Share

Bab 6.

"Drama murahan macam apa ini? Berani sekali kau menggoda istriku!" Gigi Mas Daniel bergemeretak dengan wajah yang terlihat semakin garang.

Benarkah dia cemburu? Bukan kah dia bilang aku ini sama sekali nggak menarik?

Kartu nama itu ku tatap sekilas, dan ternyata namanya Sebastian Gunawan.

"Aku pernah lihat kamu... Jalan dengan... Lita. Apa kalian sudah putus?" Tanyanya dengan mengejek. "Rasanya... belum ada sebulan ini aku melihat kalian berdua jalan bersama."

Jadi laki-laki ini tau tentang Lita? mantan Mas Daniel.

Mas Daniel diam. Berarti apa yang diungkapkan lelaki yang baru ku ketahui namanya Bastian ini, betul!

"Ayo, Putri. Kita pulang sekarang."

Aku menatap ragu Bastian sebelum kartu nama miliknya aku sambar dengan cepat dan aku masukkan kedalam tas jinjing kecil yang aku bawa.

"See you again." Bastian mengulas senyum sebelum aku dan Mas Daniel benar-benar berlalu jamuan makan malam orang-orang berkelas ini.

Jujur saja, ada banyak pertanyaan yang menggelayut dalam benak sejak munculnya pertanyaan Bastian. Tapi, ya sudah lah. Dipikir kan nanti saja.

***

"Kenapa buru-buru pulang ,sih?" Aku bersungut-sungut kesal ketika Mas Daniel menarik tanganku masuk ke mobil Range Rover velar series terbaru miliknya.

"Kenapa memangnya?" Balas Mas Daniel sambil menghidupkan mesin mobil.

"Aku tadi menunggu hidangan penutup!" Sentak ku kesal.

Mas Daniel memalingkan muka. Rasanya... Dia sedang menertawakan diriku dalam diam. Ya ... Pasti dia sedang memaki dalam hati karena harus menikahi istri  yang kampungan kayak aku. Tapi ya, gimana lagi, aku tadi nggak selera sama menu utama tadi. Jadi wajar kalau aku menunggu hidangan penutup. Eh, malah Mas Daniel pengen buru-buru pulang.

Capek deh! Punya suami nggak peka banget!

"Kita cari tempat lain buat makan." Mas Daniel berucap tegas tanpa menatapku.

"Ah... Iya, terserah kamu aja."

Mobil pun mulai di jalankan. 

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu tadi sewot begitu sama cowok itu?" Akhirnya aku memulai topik untuk membahas cowok gondrong yang kini sudah berambut cepak dan rapi.

"Kenapa? Kamu nggak terima? Kamu naksir sama dia? Tanpa diduga, Mas Daniel mencecar ku dengan tiga pertanyaan sekaligus.

Kenapa jadi bawel begini? Apa dia salah makan? Atau lagi PMS?

"Dih, siapa yang bilang aku naksir sama dia." Tangkis ku kemudian.

"Kamu kenal dia dimana?" Suara mas Daniel terdengar melunak. Lunaknya seperti puding jeli yang belum begitu keras.

"Dia sering datang dan belanja ke ind*m*ret tempat aku kerja dulu," Jawabku jujur.

"Oh ... Pelanggan ya?" Tanyanya dengan nada yang sedikit lebih rendah.

"Iya."

Wait! Kenapa wajah Mas Daniel berubah? Apa dia nggak suka kalau aku bahas tentang Bastian?

"Ya udah Mas, mampir ke warung ayam geprek dipinggir jalan aja, aku laper." Aku buru-buru mengalihkan pembahasan saat suasana hening cipta dimulai.

Mas Daniel mengangguk pelan dan memarkirkan mobil begitu kami sampai di depan warung ayam geprek pinggir jalan.

"Makan sini aja." Mengingat aku ketika hendak memesan nasi plus ayam geprek level terpedas.

"Biar apa?"

"Kan, nggak lucu aja. Kita yang habis dinner beli makanan diluar kayak gini?" Wah ternyata suamiku bisa juga berpikir kritis. Salut!

Hei, Putri. Ngaca dong, dia itu lulusan Pascasarjana sedang kan kamu hanya tamatan SMA. Jangan sok-sokan ngeremehin dia.

"Iya, deh iya."

Aku yang memang pecinta pedas, sangat menikmati ayam geprek level super pedas di hadapanku. Membuat Mas Daniel geleng-geleng kepala sambil mengulas senyum sesekali menatap melihat ku kepedesan.

Manis. Senyum suamiku memang semanis itu pemirsa, rasanya nggak perlu pesan es teh manis. Melihat senyum nya saja pedas ku hilang.

Percaya nggak!

Jangan percaya. Bohongan aja tuh!

Emang ada zaman sekarang modal cinta terus pedas hilang? Kalau himpitan ekonomi yang ada berantem terus. Tetap berpikir realistis ya.

"Mau coba?" Tanyaku basa-basi.

Mas Daniel menggeleng pelan

"Udah makan aja, kan kamu bilang tadi kamu laper? Aku udah makan tadi."

"Cuma dikit, mana kenyang?"

Mas Daniel tersenyum tipis saat aku terus mengunyah sambil berbicara sesekali.

Ya ampun, kalau dilihat dari senyum nya kok agak aneh ya! Aku jadi curiga di gigiku ada cabe lagi.

Buru-buru aku mengambil ponsel di tas jinjing dan ku nyalakan kamera dengan mode malam untuk memastikan tidak ada cabe laknat yang nyangkut di gigi ini.

Enggak ada ternyata, saudara-saudara! Terus kenapa mas Daniel senyum-senyum pas ngelihatin aku begitu.

"Kenapa kamu ngeliatin aku terus,sih? Nggak ada loh cabe di gigi aku."

"Cabe aja yang dipikirin, cepat di habisin! Atau aku tinggal kamu nih!"

Aku mencebik kesal.

"Jahat banget, ngancamnya nggak pakai perasaan."

"Bodo amat!"

Pengen rasanya aku kick aja suami model begini, kick gimana dulu? Yang jelas kick sayang lah sama paksu.

***

"Selamat tidur." Mas Daniel menarik selimut sebelum memejamkan mata.

Aku mengangguk pelan dengan perasaan..... Entahlah.

Bukankah belakang ini sikap Mas Daniel sedikit berbeda? Lebih perhatian.

Ya, walaupun aku dibiarkan tersegel sampai sekarang. Tapi ini kemajuan pesat, setidaknya tatapan jijik Mas Daniel sudah berkurang.

Kira-kira kenapa ya?

Apa iya, dia sudah mulai ada rasa padaku?

Jiah.... Ngarep!

Aku yang masih berbaring sambil merenung dikamar dengan lampu remang-remang ini, dibuat terkejut saat Mas Daniel tiba-tiba menyampirkan tangan tepat diatas perutku.

Nggak cuma sampai disitu. Dia sudah merem, juga tiba-tiba memeluk ku semakin erat. Bikin aku deg-degan setengah mati.

Sumpah! Ini pelukan pertama sejak kami menikah. Dan yang pertama juga buat aku, karena aku nggak pernah sama sekali pacaran.

Gimana mau mikirin pacaran? Bisa makan sama sekolah tamat aja udah syukur Alhamdulillah.

Duh, mau apa dia?

Apakah akan terjadi ke khilafan sebentar lagi? Kok cuacanya jadi panas begini!

Jantungku seakan hampir melompat saat hidung bangirnya menyentuh pipi.

Wow! Aw! Aw!

Ya ampun, baru pipi sudah lama dingin begini? Bagaimana kalau sampai yang lain? Kok, rasanya jadi nano-nano begini ya?

Seluruh tubuhku rasanya menegang, bagaimana tidak, ini sesuatu yang baru padaku. Di peluk dan dicium sendiri oleh suamiku rasanya aneh-aneh gimana gitu.

"Putri."

Mas Daniel buru-buru melepaskan pelukan dan menjauhkan wajah dariku begitu matanya terbuka.

Meski dengan perasaan gugup aku mencoba bertahan pada posisiku.

"Kenapa?" Aku menyahut santai walaupun dalam hati ada rasa kecewa karena melihat dia menyesal telah memeluk dan mencium pipi istrinya sendiri.

"Kamu pasti sengaja kan?" Dia menuding tanpa perasaan.

"Sengaja apanya! Bukannya kamu yang peluk-peluk duluan? Kok malah aku yang disalahin?" Aku membalas ucapannya dengan perasaan yang kesal.

Walaupun kami sudah resmi sebulan suami istri, tapi masa iya, aku perempuan yang nyosor duluan? Lagian aku belum ada pengalaman, yang ada nanti aku mempermalukan diriku sendiri.

"Kalau dirasa kehadiran membuat mu terganggu, baiklah... Aku tidur di sofa!" Aku buru-buru menurunkan kaki dan berjalan cepat menuju sofa kamar berwarna coklat tua, yang didepannya terdapat meja kaca bulat.

Disaat seperti ini aku merasa dadaku seperti terhimpit.

Aku kembali merendahkan diri, merasa tidak seharusnya setuju menikah dengan anak pengusaha sukses seperti Pak Ramon yang pernah 4 kali singgah di minimarket tempat aku bekerja dulu.

"Putri!" Entah rasa bersalah atau apa, Mas Daniel memanggil namaku begitu aku sudah terduduk kaki di sofa.

"Nggak usah panggil-panggil!" Aku menyahut tajam. "Aku menyesal telah setuju menikah dengan laki-laki yang memandangnya ku sama hina nya dengan kotoran."

"Bukan, begitu Putri?"

"Sudahkah Mas, kalau kamu Mengantuk lanjutkan tidurmu. Aku janji nggak akan mengganggumu."

Mas Daniel menyentak napas kasar.

Sejurus kemudian tampak dia bangkit dan berjalan menuju kamar mandi.

Apa kemarahan ku membuat perutnya mules?

Tak sampai lima menit, terlihat keluar dari kamar mandi dengan wajah yang kelihatan lebih segar. Apa dia cuci muka barusan? Biar apa coba?

Setelah melihat pria yang 35 tahun itu mengambil laptop dan memangku nya. Kakinya ia selonjor kan begitu saja, sedangkan punggungnya bersandar di kepala ranjang.

Sesekali, kami saling pandangan dari jarak yang agak berjauhan. Namun, satu katapun tak ada yang keluar untuk memecah suasana hening yang masih diliputi ketegangan.

"Rasanya.... Aku butuh teman?" Sengaja aku berucap lantang, ingin tahun bagaimana reaksinya.

Mas Daniel yang sedari tadi tengah sibuk dengan laptop di pangkuannya, melirik padaku.

Wah, mantap! Dia terpengaruh ternyata.

Bagus!

Tanpa kata, aku bangkit dari sofa. Kuambil kartu nama Sebastian Gunawan yang tersimpan didalam laci nakas samping ranjang.

Dari ekor mataku, bisa ku pastikan dia melirik pada diriku begitu aku membuka laci.

Bodo amat!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status