POV Author"Ayah stop!!" teriak Alya berusaha memeluk Pak Rahul, ayahnya."Ayah udah!" Aini pun ikut serta melerai mereka berdua.Sedangkan Andi dia tersungkur dengan darah di bibirnya."Andii!""Ya ampun! Anakku?" teriak Bu Sonia."Saya kecewa sama kamu Andi! Selama ini saya pikir kamu adalah laki-laki baik yang bisa menjaga anak saya, tapi ternyata saya salah. Kamu tidak lebih dari seorang pecundang yang selalu bersembunyi di bawah ketiak ibumu!" murka Pak Rahul pada Andi."Heh! Tua bangka! Berani banget kamu ya mukulin anak saya! Asal kamu tau, anakmu yang tidak bisa dididik. Anakmu yang tidak tau diri, sudah diterima di keluargaku tapi malah tak bisa menghargai kami sebagai keluarga dari suaminya!" ucap Bu Sonia tak mau kalah."Ayah, udah, ingat kesehatan Ayah," bisik Alya sambil memeluk erat Pak Rahul."Saya besarkan anak saya penuh kasih sayang, penuh perhatian. Saya beri dia semangat saat terjatuh, saya beri dia segalanya agar tak kehilangan kebahagiaan. Tapi di saat bersamamu,
"Andi apa-apaan kamu! Di mana harga dirimu sebagai lelaki?" ujar Bu Sonia kesal.Sedangkan Sarah dia hanya diam dengan wajah yang pucat dan telapak tangan dingin."Hmmm, kau salah Sarah! Ternyata adikmu yang rapuh, bahkan sekarang dia yang berlutut di hadapan kakakku!" ucap Aini yang membuat Sarah semakin kalah telak.."Ngapain kamu kayak tadi, hah! Kayak nggak ada harga dirinya sama sekali!" bentak Bu Sonia."Sudahlah, Bu, jangan marah-marah, Sarah juga mau istirahat. Intinya sekarang kita harus bahagia, karena Andi bisa terbebas dari wanita laknat itu," ujar Sarah pelan."Sarah! Apa yang dikatakan Aini tentangmu tadi. Hal apa yang kamu sembunyikan dari Ibu?" tanya Bu Sonia."Apa sih, Bu. Anak kecil kok dipercaya, udahlah Sarah mau tidur. Capek!" elak Sarah lalu meninggalkan Bu Sonia, sebelum ia kembali bertanya yang macam-macam."Andi," lirih Bu Sonia mendekati sang putra."Tidak masalah, Bu. Andi rasa ini adalah keputusan yang benar, Andi akan secepatnya mengurus perceraian dengan
POV AlyaTepat dua bulan sudah, akhirnya aku dan Mas Andi resmi bercerai. Tak ada lagi tali yang mengikat antara kami berdua. "Alhamdulillah, ya, Kak. Akhirnya bisa lepas dari mereka," ucap Aini kala itu."Iya, Dek, Mbak sekarang udah menyandang status baru," jawabku."Nggak papa, Mbak, selagi masih di jalan kebaikan. In Syaa Allah, Allah selalu bersama dirimu, Mbak," ujar Aini bijak.Setelah itu, kami berdua lalu melanjutkan pembuatan kue.Ya, aku baru saja mencoba menjual kue secara online. Setidaknya ini membantu perekonomian keluargaku, apalagi dulu aku memang kursus belajar memasak. Baik dari pembuatan makanan sehari-hari maupun makanan ringan."Mbak ada lagi nih pesanan dari kampus Aini, kue lumpia 100 sama bingkanya 50, Mbak," ucap Aini.Aku tersenyum senang. Lagi-lagi aku mendapatkan pesanan.Saat itu kutanyakan pada Aini, apakah dia malu jika harus berdagang di kampusnya.Jawabannya membuatku terharu, dia bilang untuk apa malu. Selagi tidak dicari dengan cara yang salah da
"Assalamualaikum, Ayah!" ucapku dan Aini secara bersamaan.Tak berselang lama, pintu terbuka."Wa'alaikumsalam, sudah pulang ternyata. Ayo masuk," ucap Ayah."Ayah sudah makan?" tanyaku sambil berjalan masuk ke dalam rumah."Tadi Alya sudah masakin telur balado kesukaan Ayah," ujarku lagi."Belum, Nak. Ayah baru selesai benarin kran air di dapur," jawab Ayah."Kenapa kran airnya, Yah? Bocor kah?" tanya Aini."Bukan, itu lho nggak mau jalan airnya. Ternyata ada sampah yang nyumbat," ucap Ayah lagi."Owalah. Oh, ya, Aini ada zoom nih, Mbak. Aini tinggal dulu ya," ucap Aini berpamitan lalu masuk ke kamarnya."Ayah kadang sunyi di rumah ini, adikmu kuliah jarang ada waktu kumpul bersama. Ya, Ayah paham dia sibuk juga untuk mencapai cita-citanya. Lalu, kamu ....""Sssst! Intinya yang terpenting sekarang Alya udah nggak kemana-mana, Alya di sini sama Ayah. Kita bisa sama-sama lagi," ucapku memotong ucapan Ayah. Aku sudah tak ingin mengingat masa-masa kelam yang pernah kulewati. Cukup semua
POV Andi!Semenjak palu diketuk, aku sudah tak lagi pernah menemui Alya. Aku hanya bisa melihatnya dari jauh.Namun, beberapa Minggu Alya jarang kelihatan ke luar rumah, entah kenapa? Apa mungkin dia tahu bahwa selama ini aku mengawasinya.Entahlah, tapi kuharap masih ada kesempatan untuk aku kembali lagi bersamanya.Walaupun harapan itu hanya terlihat samar, karena pertentangan Ibu dan Mbak Sarah yang terlalu jauh. Mereka terlihat sangat-sangat tidak menyukai Alya.Lalu, bagaimana kami bisa hidup bahagia berdua. Jika kami saja tak ada restu yang diberikan oleh Ibu dan juga Mbak Sarah."Andi minta uang dong," ucap Mbak Sarah mengagetkanku."Uang lagi! Uang lagi! Uang lagi! Nggak ada apa, Mbak, sehari aja jangan ungkit pasal uang! Kamu kira kerja itu enak, di sini kamu kerjaannya belanja, belanja terus! Anakmu di rumah nggak dipikirin!" bentakku pada Mbak Sarah.Melihat gayanya yang suka menghambur-hamburkan uang, membuat darahku naik.Bisa-bisanya di saat keadaan genting begini, pikir
"Gimana, Ndi? Kita minta kembali aja deh, lumayan lho buat nambah-nambah uang belanja," ucap Mbak Sarah lagi.Aku masih terdiam, memikirkan ucapannya."Halah! Jangan-jangan, malu-maluin kalo sampai minta dibalikin. Apa kata tetangga Alya nanti, belum lagi yang ada kita bakalan dicap buruk sama orang sini," tolak Ibu pada Mbak Sarah."Ya elah, Bu. Terus gimana dong, emang Ibu mau kita kayak dulu lagi," ucap Mbak Sarah kekeh dengan keinginannya."Gimana, Ndi. Kamu setuju aja kan yang Mbak bilang, mending diminta kembali. Lagian kalian juga udah nggak ada hubungan apa-apa, siapa tau kamu mau nikah lagi. Biar uangnya Mbak simpankan di rekening," ucap Mbak Sarah."Nggak ah, Mbak. Ngapain dipinta kembali, bener kata Ibu yang ada nanti kita yang malu. Mending kalian aja yang kurang-kurangin gaya-gayaannya. Biar nggak lebih besar pengeluaran daripada pemasukan," ucapku menolak.Raut wajah Mbak Sarah langsung berubah. "Ya udah kalo gitu, gadaikan ada sertifikat rumahmu ini. Biar Mbak sama Ibu
"Ada apa ini? Kenapa kalian diam!" ujar Ibu yang mulai penasaran."Bu, maaf," mohon Mbak Sarah."Ada apa, Sarah?" tanya Ibu lembut."Andi kamu apain lagi kakakmu, hah?!" ucap Ibu yang terus menyalahkanku."Andi! Andi! Andi terus yang disalahkan. Coba tanya anak kesayangan Ibu itu, hal apa yang buat Andi marah ke dia sampai sebesar ini!" teriakku lantang. Selama ini aku selalu mengalah pada Mbak Sarah karena Ibu selalu membela kesalahan apapun yang dilakukan Mbak Sarah.Sekarang apakah Ibu masih bisa membelanya, pikirku."Andi! Ibu hanya bertanya?" tegas Ibu."Ibu nggak nanya, tapi Ibu berbicara seolah-olah di sini aku yang bersalah. Suruh anak kesayangan Ibu itu diam! Nggak usah pakai drama nangis segala. Berapa banyak uang yang sudah diterima, apa saja yang sudah diberikan dia sama lelaki hidung belang itu! Tanya, Bu!" ucapku penuh penekanan.Raut wajah Ibu berubah seketika. Tangannya terlihat bergetar, matanya langsung menatap Mbak Sarah yang terus mengelak tentang kesalahannya."Sa
"SARAH!" Aku menatap Mas Roni yang juga menatap dengan tajam. Matanya memerah dengan napas yang tak beraturan dan juga kepalan tangan yang terlihat mengepal erat."M-mas ....""Sabar, Romi. Istighfar, ingat ada Nita di dalam kamar. Setidaknya jaga perasaan dia, tetap jadi Ayah yang patut dicontoh," bisik mertua Mbak Sarah yang terdengar olehku."Aku kecewa sama kamu, Sarah! Bisa-bisanya kamu berbuat rendahan seperti ini. Bisa-bisanya kamu membuatku sakit sejauh ini, kamu nggak mikir gimana mental Nita ke depannya?""Setega inikah kamu sama kami, Sarah! Apa kurangnya aku selama ini, apapun yang kamu minta aku mati-matian menuruti agar hidupmu tercukupi. Tapi balasan apa yang kudapatkan, ibaratnya kau lempar kotoran ke wajahku. Bahkan sekadar membersihkannya pun aku tak mampu!" ucap Mas Roni dengan suara yang parau."M-mas, ini nggak seperti yang kamu lihat! Lelaki itu yang menggodaku!" teriak Mbak Sarah sambil menunjuk lelaki tua yang duduk dengan kepala menunduk."Heh j*l*ng! Wanita u