"Sebenarnya aku merasa takut untuk menghadiri sidang akhir ini, Ken. Aku tidak sanggup mendengar keputusan haki. Itu lah sebabnya selama persidangan aku memilih untuk ridak menghadirinya.""Papa, Mama dan adikku sendiri ada di sana. Aku benar-benar tidak sanggup."Tuan Albern menepuk pelan pundak Gio untuk memberinya kekuatan.Hari ini adalah jadwal pembacaan keputusan sidang. Semua keluarga turut hadir kecuali Keano. Suasana sidang mulai ramai. Saat para terdakwa masuk, suasana jembali gaduh. Kenward terus menggenggam tangan Shafira untuk memberinya kekuatan. "Sidang pembacaan keputusan akan dimulai. Silahkan para hadirin untuk diam sejenak dan kami harapkan tidak ada keributan agar proses sudang berjalan dengan lancar."Suasana kembali hening. Ketua hakim kemudian membagikan tiga rangkap bacaan putusan pengadilan atas hukumannyang akan dijatuhkan pada ketiga terdakwa."Silakan, terdakwa atas nama Agatha Abimana Guinandra untuk berdiri!"Tuan Agataha berdiri menghadap ke arah haki
"Aku minta maaf, Shafira. Aku tahu ini sangat susah tapi beri aku satu kesempatan. Ini permintaan terakhirku. Aku ingin hidup tenang."Alice hendak bersujud di kakinya akan tetapi Shafira menolak."Jangan pernah merendahkan dirimu pada manusia, Alice. Merendahlah pada Tuhanmu saja."Shafira membantu Alice untuk bangkit dan menatap matanya dalam."Aku memaafkanmu."Alice menangis dan memeluk Shafira. Untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Alice menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Shafira. Dia sekarang tenang. Shafira melepas pelukannya dan menghapus jejak mata Alice. "Kamu adalah adikku, Alice." "Jika aku meminta satu permintaan, apa kamu mau mengabulkannya?""Apa itu?""Aku ingin menghadap pada Tuhanku dengan cara yang baik. Aku ingin shalat, berpakaian muslimah dan makan bersamamu.""Masya Allah, aku akan melakukannya."Shafira kemudian kembali memeluk Alice. Mereka sama-sama menangis saat ini. Dia kemudian menuntun Alice berwudhu kemudian shalat ashar bersama. Berhubung
"Tolong bebaskan suami saya, Tuan, biarlah Shafira menjadi jaminannya," ucap wanita yang tengah berlutut dengan kedua tangan saling menangkup. "Kamu yakin dengan keputusanmu?" "Yakin, Tuan! Shafira adalah putri kesayangan Hermawan. Biar dia saja yang menjadi jaminan. Tuan bisa mempekerjakan dia di sini," bujuk Nirmala. Saat ini keduanya tengah berada di ruang pribadi Tuan Abimana. Tentu saja diawasi oleh dua orang laki-laki bertubuh tinggi dan pakaian serba hitam di depan pintu masuk sedangkan Shafira dan Amira yang kebetulan ikut bersama ibunya menunggu di luar. Tuan Abimana berdiri kemudian berjalan dan membelakangi Nirmala. Kedua tangannya menyilang di balik punggungnya. "Kenapa kamu lebih memilih menjadikan anak perempuanmu sebagai jaminan dibanding berusaha mencari jalan yang lain?" "Jujur saja, dia hanya anak tiriku. Saya tidak punya harta yang banyak untuk menebus suami saya, Tuan. Dia tidak berguna sama sekali. Jadi, lebih baik dia yang jadi jaminan untuk Hermawan."
"Apa?!" pekik Shafira. Dia tidak menyangka senyum Nirmala kemarin ternyata tersimpan rencana jahat untuknya. "Ya. Apa perkataan Ibu kurang jelas, Shafira? Atau pendengaranmu kurang menangkap dengan baik?" Shafira menggeleng lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Perlahan dia mundur beberapa langkah. Dadanya begitu sesak. Ini semua di luar dugaannya. Wanita itu benar-benar licik. "Aku tidak mau, Ibu!" desis Shafira. "Saya tidak menerima penolakan, Shafira!" "Kenapa harus aku?" Nirmala melipat kedua tangannya di depan. Wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa iba. "Lalu siapa lagi?" tanya Nirmala dengan raut wajah meremehkan. Pandangan Shafira beralih pada Amira yang sejak tadi duduk santai di sofa usang mereka. "Bukankah Bapak dipenjara seperti ini karena ulah kalian? Seharusnya bukan aku yang harus dikorbankan. Tapi dia!" Napas Shafira memburu. Dia tidak ingin mengalah lagi. Kali ini dia tidak ingin dikorbankan lagi. Namun, bukan Nirmala namanya jika d
"Lepaskan aku!" Teriak Shafira. "Diam kamu!" balas Nirmala. Shafira berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nirmala dan Shafira. Apalah daya tangannya diikat kuat dengan tali. Shafira terus merintih dan menahan malu saat semua pandangan tertuju padanya. Dia seolah maling yang tertangkap basah. "Ibu, lepaskan!" "Aku sudah memintanya dengan baik-baik, justru kamu terus melawanku, Shafira! Jadi, jangan salahkan Ibu kalau berbuat kasar seperti ini." Shafira terus menangis. Nirmala dan Amira memasukkan tubuh Shafira secara terpaksa ke dalam mobil tua milik mereka. Mobil yang sudah lama tidak terpakai. Sepanjang jalan Shafira terus menangis dan memberontak. Hal itu membuat Nirmala semakin geram. "Berhenti memancing emosiku, Shafira! Ini semua Ibu lakukan demi menebus Bapakmu!" "Lebih baik aku jadi pembantu daripada menjadi istri ketiga Tuan Abimana." "Tapi, itu permintaannya!" "Aku tidak mau, Bu ...." Air mata Shafira terus mengalir. Kepalanya kini menunduk dalam.
"Kalau begitu bersiaplah untuk besok menjadi pengantin gadis itu!" Kedua mata Kenward melebar sempurna saat mendengar keputusan kakeknya. "Apa?!" "Ini adalah keputusan yang adil untuk dia. Gadis yang kamu bela di hadapanku." Kenward mendengus kesal dengan keputusan gila kakeknya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi gadis desa yang dia tidak cintai sama sekali? "Kek, aku yakin Kakek yang paling tahu isi hatiku. Kepada siapa hati ini berlabuh." "Ya, Kakek tahu. Clara-mendiang istrimu- yang sangat kamu cintai." "Lalu, kenapa harus menghadirkan sosok yang lain?" "Kakek tahu yang terbaik untukmu, Nak. Percayalah!" Kenward menggeleng tegas. Dia bahkan belum siap menggantikan sosok Clara. Tuan Abimana merasa keputusannya sudah tepat. Dia yakin Shafira bisa menjadi pengganti Clara dan bisa menghapus kesedihan cucu kesayangannya. "Kakek tidak menerima penolakan!" Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang terlihat sangat kacau. Dia merasa seolah terjebak. Sebisa mungkin Kenward me
"Kuperingatkan, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan tetap menganggapmu orang lain!" "Jika aku hanyalah orang lain di matamu, hubungan kita hanyalah status belaka, kenapa kamu mau menggantikan posisi Tuan Abimana?" Ken mengalihkan pandangan. Dia sebenarnya tidak tega melihat butiran hangat itu terus mengalir. "Aku kasihan. Hanya itu." Ken meninggalkan Shafira yang berdiri mematung di tempatnya. Dia mengambil selimut dan dua bantal di dalam lemari berukuran besar kemudian memilih tidur di sofa yang terletak di ujung kamarnya. Tubuh Shafira luruh seketika. Dia kini sadar bahwa ujian akan lebih berat ke depannya. Di tempat yang berbeda, Hermawan tidak berhenti menangisi kelemahannya. Akibat perbuatannya, kini putri yang sangat dia sayangi harus menanggungnya. "Maafkan, aku, Salwa, aku sudah ingkar." "Bang, saat aku tidak ada nanti, tolong jaga putri kita. Jangan biarkan dia menderita," ucap Salwa saat dia merasa tubuhnya semakin melemah. Ucapan mendiang istrinya terus terng
"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana. Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya. Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti. "Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?""Belum."Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima. Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu. "Maafkan kakek." Kenward menoleh. "Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya K