"Apa?!" pekik Shafira. Dia tidak menyangka senyum Nirmala kemarin ternyata tersimpan rencana jahat untuknya.
"Ya. Apa perkataan Ibu kurang jelas, Shafira? Atau pendengaranmu kurang menangkap dengan baik?"
Shafira menggeleng lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Perlahan dia mundur beberapa langkah. Dadanya begitu sesak. Ini semua di luar dugaannya. Wanita itu benar-benar licik.
"Aku tidak mau, Ibu!" desis Shafira.
"Saya tidak menerima penolakan, Shafira!"
"Kenapa harus aku?"
Nirmala melipat kedua tangannya di depan. Wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa iba.
"Lalu siapa lagi?" tanya Nirmala dengan raut wajah meremehkan.
Pandangan Shafira beralih pada Amira yang sejak tadi duduk santai di sofa usang mereka.
"Bukankah Bapak dipenjara seperti ini karena ulah kalian? Seharusnya bukan aku yang harus dikorbankan. Tapi dia!"
Napas Shafira memburu. Dia tidak ingin mengalah lagi. Kali ini dia tidak ingin dikorbankan lagi.
Namun, bukan Nirmala namanya jika dia akan semudah itu mengalah.
"Kamu ingat, Shafira. Orang yang harus ditebus adalah Bapak kandungmu sendiri. Apa kamu tega membiarkan dia membusuk di dalam penjara?"
Shafira bungkam. Tiba-tiba terlintas wajah cinta pertamanya. Hermawan.
Shafira terus meneteskan air mata. Dia tidak ingin Bapaknya menderita. Dia harus menyelamatkan hartanya yang paling berharga.
"Jangan lupa, Bu, siapa penyebab Bapak seperti ini. Itu semua karena kalian!"
Nirmala terbahak. Dia kemudian perlahan mendekati anak tirinya.
"Berhenti berkata seperti itu seolah Bapakmu adalah pahlawan di keluarga ini. Apa yang sudah diberikan Bapakmu selama ini?"
"Tidak ada!" lanjutnya.
Kedua tangan Shafira mengepal kuat. Ingin rasanya mencabik-cabik wanita yang ada di depannya saat ini. Akan tetapi semua itu urung dia lakukan.
Shafira menghapus kasar air mata yang sejak tadi mengalir deras.
"Shafira akan berusaha mencari uang untuk menebus Bapak!"
"Semua tidak akan mencukupi itu, Shafira. Bapakmu akan membusuk di penjara."
"Apapun akan kulakuan demi Bapak! Tapi tidak dengan menuruti kemauan Ibu!"
Rahang Nirmala mengeras. Shafira benar-benar keras kepala.
Amira yang mengetahui raut wajah Ibunya segera berusaha menenangkan.
"Ibu, jangan bersikap kasar! Itu justru membuat Shafira semakin memberontak!"
Nirmala mengabaikan perkataan putrinya. Dia dikuasai amarah. Bagi Nirmala apapun yang terjadi Shafira harus menuruti kemauannya.
Baru saja hendak melawan penolakan anak tirinya, Shafira melenggang pergi dengan lerasaan hancur. Dibanting kuat pintu kamarnya membuat keduanya tersentak.
"Kurang ajar!"
Di balik pintu Shafira terus menangisi nasibnya yang sangat menyesakkan.
Setelah kematian Ibunya, hidup Shafira masih seperti dulu. Itu semua karena masih ada Hermawan yang sangat menyayanginya.
Sayangnya, semua itu tidak berlangsung lama. Kehadiran Nirmala dan Amira-putrinya-menghancurkan hidup Shafira dan ayahnya secara terus-menerus hingga tiba di puncak penderitaannya, ayah tercintanya kini ditawan oleh keluarga Tuan Abimana.
"Ibu, Shafira rindu ...."
*
"Bawa orang itu menghadapku sekarang!" titah Tuan Abimana pada kedua sosok laki-laki yang selalu mendampinginya."Baik, Tuan."
Saat mereka berlalu, Kenward mendekati kakeknya yang sedang duduk di ruang kerjanya.
"Kakek, apa orang itu akan kita kirim ke penjara hari ini?"
"Tidak."
"Lalu?"
Tuan Abimana melipat kembali surat kabar yang sedang dibacanya. Dipersilahkannya cucu sulungnya untuk segera duduk.
"Kakek akan melepaskannya."
"Semudah itu? Bukankah dia—"
"Kakek tahu," potongnya cepat. "Tapi, keluarganya akan menebusnya dengan bayaran yang sangat mahal."
Kenward tidak mengerti dengan perkataan kakeknya. Tapi, dia mengenal baik siapa sosok yang ada di depannya.
Tuan Abimana terkenal dengan kewibawaan dan kemurahan hatinya. Menurut Kenward, kakeknya pasti melakukan yang terbaik.
"Duduk!"
Sosok laki-laki bertubuh kurus dengan tangan yang telah diikat kuat tersungkur tepat di depan Tuan Abimana dan Kenward.
Hermawan berusaha bangun dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Matanya menatap Tuan Abimana dengan sorot penyesalan.
"Sebentar lagi istri dan putrimu akan datang untuk menebusmu."
Mata Hermawan berkaca-kaca. Dia tidak menyangka Nirmala melakukan ini padanya.
"B-benarkah, Tuan?"
"Ya. Dia membayar semua itu dengan sesuatu yang sangat berharga dan kurasa itu sepadan dengan menebus apa yang sudah kamu lakukan."
Senyum di wajah Hermawan memudar. Dia merasa khawatir akan keadaan keluarganya.
"Tuan, jangan libatkan mereka. Jangan mengambil barang kami. Hukum saja aku!"
Tuan Abimana terkekeh mendengar permohonan Hermawan. Dia tahu, sosok yang ada di depannya sangat menyayangi keluarganya.
Dia selalu rela berkoban dan melakukan apa saja untuk keluarganya.
"Tenang saja, saya tidak akan pernah menyentuh harta kalian. Saya juga menjamin apa yang menjadi jaminan untuk menebusmu justru tidak akan menyakiti kalian."
Hermawan menunduk dalam. Meskipin begitu dia sangat mengkhawatirkan keluarganya. Terlebih Shafira.
*
"Shafira, bersiaplah! Sebentar lagi kita akan menjemput Bapakmu," teriak Nirmala.Shafira memilih bungkam. Dia bertekad untuk menebus Bapaknya dengan caranya sendiri.
Nirmala mengetuk keras daun pintu kamar Shafira.
"Jangan membuat kesabaranku habis, Shafira!"
Lagi dan lagi Shafira memilih mengabaikan panggilan Nirmala.
Ibu tirinya tidak mau menyerah. Dia terus mengetuk pintu itu dengan keras.
"Buka pintu, Shafira! Jangan menguji kesabaranku!"
Shafira menutup rapat kedua telinganya. Tangisnya pecah. Nyeri di dadanya menjalar begitu cepat.
Tubuhnya bergetar hebat. Setiap mendengar bentakan Nirmala membuatnya semakin terluka.
"Pergi!"
"Shafira, keluar kamu!" teriak Nirmala seraya menggedor pintu kamarnya.
"Aku benci Ibu!" ucap Shafira di sela isak tangisnya.
Amira yang baru saja keluar dari kamar segera mendekati Ibunya.
"Ada apa, Bu, ribut begini?"
"Ibu ingin bicara dengan dia."
"Ibu, tenangkan diri dulu. Kita harus bersikap manis padanya. Semakin Ibu memaksa, dia akan semakin memberontak," bisik Amira.
"Kita harus segera menemui Tuan Abimana."
Amira menghela napas. Ibunya memang tidak sabaran. Padahal untuk membujuk Shafira menurutnya harus dengan cara yang berbeda.
Amira melepaskan tas yang melekat di tangan Ibunya.
"Nanti sore saja kita ke sana, Bu. Saat emosi Shafira sedikit stabil."
"Apa kamu punya rencana?"
Amira tersenyum licik. Dia kemudian mendekati ibunya lalu membisikkan sesuatu padanya.
Nirmala yang mendengar saran dari Amira-putrinya-tersenyum licik. Dia tidak menyangka Amira akan secerdas ini.
"Baiklah, kita tunggu sebentar. Ibu rasa Tuan Abimana akan mengerti."
"Ibu harus lebih pintar saat ini. Ingat, Ibu, pundi-pundi rupiah sedang menanti kita."
*
Shafira melepas tangannya saat suara ketukan itu tidak terdengar lagi. Matanya memandangi jam yang menempel di dinding kamarnya yang usang.Jarum panjang mengarah ke angka delapan. Sepagi ini Ibunya tega membawanya pergi.
"Ya Allah, tolong Hamba-Mu. Jangan biarkan Hamba menanggung cobaan ini begitu berat. Dekap aku, Ya Allah."
Sebuah foto berukuran besar tertempel di dinding kamarnya menampakkan tiga orang yang sedang tersenyum bahagia.
Ya, itu adalah foto Shafira bersama Bapak dan mendiang Ibunya. Jika melihat gambar itu semua orang pasti tahu bahwa mereka adalah keluarga yang bahagia.
"Ibu, Shafira rindu. Apa yang harus aku lakukan, Ibu?"
"Lepaskan aku!" Teriak Shafira. "Diam kamu!" balas Nirmala. Shafira berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nirmala dan Shafira. Apalah daya tangannya diikat kuat dengan tali. Shafira terus merintih dan menahan malu saat semua pandangan tertuju padanya. Dia seolah maling yang tertangkap basah. "Ibu, lepaskan!" "Aku sudah memintanya dengan baik-baik, justru kamu terus melawanku, Shafira! Jadi, jangan salahkan Ibu kalau berbuat kasar seperti ini." Shafira terus menangis. Nirmala dan Amira memasukkan tubuh Shafira secara terpaksa ke dalam mobil tua milik mereka. Mobil yang sudah lama tidak terpakai. Sepanjang jalan Shafira terus menangis dan memberontak. Hal itu membuat Nirmala semakin geram. "Berhenti memancing emosiku, Shafira! Ini semua Ibu lakukan demi menebus Bapakmu!" "Lebih baik aku jadi pembantu daripada menjadi istri ketiga Tuan Abimana." "Tapi, itu permintaannya!" "Aku tidak mau, Bu ...." Air mata Shafira terus mengalir. Kepalanya kini menunduk dalam.
"Kalau begitu bersiaplah untuk besok menjadi pengantin gadis itu!" Kedua mata Kenward melebar sempurna saat mendengar keputusan kakeknya. "Apa?!" "Ini adalah keputusan yang adil untuk dia. Gadis yang kamu bela di hadapanku." Kenward mendengus kesal dengan keputusan gila kakeknya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi gadis desa yang dia tidak cintai sama sekali? "Kek, aku yakin Kakek yang paling tahu isi hatiku. Kepada siapa hati ini berlabuh." "Ya, Kakek tahu. Clara-mendiang istrimu- yang sangat kamu cintai." "Lalu, kenapa harus menghadirkan sosok yang lain?" "Kakek tahu yang terbaik untukmu, Nak. Percayalah!" Kenward menggeleng tegas. Dia bahkan belum siap menggantikan sosok Clara. Tuan Abimana merasa keputusannya sudah tepat. Dia yakin Shafira bisa menjadi pengganti Clara dan bisa menghapus kesedihan cucu kesayangannya. "Kakek tidak menerima penolakan!" Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang terlihat sangat kacau. Dia merasa seolah terjebak. Sebisa mungkin Kenward me
"Kuperingatkan, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan tetap menganggapmu orang lain!" "Jika aku hanyalah orang lain di matamu, hubungan kita hanyalah status belaka, kenapa kamu mau menggantikan posisi Tuan Abimana?" Ken mengalihkan pandangan. Dia sebenarnya tidak tega melihat butiran hangat itu terus mengalir. "Aku kasihan. Hanya itu." Ken meninggalkan Shafira yang berdiri mematung di tempatnya. Dia mengambil selimut dan dua bantal di dalam lemari berukuran besar kemudian memilih tidur di sofa yang terletak di ujung kamarnya. Tubuh Shafira luruh seketika. Dia kini sadar bahwa ujian akan lebih berat ke depannya. Di tempat yang berbeda, Hermawan tidak berhenti menangisi kelemahannya. Akibat perbuatannya, kini putri yang sangat dia sayangi harus menanggungnya. "Maafkan, aku, Salwa, aku sudah ingkar." "Bang, saat aku tidak ada nanti, tolong jaga putri kita. Jangan biarkan dia menderita," ucap Salwa saat dia merasa tubuhnya semakin melemah. Ucapan mendiang istrinya terus terng
"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana. Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya. Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti. "Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?""Belum."Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima. Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu. "Maafkan kakek." Kenward menoleh. "Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya K
"Diminum kopinya, Pak!" Hermawan yang sibuk melamun tidak mengindahkan tawaran istrinya. Nirmala yang menyadari itu sedikit kesal. Semenjak Shafira menikah dengan cucu Tuan Abimana, Hermawan terus saja melamun seolah semangatnya ikut menghilang. "Bapak!" tegur Nirmala. "Urus saja kehidupanmu, Nirmala!""Ya sudah! Bapak berubah banyak."Hermawan memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha menetralkan perasaan yang sudah menggebu. "Bu, aku hanya merindukan putriku. Aku mengkhawatirkan dia. Tolong, tinggalkan aku sendiri.""Pak, buat apa khawatir? Ibu yakin dia sedang menikmati kekayaan suaminya. Kamu lupa siapa Tuan Kenward?""Jangan menyamakan putriku dengan kalian! Dia anakku. Aku tahu bagaimana sifatnya. Tidak seperti kalian yang melakukan segala cara demi mendapatkan harta yang banyak. Termasuk menjual putriku," sinis Hermawan. Nirmala tertawa mendengar umpatan suaminya. Dia tidak menyangka Hermawan bisa berubah seperti ini. Selama ini dia sudah berusaha keras merebut hati Herma
"Kedatangan kami ke sini untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, rencana besok saya ingin membawa Shafira ke Kota."Hermawan menoleh ke arah putrinya. Tatapannya begitu sendu. "Shafira harus ikut ke mana pun suamiku pergi, Pak," lirih Shafira seolah tahu arti tatapan sendu ayahnya. "Aduh, Bapak, tidak usah berlebihan seperti itu. Biarkan Shafira diboyong oleh suaminya. Lagian, Shafira pasti akan mengunjungi kita lagi," celetuk Nirmala. Hermawan mengalihkan pandangan pada menantunya. Kedua laki-laki dewasa itu saling melempar pandangan. "Tolong, jaga putriku. Dia adalah hartaku yang sangat berharga," pesan Hermawan layaknya seorang ayah pada menantu laki-lakinya. "Aku pasti akan menjaga dia, Pak."Shafira menoleh ke arah Ken. Ada desiran halus yang dia rasakan saat ini. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat.Janji yang diucapkan oleh Ken pada Hermawan seperti angin sejuk bagi Shafira. Bibirnya mengulas senyum indah. Nirmala dan Amira yang menyaksikan itu semua tersenyum sinis. "Shaf
"Ingat, Shafira, jangan pernah merendah di depan mereka!""Kenapa?""Tidak perlu bertanya lagi. Kamu sudah lihat sendiri sikap mereka kan? Dia memperlakukan kamu seperti kuman yang harus disingkirkan."Shafira tertunduk dalam. Kalimat yang dilontarkan Ken sangat menusuk ke dalam relung hatinya. Ken menyadari perubahan raut wajah Shafira, segera dia menjelaskan maksud ucapannya. "Maaf kalau ucapanku membuatmu terluka. Satu hal yang harus kamu tahu, keluarga Agatha memang semena-mena dan tidak ragu untuk menindas orang yang tidak dia sukainya.""Kalau begitu, kenapa kalian membawaku ke sini?""Shafira, kamu saat ini adalah menantu keluarga Albern. Kami ingin kamu juga diakui di keluarga besar Guinandra. Status kamu adalah sah."Shafira tersenyum hambar. Apa yang dikatakan oleh Ken adalah benar. Sesuai apa yang dikatakan oleh Papa Albern. Namun, Shafira tidak ingin mudah luluh mengingat ucapan Ken di malam pertama mereka. "Ken, apa kamu lupa dengan apa yang kamu katakan di malam perta
"Kita mau ke mana?" tanya Shafira polos saat mereka tengah berada di dalam mobil. "Ikut saja!""Apa Gio berbahaya?"Ken menggeleng. "Gio tidak seperti keluarga Agatha lainnya."Shafira terdiam. Dia masih ingin bertanya mengapa Ken seolah membatasi dirinya dengan Gio.Ken mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Pandangannya lurus ke depan. Tidak ada suara yang muncul di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Di tempat yang berbeda Gio masih merenung di tempatnya. Gadis yang dia temui secara tidak sengaja di desa kini ada di depan matanya. Sayangnya, semua telah usai. Gadis itu kini menjadi milik orang lain. "Ah, andai saja aku ikuti kemauan Papa, mungkin aku yang membersamainya saat ini."*"Kalian dari mana saja?" tanya Tuan Abimana saat Ken dan Shafira tiba di rumah setelah dua jam berlalu. "Cari angin, Kek," jawab Ken seadanya.Shafira juga tidak mengerti apa yang dirasakan oleh suaminya. Selama dua jam kepergian mereka, tidak ada sepatah kata pun yang