Selepas mengganti lampu kamar Ibu, aku pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Magrib. Namun, kesempatan menengok Zainab di kamar. Dia sudah selesai mandi dan bersiap untuk melaksanakan salat. Aku benar-benar merasa bersalah karena kejadian tadi siang. Zainab sangat marah denganku hingga dia enggan untuk makan siang dan memilih tidur. Hampir empat jam dia tidur sangat nyenyak. Berulang kali aku ingin membangunkannya, tapi dilarang oleh Ibu. Katanya, mungkin Zainab kelelahan dan menyuruhku membiarkannya tidur. Aku masih saja tersenyum jika mengingat wajah Zainab yang memerah karena melihatku selesai mandi. Dia memang pemalu, bahkan saat menjalankan kewajibannya, Zainab selalu meminta memakai lampu tidur agar tidak terlalu terang.Semoga aksiku tadi bisa meluluhkan hatinya agar tidak lagi mendiamkan suaminya ini. Aku bergegas ke masjid karena sudah terdengar kumandang iqamah. Pun melanjutkan mengikuti pengajian ba'da Magrib dan melaksanakan salat Isya berjemaah sekalian. Sampai di
PoV ZainabAku sebenarnya tidak tega melihat Mas Zaidan harus memanjat pohon malam-malam. Namun, aku juga ingin melihat kesungguhannya untuk membahagiakanku. Bukan hanya dengan uang, tapi dengan niat dan perjuangan. Untung Ibu juga mau membantu. Jadi, suamiku yang maunya serba instan dan gemar belanja online itu mampu memenuhi permintaanku. Entah kenapa aku sangat menginginkan buah matoa sejak pulang dari belanja siang tadi. Melihat pohon dengan banyak buah bergelantungan membuatku menelan saliva. Aku berusaha menahan keinginan itu karena tidak ingin menyusahkan Mas Zaidan. Namun, aku justru memakainya untuk melihat kesungguhannya meminta maaf karena sikapnya yang menurutku kekanak-kanakan. Pagi ini, aku merasakan mual yang tidak mampu ditahan. Selepas salat Subuh, aku buru-buru ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut. Padahal tidak ada bau wangi apa pun. Mas Zaidan juga sudah tidak pernah memakai parfum, tapi kenapa aku mual sekarang? "Za, kamu kenapa?"Mas Zaidan sudah pulan
Aku merasa kalau akhir-akhir ini sikap Zainab berubah lebih manja dan kekanakan. Dari segi usia, dia memang masih tergolong belia. Masih sangat wajar jika sikapnya sering berubah. Ditambah lagi hormon perempuan hamil yang bisa berubah drastis hanya dalam hitungan detik. Aku harus bisa lebih bersabar lagi saat menghadapinya. Tidak ingin jika dia kembali tertekan dan membuat depresinya kambuh lagi. Aku tahu jika traumanya belum sembuh secara total. Apalagi, ingatannya yang hilang sebagian itu pun belum kembali. "Za, bagaimana kalau kamu berhenti kuliah saja? Kamu fokus sama kehamilanmu."Zainab yang sedang mengupas buah mangga di meja makan menghentikan aktivitasnya. "Maksud Mas bagaimana? Aku masih mau kuliah. Aku ingin mewujudkan keinginan Ayah. Kalau Mas gak mau biayain kuliahku lagi, aku bisa sambil kerja."Zainab salah faham lagi. Cara berpikirnya cenderung pendek beberapa hari terakhir ini. Sikap legowo-nya mulai berkurang. "Bukan seperti itu maksudku, Za. Mas cuma gak mau kam
PoV ZainabEntah apa yang terjadi padaku? Belakangan ini, aku mudah sekali tersulut emosi. Mudah sekali marah dan melampiaskan pada Mas Zaidan. Dia pun pasti kebingungan dengan sikapku, tapi hati ini juga bingung. Dengan Dokter Kartika yang jelas-jelas hanya teman masa kecil Mas Zaidan pun aku bisa jealous. Padahal tidak ada yang istimewa pada obrolan mereka saat bertamu. Namun, aku seakan tidak terima jika Mas Zaidan tertawa lepas dengan perempuan itu. Bahkan, mereka sempat membicarakanku yang malah dituduh sebagai perusak rencana pernikahan Mas Zaidan dan Bu Maira. Mendengar itu, aku kembali merasa jika kehadiranku memang tidak diharapkan dulu. Apalagi jika mengingat Ibu yang sangat tidak menyukaiku di awal pernikahan kami. Dan sekarang ditambah lagi permintaan Mas Zaidan agar aku berhenti kuliah. Seakan tidak ada lagi orang peduli dengan perasaanku. Mereka hanya peduli dengan perasaan masing-masing. Namun, di saat bersamaan, ada tetangga yang mengabarkan jika ada pasangan pengant
Aku sangat yakin jika ada yang disembunyikan oleh Zainab. Dia menangis tergugu dalam doa selepas salat Magrib. Beberapa kali istri kecilku mengucap kalimat yang membuatku berpikir lebih keras. "Allah ... berikan aku kekuatan untuk bisa mencintai Mas Zaidan lagi secara utuh."Kalimat itu masih saja terngiang di telingaku. Apakah cintanya untukku tidak lagi utuh? Apakah ada laki-laki lain yang berhasil mengambil hatinya? Ah, Za ... jangan membuatku resah! Meskipun aku berusaha menanyakan apa yang sebenarnya membuatnya bersedih, Zainab hanya bilang kesepian karena aku yang terlalu sibuk. Aku mencoba percaya karena memang hubungan kami sedikit renggang karena kesibukan masing-masing dengan urusan kampus. Apalagi saat Ibu mengatakan hal yang bahkan aku tidak menyadarinya. Tentang pakaian Zainab yang terlihat kekecilan sekarang. Apa aku memang suami yang kurang peka? Atau Zainab saja yang sudah tidak pernah mau bermanja padaku? Atau memang benar jika ada laki-laki lain di hatinya? Ah,
PoV ZainabAku tersentak saat mendengar suara panggilan Ibu pada Mas Zaidan tepat di depan pintu ruang kerja ini. Aku pun bergegas mengembalikan buku diary milik Kak Angga ke tempatnya semula dan keluar untuk menghampiri Ibu dan Mas Zaidan. Namun, entah apa yang terjadi, Mas Zaidan mengabaikan panggilanku. Dia masuk ke mobil, memundurkan mobilnya, lalu melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Apa mungkin Mas Zaidan melihatku menagis sambil memeluk diary Kak Angga? Aku tidak bisa berpikir jernih dan langsung berlari mengejar mobil Mas Zaidan yang hampir sampai di ujung jalan dan beberapa detik lagi akan berbelok ke kiri. Namun, aku merasakan perut yang tiba-tiba kaku disertai pandangan yang memburam. Aku sempat pingsan dan terbangun di atas sofa. Entah rumah siapa ini. Ada Ibu dan seorang perempuan berpakaian biasa dengan stetoskop menggantung di leher."Alhamdulillah, kamu sadar juga, Nak."Perempuan yang sepertinya dokter itu menyodorkan secangkir teh padaku. Terasa hangat saat cang
Aku merasa lega meskipun tetap ada yang mengganjal. Paling tidak, Zainab sudah mau mengakui apa yang dirasakannya. Ternyata memang ada hubungan masa lalu antara Zainab dengan Angga. Dan sekarang, aku hanya harus membuat Zainab bergantung sepenuhnya padaku. Dengan begitu, tidak ada kesempatan untuk Angga mendekati Zainab. "Gimana kabar istrimu, Dan? Gak ada yang serius, kan?" tanya Handoko. "Alhamdulillah, baik-baik saja. Cuma tekanan darahnya rendah saja.""Syukur kalau baik-baik saja. Soalnya kamu gak ada kabar lagi seharian kemarin. Kirain ada yang serius." Bagas menyela. Ah, iya. Aku kemarin tidak kembali ke kampus setelah mengantar Zainab pulang. Aku memilih menenangkan diri di rumah milikku sendiri. Lagipula, Zainab sudah ada Ibu yang pasti menjaganya. "Terima kasih kalian sudah peduli." Aku tak menanggapi lebih dan memilih langsung duduk di bangku mejaku.Meskipun aku sudah mencoba legowo untuk Zainab, tetap saja masih ada mengganjal karena ada nama laki-laki lain di hatinya
Aku yang sempat tersulut emosi seketika mampu meredam karena melihat tingkah lucu Zainab. Sangat menggemaskan memang mempunyai istri yang masih sangat muda. Aku merasa menjadi laki-laki paling beruntung. "Woi! Siang-siang kesambet!"Suara keras disertai gebrakan di meja membuatku terhenyak hingga tanpa sengaja menjatuhkan pulpen yang ada di genggaman. "Gila lo, Han! Gimana kalau gue jantungan?" pekikku seraya memukul bahunya. Handoko hanya terkekeh. "Makanya jangan melamun siang-siang! Senyum-senyum sendiri pula."Handoko duduk di bangkunya masih dengan tawa puas. Sementara Bagas yang mengekor di belakang Handoko hanya menggeleng dengan senyum kecil. "Kalian udah pada berumur tetep aja kayak ABG.""Handoko itu, Gas. Tingkahnya masih kayak anak SMA yang ngajak tawuran," ucapku sambil membungkuk untuk mengambil pulpen yang jatuh. "Pak Zaidan itu berubah sejak menikah sama anak ABG. Jadi gak inget umur." Satu orang lagi yang menambah daftar orang menyebalkan dalam hidupku. "Bener