Share

Bab 4

SEBENING CAHAYA CINTA 4. 

**

PoV Cahaya. 

"Cahaya, kamu barusan pegang handphone aku ya? Ini terasa panas, nggak mungkin kalau nggak kamu pegang. Udah berapa kali ku bilang sama kamu. Jangan pernah pegang handphone ku karena aku nggak suka!" 

Aku tersentak saat Mas Arman bangun. Dia segera mengambil gawainya diatas nakas. 

"Enggak, kok. Tapi, kalaupun aku pegang sebenarnya kan nggak masalah. Bukankah kamu suami ku. Nggak ada rahasia dan nggak ada yang ditutup-tutupi dari suami istri!" kataku ke Mas Arman. 

"Manusia hidup itu perlu privasi. Ngerti kamu! Jadi aku minta sama kamu. Kamu jangan berani pegang handphone ku karena itu adalah privasi ku dalam bekerja!" 

Mas Arman mencoba mencari pembenaran atas apa yang dia katakan. Entah kenapa rasanya hatiku tidak sakit lagi, lebih ke hambar. Aku sudah sering dihina oleh suamiku sendiri dengan perkataan yang tidak pantas. Seharusnya suami memberikan pujian kepada istrinya agar istrinya semangat mengerjakan pekerjaan rumah dan semangat merias diri. 

Tetapi tidak dengan mas Arman memberikan segala penghinaannya tanpa memikirkan perasaanku sama sekali. Kali ini melihat chatnya dengan wanita lain justru rasa sakit hatiku itu hilang entah ke mana. Aku nggak tahu lagi apakah aku benar-benar mencintainya sekarang atau tidak. Tapi rasanya cinta itu sudah pudar seiring perkataan kasar yang selalu dilontarkannya. Bahkan dia mengatakan kepadaku kalau dia mau menikah lagi tanpa rasa bersalah dan justru menyalahkan diriku karena penampilanku yang dia nilai d e k i l menurut pandangannya sendiri. 

"Terserah kamu deh, Mas. Lagian handphone kamu kalau aku pegang pun aku nggak bisa membukanya, ada sandinya yang kamu sembunyikan. Kalau memang keinginan kamu kita membuat privasi masing-masing. Ya udah itu hak kamu aja! Aku juga akan membuat privasi dengan kamu!" kataku kesal padanya sekaligus berdusta. Padahal aku tahu chat nya dengan Angela. 

"Bagus kalau kamu gak tau apapun. Dan aku peringatkan sama kamu ya jangan kamu berani-berani lagi pegang handphone ku karena aku nggak suka! Kalau kamu mau buat privasi sendiri juga terserah kamu. Lagian hidup kamu monoton. Apa yang perlu di privasikan!" 

Aku berlalu dari kamar meninggalkan Mas Arman yang mendumel sendirian. Aku masuk ke kamar putriku karena di kamar anak-anak ku rasanya lebih nyaman. Mas Arman tidak pernah mempermasalahkan ini. Sudah 1 bulan kami tidak tidur dalam satu ranjang dan tidak melakukan hubungan badan. Entah kenapa dia tidak pernah mengajakku lagi. Mungkin ada orang yang di luar sana yang lebih menarik perhatiannya. Aku juga nggak tahu. Atau dia bahkan j i j i k melihat wajahku yang sudah berubah dan aku menutupinya dari dirinya. 

**

Pagi hari seperti biasa Mas Arman sarapan di rumah sebelum dia pergi ke kantor dan hari ini aku juga ada jadwal di tokoku. Kenapa suamiku nggak tahu kalau aku punya toko sendiri sekarang? Karena banyak yang aku rahasiakan dari dia. Termasuk perkenalanku dengan seseorang yang terus kurahasiakan. 

Sudah 2 tahun aku mengalami penghinaan. Selama ini dia membully ku dan menghinaku sesukanya, rasa sakit hati itu aku simpan sendiri. Bila berbicara denganku maka hanya penghinaan saja yang ku dapatkan. Tidak ada hal lain. Dia selalu mengatai ku j e l e k, gen dut, jerawatan dan sesukanya saja. 

6 bulan lalu aku ter t a m p a r dengan rasa sakit hati yang sudah begitu membara dalam diri yang diciptakan oleh suamiku sendiri beserta keluarganya. Selama tersadar itulah aku mencoba berpikir apa yang aku lakukan agar bisa mengangkat derajatku serta anak-anakku.

Aku tidak menyangka kalau pertolongan Allah itu datang begitu saja. Setiap hari aku berdoa, Alhamdulillah terkabul. Aku punya uang hanya dalam waktu dua bulan dan membangun usaha dengan modal itu dalam kurun waktu hampir lima bulan. Usahaku mengalami kemajuan luar biasa. Selama itulah aku merubah penampilan diri. Dalam kurun waktu beberapa bulan wajahku glazed bercahaya. Kulit mulus seperti impian Mas Arman. Tapi, sayangnya ini dengan modalku sendiri tak ada seujung kuku dari uang suamiku. 

Kami lebih banyak melakukan penjualan online walau offline ada juga di toko yang berjarak tak terlalu jauh dari rumah. Melakukan perjalanan sekitar empat puluh menit dengan motor sampailah ke pusat kota di mana aku memiliki toko yang menjual skincare, pakaian wanita dan lain-lain. 

Bisa di katakan aku mendapatkan semuanya ini sangat mirip seperti roller coaster, begitu cepat. Sehingga membuka mataku untuk memberi pelajaran kepada suami yang selalu menyakiti hatiku. Dia sama sekali tidak aku beritahu dan sama sekali tidak kulibatkan begitu pula dengan keluarganya. Mas Arman pergi pagi dan pulang malam. Makanya gak tau apa apa tentang kegiatanku. Hanya Ratu yang tahu, anakku yang berusia enam tahun. Tetapi, dia sangat pintar dan mau merahasiakan dari mereka. 

"Cahaya, baju kamu kok kayak kebesaran. Kamu kayak kurusan?" tanyanya memperhatikan ku saat aku sedang mencuci piring. 

"Oh ya. Ya aku agak kurusan karena diet dan sering puasa," kataku. 

Akhirnya dia melihat juga perubahan di tubuhku. Mas Arman kembali melanjutkan makan lagi. 

"Cahaya, kalau memang kamu udah agak kurusan. Jangan lagi pakai baju yang kebesaran kayak gitu. Apa kamu nggak malu nggak ada baju lain kah, Cahaya?" tanyanya lagi. 

"Gak ada. Kapan kamu belikan aku baju baru. Kayaknya gak pernah! Aku juga agak kurusan karena makan hati!" kataku ketus

"Makan hati? Bagus dong, bicara asal sama kamu berbuahkan hasil tubuh g e n t o ng kamu menyusut. Hahaha ... Ya udah minta aja sama Arum, Ria bahkan ibu. Banyak baju bekas mereka yang bisa kamu pakai," katanya enteng tanpa rasa bersalah. Perkataannya selalu saja menyakiti hatiku. 

"Kamu gak malu, Mas. Katanya mau menikah lagi. Masa membelikan baju baru buat aku kamu gak bisa?!" kataku ketus. 

"Itukan baru rencana. Calonnya aja belum ada. Lagian apa hubungannya menikah lagi sama baju baru!" katanya tetap gak mau mengalah. 

Aku hanya mencibir sinis. Calonnya pasti Angela yang dia chat tadi malam. 

"Kamu boleh deh menikah lagi, Mas. Tapi, aku mundur sebagai istrimu! Kamu pasti gak butuh istri gen-tong seperti kamu bilang!" ketusku. 

"Mundur? Sok banget kamu. Kalau gak jadi istriku kamu ngemis di lampu merah. Kalau kamu mau mundur jangan bawa anak-anak. Nanti jadi pengemis lagi kamu buat!" katanya tanpa dosa. 

Prang! 

Aku membanting piring kaleng. Suaranya berdentum keras. Mas Arman terkaget. Dia tahu aku protes dan marah dengan perkataannya. 

"Aku akan buktikan kalau aku bisa menafkahi anak-anak bahkan tanpa bantuanmu. Bukan dengan cara mengemis!" kataku berlalu. Kesal berbicara dengan lelaki kayak Mas Arman. 

"Heh, Cahaya ..." 

Mas Arman memanggil. Namun, aku tak menggubris lagi. 

"Assalamualaikum." 

"Ibu," kata Mas Arman. 

Rupanya Ibunya datang dengan Ria. Pasti mau minta uang. 

"Kamu lagi ngapain, Arman? Ibu sama Ria mau bilang sesuatu," kata Ibu begitu saja ke Mas Arman. 

"Aku lagi sarapan, Bu. Baru selesai. Ibu mau apa?" tanya Mas Arman. 

"Ibu sama Ria mau membeli sesuatu di live. Katanya kalau live harganya lebih murah. Skincare sama baju. Bagus deh, tapi kami nggak ada uang. Bisa nggak minta uang kamu, Arman. Bulan ini kamu belum kasih sama Ibu," sahut Ibu dengan lembut karena ada maunya. 

"Live di mana, Bu?" tanyaku menyambung. 

"Eh, kamu kok an-cur banget penampilannya. Baju kelonggaran di pakai! J e l e k banget kamu, Cahaya," kata Ibu mengejekku. 

"Aku gak punya baju, Bu! Ibu mau beli di toko apa?" sahutku ketus. 

"CR&R fashion!" kata Ibu. 

Aku tersenyum itukan tokoku. CR&R artinya Cahaya, Ratu dan Rani. Namaku dan anak-anakku. Bagus Bu, belanja kan uang kalian banyak-banyak di toko ku agar aku cepat kaya, batinku. 

"Ya udah. Aku bakal Kasih Ibu uang seperti Ibu mau tetapi ibu kasih baju-baju bekas ibu, Arum dan Ria buat Cahaya. Biarkan dia pakai pakaian bekas yang gak kalian pakai lagi," kata Mas Arman tanpa rasa malu dan bersalah. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status