Tanpa ingin tahunya bagaimana dia berekspresi selangkah, iseng ku simpan nomor ponsel milik cowok gondrong yang kini berambut cepak.
Bukan karena aku ke gatalan loh,ya. Jujur, aku sedikit penasaran atas pengetahuan nya tentang hubungan suamiku dan Lita yang katanya masih hangat sekitar sebulan lalu. Lah, bukan kami sudah menikah? Jadi maksudnya Mas Daniel bermain dibelakang ku?
Setelah tersimpan, aku mencoba menghubungi nomor kontak lelaki itu.
"Halo?" Suara Bastian memenuhi rongga telinga saat telepon kami bersambung.
"Aku butuh teman curhat." Aku menyahut dingin ucapannya.
"Wow, ini mbak kasir yang di jodohin sama cowok tajir mantan Lita itu kan?" Dari nada bicaranya, Bastian terdengar begitu yakin saat menerka siapa aku.
"Iya betul."
"Ada masalah apa menelepon ku malam-malam begini, mbak kasir?"
"Hei, aku punya nama, namaku Putri!" Pinter bikin naik darah juga orang ini.
"Ah, iya maaf, soalnya kan kita belum kenalan?" Dia tergelak dan lantas tertawa lepas. Rasanya... Nggak ada yang lucu.
Aku mendecih singkat ketika tawanya tak juga berhenti, sayang nya aku tak punya tombol pause untuk menghentikan tawanya.
Huh!
"Ada yang bisa dibantu?" Tanyanya saat mungkin giginya sudah kering.
"Ya, aku butuh pekerjaan. Rasanya... perjodohan ini memang tak cocok bagiku apalagi sedikit menyiksa ku, Pak Bastian." Aku mengucap basa-basi sebelum membahas tentang persoalan inti.
Mas Daniel mendongak dan menatapku tajam setajam silet. Rasanya dia juga menajamkan pendengarannya. Buktinya dia terlihat tidak begitu fokus dengan laptop dihadapan nya.
"Nggak perlu panggil Pak, panggil saja Mas. Atau bisa panggil sayang, juga boleh." Lagi-lagi dia tergelak tanpa rasa berdosa. Beneran deh, ini orang kayak nggak punya beban hidup.
Ah iya, wajar lah... Dia pasti berbeda dengan ku. Sejak kecil aku selalu pusing bagaimana cara mendapatkan uang. Sedangkan dia.... Mungkin saja bingung bagaimana caranya nya menghabiskan uang.
"Hah, sayang? ihh..." Aku memprotes dengan perasaan kesal saat menyadari apa yang di ucapkan barusan.
"Bercanda sayang....."
"Kok, sayang lagi sih?"
"Maaf salah terus, soalnya itu yang paling aku suka panggil kamu sayang."
"Dasar buaya!"
"Dan kamu lubang buaya?"
"Dasar omes (otak mesum), aku mau nanyain pekerjaan kenapa sampai ke lubang buaya. Sih?"
"Ada pekerjaan."
"Benarkah."
"Ya."
"Jadi apa? Pembantu? Tukang gosok? Atau....?"
"Jadi ratu di hatiku!"
Ya ampun, tobat banget deh. Ngomong sama cowok model begini, becanda terus.
"Aku serius, pak?"
"Pak lagi? Aku bahkan lebih muda tiga tahun dari suamimu."
"Ya maaf. Tapi aku serius mau cari pekerjaan, Mas Bastian."
"Duh, manisnya." Sambar nya ketika aku mengubah panggilan
"Apaan sih? Dikira gula, manis?"
Terlihat Mas Daniel bangkit.
Hah iya ampun, gara-gara ngobrol ngalor-ngidul nggak jelas sama Bastian Aku sampai lupa kalau dikamar ini ada sepasang telinga yang mendengar percakapan kami.
Kok, bisa jadi begini?
Tanpa kata-kata ponselku dirampas dan panggilan basa-basi diputus secara sepihak oleh Mas Daniel.
"Omong kosong macam apa ini!" Terdengar suaranya melengking sesaat setelah melempar ponsel ku diatas ranjang.
"Ini bukan omong kosong! Aku butuh pekerjaan. Aku harus membantu paman dan bibi menyekolahkan anak-anaknya. kamu tahu aku banyak berhutang Budi pada mereka." Aku menjawab panjang lebar. Ya, meski tadi berbincang dengan Bastian sekedar basa-basi. Tapi Jujur, dalam hati kecil ku memang masih ingin bekerja.
Oh... Ternyata dipandang sebelah mata oleh suami sendiri sangat menyakitkan.
"Butuh berapa banyak uang, ha? 50,100, 300? Kenapa berpikir soal kerja? Bukankah tujuan awal mu menikah denganku cuma karena uang?"
Deg!
Meski tanpa suara air mataku jatuh tanpa terbendung.
Ya Tuhan, rupanya serendah itu dia memandang ku.
Bukan cuma kampungan, dia juga mengecap diriku sebagai penggila harta.
Rendah, ternyata serendah itu aku dimatanya.
Aku membuka pintu kamar dengan terburu. Rasanya, aku butuh tempat lain agar aku bebas menumpahkan air mata tanpa terlihat olehnya. Lelaki yang bergelar suami menganggap ku sehina itu.
"Putri!"
Seruannya tak lagi hiraukan.
Dengan langkah tergesa aku menuruni tangga dan berjalan cepat menuju pintu utama rumah mewah ini.
"Daniel,ada apa dengan istri mu?"
Mama yang terusik oleh kegaduhan anak dan menantunya, keluar dari kamar miliknya yang berada dilantai dasar.
"Nggak ada apa-apa, Ma! cuma salah paham."
Salah paham dia bilang?
Hatiku semakin gondok, saat merasa upayaku untuk keluar dari pintu utama gagal, karena ternyata pintunya sudah dikunci dan aku tak membawa kunci sama sekali.
"Mau ke mana?"
Mas Daniel bersedekap santai saat menatapku yang terdiam kaku didepan pintu.
"Bukankah Mama meminta kita untuk segera memberikan cucu?" Tanyanya dengan ekspresi wajah nakal, yang membuatku tak habis pikir dengan jalan pikirannya yang tak bisa ku tebak.
Mama dan papa mertua yang berdiri tak jauh dari tempat putranya berdiri, hanya saling pandang sambil mengurai senyum.
"Bukan itu yang Mas Daniel bicarakan, Ma... ?"
"Terus?"
Haruskah aku berkata jujur pada kedua mertuaku? Bagaimana Mas Daniel memandang rendah padaku?
"Dia tadi bilang...."
Belum sempat ku ungkap kebenaran aku dibuat tidak berkutik saat Mas Daniel tiba-tiba mendapatkan bibirnya ke bibirku.
Ya ampun, dia ... Mengecup bibirku barusan? Ciuman pertama ku? Kenapa aku mendadak ingin pingsan?
"Daniel..... Nakal ya!"
Mertuaku cekikikan dan tampak sangat terhibur melihat sandiwara putra mereka.
"Gaskeun, Daniel!" Mama mertua malah mendukung nya.
"Ayo sayang, udah malam ini."
Tanpa banyak bicara lagi mas Daniel mengangkat tubuhku dan membopong ku dengan pandangan lurus ke depan saat menaiki tangga.
Harus aku akui dia memang king drama yang patut diacungi jempol.
"Mama pesan yang kembar ya, Dan?"
Mama mertua berseru sambil cekikikan.
Duh, bisa-bisa mereka request cucu seperti pesan boba saja.
"Mas, kapan Mama sama Papa balik kejakarta?" Aku mengalihkan pembahasan saat merasa Mas Daniel terus-menerus tertarik membicarakan tentang hal yang tak jelas dan cenderung menjengkelkan hati."Katanya, sih, nunggu tiga atau empat harian lagi, nunggu Delon pulih," ungkapnya yang membuatku sedikit tenang dan gembira. Jujur, keberadaan Mama di rumahini sangat aku rindukan. Bagaimana tidak, bukankah beliau sosok ibu yang mengayomi?"Oh..."'Kenapa?""Tidak apa-apa kok? Syukurlah kalau keadaan Delon sudah mulai membaik."Mas Daniel mengangguk samar.Teringat masa kecil ku, aku merasa bersyukur karena aku tipe anak yang jarang sakit. Tak bisa di bayangkan jika aku yang hidup dalam garis kemiskinan sering sakit. Namun, Allah benar-benar Maha Adil. Dia tak kan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Dan kini, aku pantas bersyukur karena melalui Dia, seorang suami tampan yang mencintai hadir melengkapi hidupku.Aku tertegun ketika Mas Daniel menepuk pundakku."Eh, eng-enggak," sahutku
"Aku tidak tahu kamu lagi bohong apa jujur soal perasaan kamu ke aku. Tapi terima kasih telah mengungkapnya, jadi aku tahu rasanya dicintai." Ucapku lirih ketika merasa hati ini mulai merasakan kenyamanan , meski kadang masih ragu tentang perasaan sebenarnya padaku.Sejurus kemudian, Mas Daniel menatapku sendu. Seolah ingin mematahkan pendapatku, pria berbibir tipis ini meraih tanganku dan menggengamnya erat."Aku janji sama kamu, akan kubuat kau bahagia selagi jantungku masih berdetak," ucapnya penuh keseriusan. Membuatku merasa tersanjung seperti di bawa terbang ke awang-awang."Kamu jadi lebih puitis akhir-akhir ini." Ucapku pelan dan langsung dibalas dengan senyuman manis suamiku."Tapi, makasih, ya. Jadi, walaupun akhirnya nanti harus kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu rasanya dicintai olehmu." Imbuhku lirih, saat hati mendadak didera perasaan waspada. Takut Mas Daniel hanya ingin mempermainkanku saat ini. Seperti yang sudah-sudah."
Aku tak mengerti apa alasan Mas Daniel mengajakku singgah ke ssbuah toko emas dan berlian disalah satu gerai mall elit ini."Mas, mau beli apa disitu?""Lehermu sepertinya bakalan indah kalau salah satu kalung melekat di sini."Aku yang tak pernah menyangka bakal di bawa ke tempat semewah ini, kelimpungan saat Mas Daniel menunjuk salah satu kalung pada etalase kaca di hadapan kami."Itu sepertinya cocok sama kamu." Sebuah kalung emas bertahtakan berlian dengan liontin berbentuk huruf P memang membuatku takjub saat menatap kecantikan dan keindahannya."Kamu menyukainya?" Pertanyaan Mas Daniel saat ini, benar-benar membuatku gugup. Wanita mana yang tak suka dengan perhiasaan? Mungkin ada, tapi rasanya sebagian besar menyukainya."Mbak, ambil yang ini, ya.""Baik, pak." Pelayan toko emas dengan cepat mengambil kalung cantik yang dimaksud suamiku."Coba pakai dulu," ujarnya setelah kalung itu berpindah tangan padaku."Ini...
"Maksud lu?" Alan menyorot tajam wajah sepupunya. Membuat Mas Daniel sedikit salah tingkah dibuatnya. Seperti aku, Alan pun tampaknya tak terlalu mengerti dengan ucapan Mas Daniel belum lama ini. "Lu bicara apa barusan?" Cecar Alan kemudian. Menanggapi pertanyaan Alan, Mas Daniel terlihat semakin gugup. Ada apa? "Ya ... ya almarhum papa lu pastinya berharap lu tobat dulu, lah, kalau mau ambil anak orang buat dijadikan istri." Kilahnya kemudian, namun tetap membuatku sedikit penasaran dengan ucapan yang dia lontarkan secara sungguh-sungguh beberapa saat yang lalu. "Apaan sih, gak jelas!" Cibir Alan sambil menyertakan tampang sinisnya. Alan kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Ya sudah, Put. Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon aku." Aku mengangguk kaku saat Alan menampilkan senyum manis ketika menampilkan senyum manis ketika menempelkan jempol dan kelingking yang biasa menjadi kode telepon, d
(POV Daniel)"Mas, aku turun dulu, ya ke dapur." Putri bersuara lembut, ah, tidak, lebih tepatnya sengau ketika meminta izin turun kedapur. Meninggakan aku yang masih duduk santai di sofa kamar sembari memainkan ponsel."Ya." Aku hanya menatap sekilas sebelum gadis belia itu turun dan melakukan aktivitas yang seperti sudah menjadi rutinitasnya.Pukul 06.00 wib aku masih berdiam diri disini, tersentak saat tiba-tiba ada yang menelepon.Nomor yang tidak dikenal yang aku tahu betul siapa orangnya menghubungi diriku lagi pagi ini.Kuangkat panggilan meski dengan gerakan malas."Mas, jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta, ya sama dia?"Suara yang dulu terdengar manis ditelinga, kini tak lagi sama.Kuakhiri panggilan tanpa menjawab. Berharap dia mengerti dengan keputusan yang sudah berulang kali aku sampaikan.Maaf, Lita... jika akhirnya aku ingkar janji. Tak semudah itu rupanya mempertahankan hati d
Melihatnya meraih ponsel, hatiku mendadak panas meski sebelumnya sempat menguatkan hati untuk tak terpengaruh dengan apa pun yang menyangkut Mas Daniel. "Iya, Ma?" Terlihat lelakiku menyapa saat mungkin sudah terhubung melalui sambungan telepon dengan lawan bicaranya. Oh, rupanya Mama yang menelepon sang anak, aku tak bisa mengerti kenapa ada rasa lega yang menjalar didada. Saat tahu jika ternyata Mama mertua yang menelepon, bukan Lita seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Aku yang sedang melipat mukena, hanya memperhatikan dari jauh suamiku yang sedang bertelepon ria dengan Mamanya. Setelah beberapa saat menyapa sang Mama, terlihat Mas Daniel terdiam untuk waktu yang cukup lama. Mungkin saja dia tengah mendengar dan mencerna baik-baik petuah yang diberikan oleh wanita yang telah melahirkannya, aku tak tahu. "Apa!?" Jelas sekali Mas Daniel syok. Ah, ada apa ini sebenarnya? Kabar apa yang membuat dia jadi sedemikan terkejut? "Ja
"Sudahi omong kosong mu, Putri! Masuk sekarang!" Alan tampak menutup ponselnya dengan kaku saat sepupunya memberikan perintah serupa secara paksa kepadaku. Aku masih diam membatu, tak tertarik untuk langsung masuk dan mengikuti perintah suamiku tak berperasaan ini. "Aku bilang masuk!" Teriak Mas Daniel mengulang lagi titahnya yang tak juga kuindahkan meski berkali-kali dia berucap dengan nada marah. "Makasih ya," aku menatap Alan dengan perasaan mengharu biru sesaat sebelum menarik langkah masuk. Memenuhi perintah lelaki yang bergelar suami yang sayangnya tak pandai menjaga perasaanku apalagi memanusiakan diriku selayaknya istri. Alan mengangguk gugup ketika tatapan kami beradu. Dari sinar matanya, jelas sekali dia menaruh rasa iba dan prihatin atas apa yang menjadi takdirku. Memiliki suami yang bahkan menganggapku tak lebih dari objek yang bisa dia lepas dikala dia bosan. "Ingat, ada gue yang siap menghapus air matanya kalau kau
"Putri, kamu baik-baik saja kan sama Mas Daniel." Aku diam membeku saat Mama yang telah berpakaian rapi, memberikan wejangan padaku. "Mama sama Papa?" tanyaku bingung saat melihat kedua mertuakuseperti siap untuk pergi siang ini. "Mama sama Papa harus ke jogja, sayang. Delon sakit dan harus dirawat. Mama nggak tega," ungkap Mama mertua dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Ma. Semoga semuanya baik-baik saja, ya." *** Sorenya Alan yang mungkin tak semat dikabari oleh Mama mertua datang dengan wajah ceria ketika bertandang. "Ma.... aku datang." Masuk ke ruang tamu, Alan berseru dengan lantang seperti biasanya. "Mama lagi ke jogja, Delon sakit dan harus di rawat." Sambil menuruni anak tangga aku menyampaikan apa yang rasanya perlu untuk disampaikan. "Oh... poor boy." Alan menunjukan simpati saat mendengar sepupunya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. "Semoga saja lekas membaik, r
"Maaf ya, Bik. Aku janji cuma buat malam ini saja." Aku berucap canggung saat merasa tak enak hati karena mengganggu waktu istirahatnya malam ini. "Iya, Mbak." Aku mengedarkan pandangan. Menyadari hanya ada satu kasur bsa setinggi 20 cm dengan ukuran single size, membuatku ragu harus melakukan apa sekarang. "Mbak Putri, tidur diatas saja, biar bibik yang dibawah pakai karpet." Ya Tuhan, kenapa jadi aku makin merasa bersalah begini? "Biar aku saja yang tidur di karpet, Bik." Aku buru-buru memotong ucapan Bik Onah. Tak mau egois dengan mengesampingkan orang lain padahal aku yang menumpang. "Jangan!" "Tidak apa-apa, Bik. Aku dari kecil sudah biasa hidup susah." "Jangan Mbak, pokoknya jangan." "Putri!" Terdengar suara Mas Daniel dari balik pintu. Membuat pikiran ku jadi makin tak karuan dibuatnya. "Bagaimana itu, Mbak?" Bik Onah yang baru saja menggelar karpet bulu bermotif bunga, menatapku meminta p