aletta menarik nafas dalam-dalam," Baiklah, tapi kamu harus menunggu," ucap Aletta.

"Berapa lama?"

"Seminggu," jawab Aletta.

"Lama sekali Letta, apa tidak bisa lebih cepat?"

"Itu sudah lama berlalu Evan, apalagi sepertinya aku tidak pernah melihatnya. Mungkin dia hanya sekali datang padaku!" Aletta berkata dengan kesal.

"Baiklah, aku tunggu. Aku pergi dulu," Evan berpamitan dengan wajah lesu.

Aletta hanya bisa menggeleng kepalanya melihat kelakuan temannya, datang padanya hanya ingin menanyakan hal itu, segitu pentingnya kah wanita itu. Siapa dia, Aletta menjadi penasaran.

Setelah keluar dari rumah Aletta, Evan berpikir untuk pergi ke rumah yang dia tinggalkan untuk Anin. Evan berpikir daripada lama menunggu bukankah dia bisa saja datang kesana langsung untuk memeriksanya. Jika tidak masuk, setidaknya dia bisa melihat dari jauh.

Evan berkendara dengan kecepatan tinggi, ia begitu penasaran dengan mantan istrinya itu. Apakah Anin benar-benar hamil, begitu mudahnya kan wanita itu hamil hingga sekali saja mereka melakukannya langsung tumbuh benih di rahimnya.

Evan memarkirkan kendaraannya cukup jauh dari rumah Anin, pandanganya lurus ke arah halaman rumah yang terlihat kotor tidak terawat. Perlahan dia keluar dari mobilnya dan mendekati rumah itu.

Pagar rumah hanya di kunci dengan selot hingga siapapun bisa membukanya.

"Kenapa rumah ini seperti lama tidak dihuni?" bisiknya dalam hati.

Segera dia berjalan kearah pintu dan hendak membukanya tapi ternyata terkunci. Dia ingat memiliki kunci cadangan yang ia simpan.

Sejak kapan Anin pergi dari rumah ini, kemana dia pergi. Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.

🍁🍁🍁

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
rasain loh Van laki2 kurang ajar cuma mau ngambil mahkota nya doang .klo kmu punya adik perempuan adik mu sama d perlakukan sama kaya anin kmu klga mu terima g ....
goodnovel comment avatar
Dewi Astati
mantap sekali ceritanya...
goodnovel comment avatar
Pangestu Kholiq
mantap ok.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status