Entah apa yang dipikirkan tentangku, aku tak mau peduli. Karena selain takut, aku memang setengah hati jika harus melakukan hal itu dengannya mala mini.
“Mas… aku mohon…. Aku belum siap….” Pintaku merengek sekali lagi.
“Hmmm…. “ Hanya desahan berat yang kudengar dari suara Mas Daniel.
“Apa Mas nggak capek, atau ngantuk? Mas, kan telat pulang hampir jam 12 malam terus mau minta jatah?” tanyaku sambil memalingkan wajah, menyembunyikan rasa gugup yang datang mendera.
“Enggak!” suamiku menjawab santai, tangannya terulur dan menyentuh pipiku lembut. Setengah memaksa ku menoleh padanya.
“Bahkan, waktu dikantor tadi aku kepikiran kamu terus, loh,” ujarnya pelan sambil menatapku lembut.
“Kepikiran aku?” Aku me
“Mas!” Aku mendelik. Memperingatkan suamiku dengan tatapan. Aku benar-benar geram sekaligus heran.Kenapa dia suka sekali mengumbar urusan pribadi kami pada Mamanya? Seperti anak kecil saja.“Aku berbicara jujur, sayang…” Seperti tak peduli aku marah, suamiku menanggapi santai kekesalan yang jelas kutunjukkan.Tanpa terduga, mertua tertawa kecil.“It’s oke, Putri. Tidak usah malu, biasa aja. Mama paham kok, karena Mama juga pernah muda, seperti kalian.”ujar Mama mertua terdengar friendly dan santai. Membuatku mengangguk-angguk kaku dengan perasaan canggung.“Ya sudah, Mama tinggal dulu, ya.” Ujar beliau sebelum berlalu. Meninggalkan kami berdua saja di dapur mewah berukuran luas ini.“Mas, kenapa, sih, selalu bikin malu aku?” Aku bersungut-sungut kesal sambil memainkan sutil dan memastikan sambal yang kubuat matang sempurna.“Biasa saja kali, sayang.
“Kamu lagi tidak bercandakan, sayang?” Mas Daniel bertanya dengan raut yang jelas terlihat frustasi. Aku menggeleng kaku. Terlihat Mas Daniel mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali. “Mas, aku minta maaf.”“Ah, sudahlah!” Sudahlah mengibaskan tangannya dan menyentak dengan ekspresi kesal yang jelas terlihat dimataku.Pria bertubuh tinggi itu lantas melangkah dengan gusar ke kamar mandi, meninggalkan diriku yang masih membatu dalam posisiku. ………..“Daniel, wajahnya kok cemberut begitu?” Mama mertua bertanya heran pada putra sulung yang memang tak menunjukan keceriaan sedikit pun sejak pulang memancing tadi.Tak menjawab pertanyaan sang Mama, Mas Daniel justru menatap sengit adik laki-lakinya yang duduk berhadapan dengannya saat makan malam.“Eh… Mas, ngeliatin aku biasa saja dong, perasaan seperti mau makan orang aja?” Delon yang mungkin terintimidasi, bertanya dengan
Mas Daniel menahan langkah dan lantas menoleh kebelakang. Memandang sang adik layaknya menatap musuh dimedan perang. “Aku serius, Kuda Nil.” Mataku terbelalak lebar. Tak menyangka jika Delon bisa sekurang ajar ini pada kakaknya.Tak hanya memanggil Bro, dia juga memanggil nama. Tidak itu saja, dia pun tanpa segan menyamakan kakaknya dengan kuda malas yang suka berendam air itu? Luar biasa sekali keluarga ini!“Kalau kau, tidak bisa menghargai apa yang kau miliki, maka berikan padaku. Aku bersumpah akan menjaganya dengan sebaik mungkin.” Delon tampak tak gentar sedikit pun, meski jelas-jelas tak ada sorot damai dari pancaran mata kakaknya.“Tutup mulutmu, Anak Nakal!” sentak Mas Daniel tajam.Seolah tak menganggap bentakan dari saudara kandungnya seperti sebuah ancaman, Delon hanya mendengus kecil.“Putri, jangan ragu-ragu untuk datang padaku kalau kau tak nyaman dengannya, ya. Oke?” Delon memperingatk
Aku tertunduk saat rasa cemburu dalam dada tak bisa kuhindari. Bagaimana aku tak cemburu, bahkan di depan kedua orang tua dan sepupunya dia membela Lita mati-matian bukan?Alan mendengkus kecil. Seolah menganggap apa yang telah diucapkan kakak sepupunya, tak beda jauh dengan rakyat kecil yang tak didengar oleh petinggi negeri ini."Bodoh."Mas Daniel mengetatkan rahang saat Alan terang-terangan mengejek dirinya bahkan didepan orang tuanya sekalipun.Di sisi lain, tanpa terduga, Pak Ramon dan istrinya justru terlihat menahan tawa mendengar keponakan mereka berucap tanpa beban saat mengolok sepupunya."Tau begini, harusnya kemaren aku saja yang menikahi Putri, Ma. Daripada mubadzir."Aku tersentak lantas membelalak selebar-lebarnya. Mubadzir dia bilang?Mama mertua terlihat salah tingkah saat Alan memandangnya sambil geleng kepala. Seperti menyayangkan pernikahanku dengan Mas Daniel."Miris melihat kelakuan mu, Bro. Ada batu berl
"Semua ada porsinya masing-masing, Alan." "Benar, Putri. Aku salut padamu. Bahkan, dengan keterbatasan ekonomi yang kau miliki kau tidak pernah berpikir masuk ke lubang dosa sepertiku." Aku terdiam lagi mendengar pendapat yang diutarakannya. "Bukan hal baru jika seseorang yang kekurangan ekonomi bakal mencari materi denga menjual tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku padamu, Putri. Salut aku, padahal wajahmu sangat menjanjikan." "Hei, aku masih punya iman Alan." Aku mencebik kesal padanya yang memang sepertinya tanpa filter berbicara. "Tidak mungkin semudah itu aku melakukan perbuatan kotor dengan menjual diri. Kau tahu, sebagai wanita aku hanya ingin menyerahkan apa yang paling berharga pada suamiku." Alan menatapku penuh arti. "Karena aku cuma punya kehormatan,kan? Bukan harta benda yang ku miliki." Kini air mataku tidak hanya menitik tapi mengalir deras. Sesak dalam dada kian menghimpit saat menyadari
"Masuk kamar sekarang!" titah Mas Daniel saat aku memilih tetap diam di tempat, bahkan setelah dirinya mengintimidasi dengan tatapan ketika memintaku masuk ke kamar. "Tidak mau! Aku masih mau disini!" "Kalau suami bilang masuk, ya masuk!" Aku bergeming. Tak ingin beranjak meski suamiku tampak murka saat memberi perintah. Merasa diperhatikan oleh Mama mertua dari kejauhan, membuatku sedikit tak enak hati. "Apa perlu aku gendong kamu, Putri?" "Tidak perlu, aku bisa jalan sendiri." Meski sebelumnya enggan, akhirnya aku mengikuti langkah suamiku ke kamar. Setelah menggosok gigi dan mencuci wajah, aku langsung berbaring dan menarik selimut. Rasanya masih enggan untuk tidur bersebelahan dengan lelaki paling egois yang jalan pikirannya susah di tebak seperti Daniel Hadiwijaya. Setelah memastikan Mas Daniel tidur, aku tak langsung merebahkan diri. Sambil menungggu kantuk datang, aku memilih untuk duduk di so
Alan melipat lengan kemejanya saat dia tertarik untuk memegang sutil dan mengaduk tempe bacem yang belum sepenuhnya matang. "Oh... jadi gini? Harus berani bumbu emang, ya, Put?" tanyanya sambil terus memperhatikan tempe bacem dihadapannya. "Iya, dong." Bik Onah menatap aku dan Mas Alan dengan wajah sumringah. "Bik, serius banget ngeliatin aku sama Putri?" Bik Onah terlihat sedikit salah tingkah saat Alan bertanya dengan gamblang. "Pasti dalam hati bibik mau bilang kalau aku sama Putri serasi banget, kan?" terka Alan sesukan hati. Aku menepuk punggung Alan dengan sebal. "Suka mengada-ngada, ya kalau ngomong?" "Doain aja ya, Bik. kalau jodoh nggak akan lari kemana?" Bik Onah tersenyum tipis. Entah setuju dengan ucapan buaya darat ini atau tengah menganggap itu sebagai hburan, aku juga tak mengerti. "Aduk lagi, tuh!" *** Alan ternyata punya kamar khusus di rumah ini, mandi dan mengga
"Maaf ya, Bik. Aku janji cuma buat malam ini saja." Aku berucap canggung saat merasa tak enak hati karena mengganggu waktu istirahatnya malam ini. "Iya, Mbak." Aku mengedarkan pandangan. Menyadari hanya ada satu kasur bsa setinggi 20 cm dengan ukuran single size, membuatku ragu harus melakukan apa sekarang. "Mbak Putri, tidur diatas saja, biar bibik yang dibawah pakai karpet." Ya Tuhan, kenapa jadi aku makin merasa bersalah begini? "Biar aku saja yang tidur di karpet, Bik." Aku buru-buru memotong ucapan Bik Onah. Tak mau egois dengan mengesampingkan orang lain padahal aku yang menumpang. "Jangan!" "Tidak apa-apa, Bik. Aku dari kecil sudah biasa hidup susah." "Jangan Mbak, pokoknya jangan." "Putri!" Terdengar suara Mas Daniel dari balik pintu. Membuat pikiran ku jadi makin tak karuan dibuatnya. "Bagaimana itu, Mbak?" Bik Onah yang baru saja menggelar karpet bulu bermotif bunga, menatapku meminta p