Share

Ruang hampa

Author: Reinz Jr
last update Last Updated: 2024-11-27 15:35:27

Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.

Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.

Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lainnya. Tapi tidak satupun dari foto-foto itu yang menampilkan dirinya. Eliza tidak ada di sana. Seolah dia tak pernah menjadi bagian dari kehidupan yang terabadikan di bingkai-bingkai mahal itu.

Jantung Eliza berdebar aneh saat dia mendekat, matanya meneliti setiap foto satu per satu. "Kenapa... tidak ada aku?" gumamnya lirih pada diri sendiri. Suara itu tenggelam di dalam ruangan yang besar, tetapi pertanyaan itu menggaung dalam pikirannya.

Rasa asing semakin menghantamnya. Seperti orang luar yang hanya mengunjungi kehidupan orang lain, bukan kehidupannya sendiri. Hatinya terasa hampa, seperti ruang kosong yang tak bisa diisi oleh barang-barang mewah atau foto-foto indah. Kemewahan ini—rumah ini, kehidupan ini—tak pernah terasa seperti miliknya.

Eliza menyentuh salah satu bingkai foto, merasakan dinginnya logam di ujung jarinya. Dalam setiap sentuhan, dia merasa semakin jauh dari kenyataan yang dia coba pahami. Siapa dirinya sebenarnya di sini? Dan mengapa semua ini terasa seperti ilusi yang rapuh?

Dia menarik napas panjang, merasakan kekosongan yang semakin dalam seiring waktu. Di tengah rumah yang megah ini, dia hanyalah bayangan, hilang dalam gemerlap kemewahan yang tak pernah bisa menyentuh jiwanya.

Eliza melangkah memasuki dapur, di mana aroma masakan yang sedang dimasak menguar hangat di udara. Namun, suasana segera berubah saat para pelayan melihat kedatangannya. Beberapa dari mereka terkejut, menghentikan aktivitas mereka sejenak dan saling berpandangan dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.

Dengan langkah mantap, Eliza mencari tempat duduk di salah satu kursi yang terletak di dekat meja makan. Ia merasa sedikit lebih tenang di tengah kesibukan dapur yang riuh. Setelah duduk, ia melirik ke arah Ruri, pelayan yang sebelumnya ia temui, dan mengangkat tangannya sedikit, memintanya untuk mendekat.

Ruri menundukkan kepalanya hormat, kemudian berjalan mendekati Eliza dan berdiri di sampingnya, sedikit ragu namun siap untuk membantu. Eliza merasakan aura canggung di sekelilingnya, tapi ia memutuskan untuk menembus suasana itu dengan bertanya.

"Ruri, sudah berapa lama kau bekerja di rumah ini?" tanya Eliza, berusaha memulai percakapan.

"Sudah dua tahun, Nyonya," jawab Ruri dengan suara lembut, sedikit tersenyum meski terlihat gugup.

Eliza mengangguk, mencoba menciptakan koneksi yang lebih dalam. "Dan... apakah kau mengenal siapa diriku?" Pertanyaan itu keluar dengan nada penuh harap.

Ruri tampak terkejut, dan sekejap dia melirik ke arah pelayan lain yang sedang bekerja di sudut dapur. Para pelayan itu menundukkan kepala, seolah tidak ingin terlibat dalam percakapan ini. Ruri menggigit bibirnya, berjuang antara keinginan untuk menjawab dan rasa takut untuk berbicara terlalu banyak.

Eliza merasakan ketegangan di antara mereka. "Ruri, aku hanya ingin tahu. Kenapa tidak ada yang bisa memberitahuku siapa aku di sini?" Suaranya lembut, namun ada nada putus asa yang tak bisa disembunyikan.

Ruri menatap Eliza dengan mata yang penuh simpati. "Nyonya... semua orang di sini tahu bahwa Nyonya adalah istri Tuan Diego. Tapi...," Ruri berhenti sejenak, tampak ragu.

"Tapi apa?" tanya Eliza, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, menunggu jawaban.

Ruri menghela napas, seolah berusaha mengumpulkan keberanian. "Tapi... banyak yang merasa tidak enak membicarakan hal-hal yang menyangkut Nyonya. Seperti, mengapa Nyonya tidak bisa mengingat apapun."

Kata-kata Ruri menggantung, menambah beban di hati Eliza. Dia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehilangan ingatan, tetapi ia tidak tahu apa. Dengan semua mata pelayan yang tertuju padanya, dia merasakan betapa terasingnya dia di tempat yang seharusnya menjadi rumahnya.

"Dapatkah kau memberitahuku lebih banyak tentang diriku?" pinta Eliza, suaranya kini sedikit bergetar. Ruri hanya bisa menatapnya, bingung dan tertegun, membuat Eliza merasa semakin terjebak dalam kegelapan yang menyelimutinya.

Tiba-tiba, pintu dapur terbuka lebar, dan Yoona melangkah masuk dengan senyuman lebar yang tampak dipaksakan. Para pelayan yang semula memperhatikan Eliza seketika bergerak menjauh, kembali ke pekerjaan mereka seolah-olah mereka tidak ingin terlibat dalam konfrontasi yang mungkin akan terjadi.

Yoona mendekati Eliza dengan langkah penuh percaya diri, matanya berkilau dengan keangkuhan. "Eliza, apa yang kau lakukan di sini? Aku rasa lebih baik kau kembali ke kamarmu," katanya, suaranya manis namun menyimpan nada otoriter.

Eliza menegakkan punggungnya, menatap Yoona tanpa rasa takut. "Tidak, aku tidak mau kembali. Siapa kau sebenarnya?" tanyanya, berusaha menantang.

Yoona tersenyum dengan angkuh, seolah tidak terpengaruh oleh ketegangan di udara. "Aku Yoona, sahabat masa kecilmu," jawabnya dengan nada percaya diri.

"Sahabat masa kecil?" Eliza mengulangi, mengerutkan alisnya. "Aku tidak merasa ada kedekatan denganmu. Bahkan aku tidak bisa mengingatmu sama sekali."

Yoona tampak sedikit terkejut, tetapi dengan cepat ia memulihkan senyumnya. "Oh, Eliza, mungkin ingatanmu belum pulih sepenuhnya. Kita sering bermain bersama. Aku ingat saat-saat bahagia itu." Suaranya lembut, tapi ada sesuatu yang dingin dalam senyumnya.

Eliza memejamkan matanya sesaat, mencoba menggali ingatan yang samar. Kapan dia pernah bersama wanita ini? Semua terasa begitu jauh dan tidak nyata. Jelas-jelas dia ingat saat pertama kali kembali ke rumah, ketika Yoona bergelayut manja di lengan Diego, tampak akrab dan nyaman. "Tapi... saat aku kembali, kau tampak sangat dekat dengan Diego. Aku tidak merasa itu wajar untuk seorang sahabat," kata Eliza, menantang.

Yoona mengangkat alisnya, terkejut dengan pernyataan Eliza. "Itu hanya karena kita berteman baik, bukan? Diego dan aku selalu dekat. Lagipula, aku di sini untuk mendukungmu, Eliza," jawab Yoona, mencoba menutupi ketidaknyamanan yang mulai muncul di wajahnya.

Eliza tidak bisa menahan tatapan curiganya. "Kau tidak mendukungku, Yoona. Kau hanya ingin menguasai situasi ini," ucapnya tegas, merasakan keberanian yang tumbuh di dalam dirinya. "Aku tidak percaya padamu."

Kedua wanita itu saling bertatapan, dan ketegangan terasa semakin tebal. Eliza bisa merasakan hasratnya untuk mencari kebenaran semakin membara, sementara Yoona berusaha menjaga wajah tenangnya di tengah serangan langsung. Di dapur yang megah ini, Eliza tahu bahwa ada banyak hal yang perlu diungkap, dan Yoona tampaknya menyimpan bagian dari teka-teki yang hilang dalam hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir segalanya.

    Eliza berdiri mematung di bawah langit senja, warna keemasan menyelimuti halaman rumah Renzo. Karangan bunga memenuhi halaman rumah Renzo. membawa aroma kesedihan yang bercampur dengan rasa hormat. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan."Kau senang? Ini yang kau inginkan?" tanya Diego, suaranya datar, namun sorot matanya penuh tanya.Eliza menoleh perlahan, menatap Diego. Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terucap. Kata-kata terasa seperti beban yang sulit diungkapkan. Benarkah ini yang ia inginkan? Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini."Aku tidak tahu, Diego," jawab Eliza akhirnya, suaranya lirih. "Aku hanya menjalani apa yang ada di hadapanku. Takdir ini... bukan pilihanku."Diego menghela napas, matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga itu, seolah mencoba membaca makna yang tersembunyi di baliknya. "Takdir memang bukan pilihan, El. Tapi apa yang kau lakukan setelahnya, yang akan menentukan segalanya

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Berkumpul lagi

    Di tengah keheningan mencekam, hanya terdengar suara sirene mobil polisi dan percakapan samar melalui radio petugas. Asap tebal membubung dari reruntuhan gedung, menyelimuti area dengan aura suram dan menyesakkan.Diego dan Renzo terduduk lemas di tanah, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang mendalam. Namun, di tengah keputusasaan itu, mereka menangkap gerakan kecil di rerumputan yang bergoyang tak jauh dari mereka."Apa itu?" Renzo bergumam, matanya penuh harapan bercampur rasa tak percaya.Tiba-tiba, sebuah penutup logam perlahan terangkat dari bawah tanah. Asap mengepul keluar dari dalam, dan detik berikutnya, kepala Eliza menyembul keluar, wajahnya berlumur darah dan debu, matanya penuh tekad meski lelah."Eliza!"Diego dan Renzo berteriak serempak, seruan mereka memecah keheningan. Dengan cepat, mereka berlari ke arahnya, tak peduli dengan luka di tubuh mereka.Mereka membantu Eliza keluar dari pintu bawah tanah. Eliza terbatuk-batuk, tubuhnya limbung, tetapi senyumnya tipis

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir sebuah dendam

    "Ibu!" teriak Kelvin, suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan."Mama!" seru Miko, matanya bersinar cerah meskipun situasi masih mencekam.Eliza menatap kedua anaknya dengan lembut. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.Keduanya mengangguk dengan senyum kecil, meskipun masih tampak cemas."Kita harus pergi dari sini!" kata Diego tegas, wajahnya serius."Victor sudah memasang bom di gedung ini!" Sela Renzo.Kekhawatiran langsung melintas di mata Eliza. Waktu mereka sangat terbatas. "Kalian bawa anak-anak!" perintah Eliza, sambil menyentuh bahu Diego. "Aku akan melindungi kalian. Cepat!"Diego tanpa ragu menggendong Miko, dan Renzo segera menggendong Kelvin. Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berlari keluar dari ruangan, menuju pintu utama. Eliza tetap berada di belakang, memastikan mereka aman, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di depan. Tembakan terdengar di kejauhan, namun Eliza hanya fokus pada satu tujuan, melindungi keluarganya dan memastika

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Damon

    Damon tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pria berjas hitam di belakangnya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan ke meja dan menekan tombol yang memulai proses di layar monitor. Monitor besar itu menyala, menampilkan berbagai gambar dan data yang berpindah dengan cepat."Lihatlah," kata Damon, suara rendah namun penuh ketenangan. Dia memperhatikan ekspresi Eliza yang berubah saat layar memperlihatkan rekaman markas yang meledak, diikuti dengan gambaran tubuh Letnan Quenza yang terluka parah, tergeletak tanpa nyawa. Namun, di detik-detik terakhir, seorang pria bertubuh kekar, salah satu anak buah Damon, muncul membawa tubuh Letnan Quenza yang sekarat ke rumah sakit terdekat. Proses transfer memori yang menegangkan terlihat jelas di layar, alat-alat medis canggih digunakan untuk memindahkan semua ingatan Quenza ke tubuh Eliza yang telah dinyatakan mati."Tidak mungkin!" teriak Eliza, wajahnya berubah kaget dan marah. Dengan cepat, ia mengangkat senjata

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Teroris

    Sesampainya di pusat kota, Eliza dengan cekatan menyembunyikan senjatanya di balik jaket panjang yang ia kenakan. Diego dan Renzo melakukan hal yang sama, memastikan tak ada yang mencurigai mereka.Mereka melangkah keluar dari mobil yang diparkir di sudut jalan, tubuh mereka sudah bersih dari luka-luka yang sempat mereka rawat seadanya. Hiruk-pikuk kota menyambut mereka, dengan keramaian manusia yang memadati jalan untuk merayakan hari kemerdekaan Mazatlán.Karnaval Mazatlán berlangsung meriah. Jalanan penuh dengan parade warna-warni, musik tradisional mengalun keras, dan sorak-sorai warga menambah semarak suasana. Polisi tampak berjaga di setiap sudut kota, mengawasi kerumunan dengan ketat.Eliza mengedarkan pandangannya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan, setiap gerakan yang terasa sedikit janggal. Renzo dan Diego berjalan di belakangnya, sikap mereka sama waspadanya.Namun, suasana meriah itu berubah dalam sekejap.DUAR!Sebuah ledakan keras mengguncang

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ide gila Diego

    Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membuat jalanan sepi di depan terasa semakin sempit. Diego mengepalkan tangan di setir, matanya fokus ke mobil musuh yang melaju dari arah berlawanan."Aku akan adu banteng dengan mereka!" serunya."Diego, kau gila! Kita bisa mati!" Renzo berteriak, suaranya penuh kepanikan. la memegang dashboard dengan erat, keringat mengucur di wajahnya."Menunduk!" perintah Diego tanpa ragu, suaranya tegas.Eliza langsung merunduk, tapi matanya tetap memperhatikan situasi, rahangnya mengatup rapat. Sementara Renzo hanya bisa berteriak lagi. "Diego! Aku belum mau mati!"Mobil Diego dan musuh semakin mendekat, jarak di antara mereka hanya hitungan detik.BRAK!!Tabrakan keras terjadi. Mobil Diego menghantam mobil musuh dengan kekuatan penuh. Bunyi logam beradu memekakkan telinga, pecahan kaca beterbangan ke segala arah. Benturan itu begitu hebat hingga mobil Diego terlempar ke luar jalur, berputar beberapa kali di udara sebelum menghantam tanah dengan keras.Tub

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status