Satu bulan terlewat tanpa kabar tentang Zainab. Ada bahagia yang bersamaan dengan duka. Di satu sisi, aku bahagia karena korban meninggal di hadapanku saat itu bukan Zainab. Namun, dukanya adalah di saat keberadaannya justru belum diketahui hingga saat ini. Hanya harapan jika dia selamat dan akan segera pulang. Berkumpul lagi denganku dan Zahira. "Ada Maira di depan, Dan." Ah, Maira! Dia selalu saja datang setiap Ahad sejak menghilangnya Zainab. Bahkan, sempat kudengar jika pernikahannya batal karena Maira memilih pergi dari rumah dan menemuiku saat berita hilangnya Zainab sudah tersebar.Aku sebenarnya enggan menanggapinya, tapi entah kenapa Zahira merasa nyaman saat bersamanya saat aku dan Ibu kebingungan untuk menenangkan putri kecilku, Maira datang. Dan dalam sekejap, Zahira diam dalam gendongan Maira. Aku tidak menginginkan kehadiran Maira, tapi dia sendiri yang datang. Dan demi Zahira, aku terpaksa diam saat gadis itu menggendongnya. "Jangan terlalu sering kemari! Aku tidak
Aku masih terus memandangi perempuan yang satu bulan lebih membuat hati ini hampir mati. Dia meletakkan nampan berisi dua gelas teh dan satu piring kacang rebus di meja ruang tamu. Mata indah itu mengerjap berkali-kali saat melihatku. Ah, Za. Ada yang berdesir di hati ini. Aku merasa seperti jatuh cinta lagi. Ingin sekali langsung memeluk tubuh mungil itu. Mas kangen, Sayang. "Om kenapa lihatin Nisa kayak gitu? Om, naksir Nisa, ya?" Perempuan berlesung pipi itu menyebut dirinya Nisa dan memanggilku dengan sebutan Om. Apa yang sebenarnya terjadi satu bulan terakhir ini? Kenapa Zainab bisa melupakanku? "Kamu gak ingat siapa aku?" Zainab menggeleng, lalu beralih menatap Pak Hasyim. Dia diam. Sepertinya bingung akan menjawab pertanyaanku. "Sini, duduk!" Pak Hasyim menepuk bangku di sebelah kirinya. Zainab pun menurut. "Apa yang sebenar terjadi dengan Zainab, Pak? Kenapa dia menyebut dirinya dengan nama Nisa?" "Nisa, kalau Ayah bilang dia ini suamimu, bagaimana?" Pak Hasyim tida
Setelah tertidur beberapa jam, tubuhku sudah kembali fit. Sekitar pukul tiga pagi, aku terbangun dan bergegas mandi untuk melaksanakan salat malam. Sementara kubiarkan Zainab tetap tertidur. Wajah polosnya masih sama. Hanya saja ada satu bekas luka di pelipis kanannya yang terlihat jika sedang tidak mengenakan jilbab. Mungkin itu luka bekas kecelakaan tempo hari. Ungkapan syukur terus kuserukan karena Zainab sudah kembali dalam keadaan baik-baik saja. Namun, belum lama selesai salat, terdengar isakan dari perempuan di atas tempat tidur. Seketika, aku menoleh. Ternyata, Zainab sudah bangun dan dia menangis. Aku bangkit dari duduk dan menghampirinya. "Kenapa nangis? Maaf untuk tadi malam! Aku khilaf," ucapku sambil membelai rambutnya. "Om jahat sama Nisa. Om udah punya istri dan anak, kenapa harus menikahi Nisa lagi? Om kasih uang berapa buat Ayah? Kenapa Ayah langsung setuju Om nikahin Nisa?" Zainab duduk sambil memeluk lututnya. Mulutnya mengerucut disertai suara merajuk yang mala
"Za mau makan apa?" tanyaku pelan. Sedikit melunakkan suara supaya Zainab tidak ngegas di tempat umum. Kami sudah berada di salah satu meja kosong restoran mal. Zainab duduk dengan kedua tangan menyangga dagu. Matanya mengerjap lucu. "Za mau makan apa?" tanyaku lagi karena dia tidak merespon. "Terserah Om aja. Aku apa aja doyan," jawabnya pelan tanpa mau melihatku. Aku hanya bisa mengelus dada dengan sikap baru Zainab yang sangat cuek. Seperti bukan Zainabku yang dulu. Namun, aku tetap bisa merasakan getaran cinta yang sama. Mungkin karena semua ingatan masa lalunya benar-benar hilang hingga tidak ada kenangan sedih yang melintas di pikirannya. Aku memesan dua porsi nasi kebuli, salad buah, jus, dan juga air mineral. Sementara Zainab kembali diam seribu bahasa. "Za punya handphone, gak?" tanyaku memecah keheningan. Zainab hanya menggeleng tanpa menjawab. "Kita beli sekalian, ya. Za butuh apa lagi?" "Om gak usah banyak tanya, deh! Nanti, Om malu kalau aku banyak bicara.""Aku
Zainab cengengesan saat Ibu memergokinya memanggilku 'om'. "Dia siapa, Om?" tanya Zainab lirih. "Itu, Ibu. Sana, salim dulu." Tanpa kata lagi, Zainab mendekat pada Ibu yang berdiri di samping sofa ruang tamu sambil menimang Zahira. "Bagaimana kabar Ibu?" tanyanya seraya mencium tangan Ibu. "Ibu Baik, Nak. Alhamdulillah, kamu kembali dengan selamat, Nak. Ibu, Zaidan, dan Zahira sangat merindukanmu." Diciumi wajah sang menantu cantik itu oleh Ibu. Sementara, Zainab hanya diam dengan senyum simpulnya. "Selamat, ya, Mas. Istri Mas Zainab sudah ditemukan. Aku ikut seneng." Maira tiba-tiba menghampiriku. "Iya, aku juga mau bilang terima kasih karena membantu menenangkan Zahira saat mamanya belum ditemukan," jawabku tanpa melihatnya. Aku lebih fokus pada adegan mengharukan antara seorang ibu dengan menantunya. Beberapa saat kemudian, Maira berpamitan. Dia mencium tangan Ibu sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Baguslah, dia memang seharusnya tidak di sini. Zahira pun sudah
Hari ini, tepat satu pekan Zainab kembali ke rumah. Aku melihatnya sedang tertawa bersama Bu Padma diruang tengah. Dengan mudah dia beradaptasi dengan Bu Padma dan juga Pak Rudi. Mungkin karena sikapnya sekarang yang supel dan hanya ada sepasang suami istri itu di rumah. Jadi, Zainab pun bisa lebih banyak ngobrol dengan mereka. Namun, ada kejadian tak terduga pagi tadi di kampus yang membuat mood-ku ambyar. Pak Syamsul kembali memanggilku. Saat tiba di ruang rektorat, ada seorang laki-laki berjas hitam yang duduk santai di samping Pak Syamsul. Orang itu menyebutkan dirinya sebagai pengacara keluarga dari Herman Aditama dan mengatakan ingin membicarakan tentang status Zainab sebagai satu-satunya pewaris dari keluarga Aditama. "Apa maksud, Bapak? Bukankah Pak Herman sendiri yang tidak ingin mengakui istri saya sebagai cucunya?" Aku menggeleng kasar. "Memang benar, Pak. Namun, Pak Herman sekarang ini sedang sakit dan beliau dirawat di rumah sakit. Setelah ditelusuri lebih lanjut, cucu
Kabar duka datang dari Herman Aditama. Dia pergi untuk selamanya satu bulan setelah menyerahkan semua hak warisnya pada Zainab. Dan sudah hampir dua bulan ini, Zainab lebih sibuk di luar rumah untuk mengurus perusahaan yang sudah menjadi miliknya. Namun, untuk kampus, Zainab menyerahkan pengelolaannya padaku atas izin sang kakek. Sudah hampir pukul sembilan malam, Zainab belum juga pulang. Padahal, sejak selepas Magrib, aku terus meneleponnya agar segera pulang. Namun, perempuan itu seakan tak peduli lagi denganku ataupun Zahira. Dia hanya mementingkan pekerjaan tanpa ada lagi perhatian untuk putri kecil kami yang seharusnya diprioritaskan. "Zahira sudah tidur, Dan. Kenapa gak ditidurkan di box?" tegur Ibu. Mungkin beliau heran karena melihatku masih menggendong Zahira sambil mondar-mandir di ruang tamu. "Zainab belum pulang?" tanyanya lagi karena aku tidak menjawab pertanyaan pertamanya. Aku hanya menggeleng. Bingung harus mengatakan apa pada Ibu. Zainab terlalu mementingkan peke
PoV ZainabBukannya aku tidak mau menerima kehamilan ini, tapi ada sedikit ketakutan karena jarak dari melahirkan Zahira masih sangat dekat. Meskipun kata dokter jika jahitan nya sudah sembuh total setelah tiga bulan pasca melahirkan, tetap saja aku masih sedikit trauma dengan kehamilan pertama itu. Namun, aku berusaha menutupi ketakutan ini dari Mas Zaidan. Dia tidak perlu tahu jika aku sudah mengetahui kehamilan ini dari usianya baru tiga minggu. Aku langsung mengeceknya dengan testpack saat mengetahui jika sudah tiga hari telat datang bulan. Hingga akhirnya, Mas Zaidan curiga karena aku muntah-muntah di pagi hari. Saat itu, usia kandunganku sudah masuk bulan kedua. Dan entah apa yang dia ketahui, Mas Zaidan mampu menebak jika ingatanku telah kembali. Ya, semuanya akhirnya terkuak. Aku memang mengalami hilang ingatan, tapi itu hanya sebentar. Sekitar satu bulan setelah kecelakaan itu, aku sudah ingat semuanya. Itu sebabnya, aku meminta Ayah untuk menghubungi Mas Zaidan. Aku tahu p