"Tolong bebaskan suami saya, Tuan, biarlah Shafira menjadi jaminannya," ucap wanita yang tengah berlutut dengan kedua tangan saling menangkup. "Kamu yakin dengan keputusanmu?" "Yakin, Tuan! Shafira adalah putri kesayangan Hermawan. Biar dia saja yang menjadi jaminan. Tuan bisa mempekerjakan dia di sini," bujuk Nirmala. Saat ini keduanya tengah berada di ruang pribadi Tuan Abimana. Tentu saja diawasi oleh dua orang laki-laki bertubuh tinggi dan pakaian serba hitam di depan pintu masuk sedangkan Shafira dan Amira yang kebetulan ikut bersama ibunya menunggu di luar. Tuan Abimana berdiri kemudian berjalan dan membelakangi Nirmala. Kedua tangannya menyilang di balik punggungnya. "Kenapa kamu lebih memilih menjadikan anak perempuanmu sebagai jaminan dibanding berusaha mencari jalan yang lain?" "Jujur saja, dia hanya anak tiriku. Saya tidak punya harta yang banyak untuk menebus suami saya, Tuan. Dia tidak berguna sama sekali. Jadi, lebih baik dia yang jadi jaminan untuk Hermawan."
"Apa?!" pekik Shafira. Dia tidak menyangka senyum Nirmala kemarin ternyata tersimpan rencana jahat untuknya. "Ya. Apa perkataan Ibu kurang jelas, Shafira? Atau pendengaranmu kurang menangkap dengan baik?" Shafira menggeleng lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Perlahan dia mundur beberapa langkah. Dadanya begitu sesak. Ini semua di luar dugaannya. Wanita itu benar-benar licik. "Aku tidak mau, Ibu!" desis Shafira. "Saya tidak menerima penolakan, Shafira!" "Kenapa harus aku?" Nirmala melipat kedua tangannya di depan. Wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa iba. "Lalu siapa lagi?" tanya Nirmala dengan raut wajah meremehkan. Pandangan Shafira beralih pada Amira yang sejak tadi duduk santai di sofa usang mereka. "Bukankah Bapak dipenjara seperti ini karena ulah kalian? Seharusnya bukan aku yang harus dikorbankan. Tapi dia!" Napas Shafira memburu. Dia tidak ingin mengalah lagi. Kali ini dia tidak ingin dikorbankan lagi. Namun, bukan Nirmala namanya jika d
"Lepaskan aku!" Teriak Shafira. "Diam kamu!" balas Nirmala. Shafira berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nirmala dan Shafira. Apalah daya tangannya diikat kuat dengan tali. Shafira terus merintih dan menahan malu saat semua pandangan tertuju padanya. Dia seolah maling yang tertangkap basah. "Ibu, lepaskan!" "Aku sudah memintanya dengan baik-baik, justru kamu terus melawanku, Shafira! Jadi, jangan salahkan Ibu kalau berbuat kasar seperti ini." Shafira terus menangis. Nirmala dan Amira memasukkan tubuh Shafira secara terpaksa ke dalam mobil tua milik mereka. Mobil yang sudah lama tidak terpakai. Sepanjang jalan Shafira terus menangis dan memberontak. Hal itu membuat Nirmala semakin geram. "Berhenti memancing emosiku, Shafira! Ini semua Ibu lakukan demi menebus Bapakmu!" "Lebih baik aku jadi pembantu daripada menjadi istri ketiga Tuan Abimana." "Tapi, itu permintaannya!" "Aku tidak mau, Bu ...." Air mata Shafira terus mengalir. Kepalanya kini menunduk dalam.
"Kalau begitu bersiaplah untuk besok menjadi pengantin gadis itu!" Kedua mata Kenward melebar sempurna saat mendengar keputusan kakeknya. "Apa?!" "Ini adalah keputusan yang adil untuk dia. Gadis yang kamu bela di hadapanku." Kenward mendengus kesal dengan keputusan gila kakeknya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi gadis desa yang dia tidak cintai sama sekali? "Kek, aku yakin Kakek yang paling tahu isi hatiku. Kepada siapa hati ini berlabuh." "Ya, Kakek tahu. Clara-mendiang istrimu- yang sangat kamu cintai." "Lalu, kenapa harus menghadirkan sosok yang lain?" "Kakek tahu yang terbaik untukmu, Nak. Percayalah!" Kenward menggeleng tegas. Dia bahkan belum siap menggantikan sosok Clara. Tuan Abimana merasa keputusannya sudah tepat. Dia yakin Shafira bisa menjadi pengganti Clara dan bisa menghapus kesedihan cucu kesayangannya. "Kakek tidak menerima penolakan!" Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang terlihat sangat kacau. Dia merasa seolah terjebak. Sebisa mungkin Kenward me
"Kuperingatkan, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan tetap menganggapmu orang lain!" "Jika aku hanyalah orang lain di matamu, hubungan kita hanyalah status belaka, kenapa kamu mau menggantikan posisi Tuan Abimana?" Ken mengalihkan pandangan. Dia sebenarnya tidak tega melihat butiran hangat itu terus mengalir. "Aku kasihan. Hanya itu." Ken meninggalkan Shafira yang berdiri mematung di tempatnya. Dia mengambil selimut dan dua bantal di dalam lemari berukuran besar kemudian memilih tidur di sofa yang terletak di ujung kamarnya. Tubuh Shafira luruh seketika. Dia kini sadar bahwa ujian akan lebih berat ke depannya. Di tempat yang berbeda, Hermawan tidak berhenti menangisi kelemahannya. Akibat perbuatannya, kini putri yang sangat dia sayangi harus menanggungnya. "Maafkan, aku, Salwa, aku sudah ingkar." "Bang, saat aku tidak ada nanti, tolong jaga putri kita. Jangan biarkan dia menderita," ucap Salwa saat dia merasa tubuhnya semakin melemah. Ucapan mendiang istrinya terus terng
"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana. Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya. Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti. "Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?""Belum."Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima. Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu. "Maafkan kakek." Kenward menoleh. "Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya K
"Diminum kopinya, Pak!" Hermawan yang sibuk melamun tidak mengindahkan tawaran istrinya. Nirmala yang menyadari itu sedikit kesal. Semenjak Shafira menikah dengan cucu Tuan Abimana, Hermawan terus saja melamun seolah semangatnya ikut menghilang. "Bapak!" tegur Nirmala. "Urus saja kehidupanmu, Nirmala!""Ya sudah! Bapak berubah banyak."Hermawan memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha menetralkan perasaan yang sudah menggebu. "Bu, aku hanya merindukan putriku. Aku mengkhawatirkan dia. Tolong, tinggalkan aku sendiri.""Pak, buat apa khawatir? Ibu yakin dia sedang menikmati kekayaan suaminya. Kamu lupa siapa Tuan Kenward?""Jangan menyamakan putriku dengan kalian! Dia anakku. Aku tahu bagaimana sifatnya. Tidak seperti kalian yang melakukan segala cara demi mendapatkan harta yang banyak. Termasuk menjual putriku," sinis Hermawan. Nirmala tertawa mendengar umpatan suaminya. Dia tidak menyangka Hermawan bisa berubah seperti ini. Selama ini dia sudah berusaha keras merebut hati Herma
"Kedatangan kami ke sini untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, rencana besok saya ingin membawa Shafira ke Kota."Hermawan menoleh ke arah putrinya. Tatapannya begitu sendu. "Shafira harus ikut ke mana pun suamiku pergi, Pak," lirih Shafira seolah tahu arti tatapan sendu ayahnya. "Aduh, Bapak, tidak usah berlebihan seperti itu. Biarkan Shafira diboyong oleh suaminya. Lagian, Shafira pasti akan mengunjungi kita lagi," celetuk Nirmala. Hermawan mengalihkan pandangan pada menantunya. Kedua laki-laki dewasa itu saling melempar pandangan. "Tolong, jaga putriku. Dia adalah hartaku yang sangat berharga," pesan Hermawan layaknya seorang ayah pada menantu laki-lakinya. "Aku pasti akan menjaga dia, Pak."Shafira menoleh ke arah Ken. Ada desiran halus yang dia rasakan saat ini. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat.Janji yang diucapkan oleh Ken pada Hermawan seperti angin sejuk bagi Shafira. Bibirnya mengulas senyum indah. Nirmala dan Amira yang menyaksikan itu semua tersenyum sinis. "Shaf