Bismillah
"Istriku Kuyang"
# part_3
#by: Ratna Dewi Lestari.
Bulu kudukku seketika merinding, kutatap toilet yang berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatku berdiri. Suasana malam yang gelap, hanya ada lampu lima watt di belakang dan toilet. Ingin rasanya aku pipis di tempat saja. Rasa takut kian menyergap.
Aku belum terbiasa berada di tempat sesunyi ini. Apalagi di sekitar tumbuh pohon-pohon tinggi menjulang. Kelebatan kelelawar malam seolah menambah suasana mencekam. Angin malam yang dingin membuatku bertambah enggan beranjak dari tempatku berdiri.
Beruntung malam ini bulan bersinar amat terang. Cahayanya berpendar sangat indah. Ku beranikan diri melangkah dengan melipat tangan di dada. Dingin. Sambil mataku menatap sekeliling.
Krekkkkk!
Dengan segera kubuka pintu toilet. Sudah sangat sesak. Dan lega.
Byurrrrr!
Bukkkkk!
" Astaga, apa itu!" tak sengaja bibirku terucap mendengar sesuatu jatuh menghantam atap rumah. Aku segera menyelesaikan kegiatanku dan berjalan keluar dari toilet.
Mataku menatap sekeliling. Tak ada apapun. Ku kira buah yang di bawa kelelawar jatuh menimpa rumah, tetapi tak ada nampak satu buahpun terjatuh di sana. Sedang asyik mataku mencari sambil menunduk, tiba-tiba ...
Plukkkk!
Sesuatu menepuk pundakku. Aku langsung berdiri dengan kaki gemetar. Dengan pelan kubalikkan tubuhku dan kulihat seseorang berdiri di belakangku.
"Arini?" ucapku lirih.
"Ya, Bang, ini aku, Abang ngapain di sini?" ucapnya.
"Abang habis dari toilet. Kamu dari mana saja? Abang cari-cari dari tadi!" sungutku sedikit merajuk.
"Aku tadi di ruang tamu, Bang. Abang aja yang ga lihat aku di sana!" jawab Arini cuek. Ia membalikkan badan dan masuk ke dalam rumah.
Akupun mengikutinya dari belakang. Aneh, perasaan tadi tak ada siapapun di ruang tamu. Apa aku ngelindur?
Kakiku terasa beku ketika ku angkat naik ke peraduan. Arini menatapku sekilas dengan senyuman teramat manis untukku. Entah kenapa aku merasa ada misteri di balik senyum Arini untukku. Bibirnya kulihat merah merona. Tapi, ada sesuatu yang terlihat mangganjal di situ. Ada setitik noda di dekat bibirnya. Makan apa dia malam-malam begini?
"Dek, sini!" panggilku menyuruhnya datang mendekat.
"Apa, Bang?" ia pun mendekat.
Kuseka noda di bibirnya. Kuperhatikan secara seksama. Noda itu lengket dan berbau anyir. Darah?
"Darah apa ini, Dek?" selidikku.
"Da--darah?" ucapnya tergagap.
"Ah, sudahlah, Bang! Adek tak tau juga itu kenapa bisa di bibir Adek," jawabnya sekenanya. Ia langsung membalikkan badan dan membiarkanku terdiam dalam sejuta pertanyaan di benakku. Ya, akupun malas berdebat. Tubuhku sudah lelah karena seharian bekerja. Aku memutuskan untuk kembali beristirahat dan membiarkan pertanyaan itu menguap begitu saja.
***
Matahari baru saja menampakkan sinarnya ketika aku selesai menjalankan kewajibanku menunaikan solat subuh. Anehnya Arini enggan bila ku ajak solat bersama. Ia selalu menolak. Jikapun solat, ia pasti mengunci pintu dengan rapat. Semakin ke sini semakin banyak keanehan di diri Arini.
"Bang? sarapan dulu sini!" Arini melambaikan tangan mengajakku duduk bersama dengannya. Hanya kami berdua . Adiknya sudah berangkat sekolah. Kedua orang tuanya sudah berangkat ke ladang.
Ku tatap Arini dengan seksama. Ia tampak sangat cantik. Wajahnya tambah bersinar padahal belum memakai make up. Yang kutahu ia tak memakai skincare mahal. Hanya memakai viva. Itu yang sempat ku baca.
"Dek, semakin hari kamu tampak semakin cantik," pujiku tulus.
"Terimakasih Bang, mungkin karena terlalu bahagia menjadi istrimu," jawabnya sembari mengecup tanganku . Genggamannya erat.
Seharusnya aku bahagia dengan ucapannya. Namun, entah mengapa aku merasa Arini menyembunyikan sebuah kebohongan. Ku ulas sedikit senyum agar ia tak curiga .
Jam delapan tepat aku dan Arini sudah berada di dalam mobil yang berjalan dengan kecepatan sedang.
"Bang--Bang, berhenti dulu! cepat!" Arini tiba-tiba menyuruhku berhenti di depan sebuah warung sayur yang penuh dengan ibu-ibu.
"Tunggu sebentar, Bang . Ada yang mau aku beli," ucapnya tergesa seraya turun dari mobil.
Dari jauh kulihat ia mengobrol dengan asik. Ia sangat ramah. Aku pun memutuskan untuk turun dan menjemputnya. Aku takut terlambat bekerja.
Kulihat Arini sedang asik berbincang dengan seorang ibu hamil. Yang kudengar dari percakapan mereka jika ia sedang hamil sembilan bulan. Tinggal menunggu lahiran.
Sekilas kutatap wajah Arini sangat bahagia berbincang dengan si ibu. Ia pun sempat mengelus perut si ibu hamil. Apa Arini sudah tak sabar ingin punya anak?
Ia pun sempat enggan ketika ku ajak kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan. Kulihat ia sempat cemberut ketika berpamitan.
***
Seperti biasa, malam ini kami lembur kembali. Pulang kerumah keadaan sudah sepi. Aku memutuskan untuk segera istirahat tanpa mandi. Begitupun Arini. Kami sama-sama terlelap karena sangat kelelahan.
Krekkkkk!
Entah berapa lama aku tertidur . Tak sengaja terbangun karena mendengar pintu belakang seperti terbuka. Ya, sedari kecil aku memang gampang bangun jika mendengar sesuatu.
Ku balikkan badan, Arini masih terlelap. Aku penasaran siapa gerangan yang membuka pintu belakang? Ah, mungkin itu ibu atau ayah Arini yang ingin ke toilet.
Shhhhh! Shhhhh!
Sekilas ku dengar seperti desisan ular di balik jendela. Rasa penasaran menyergap hatiku. Apa benar malam-malam begini ular berkeliaran mendekati kamarku?
Aku pun turun dari peraduan menuju jendela kamar. Perlahan kusibak gorden jendela.
"Astagaaaaa!" segera ku tutup mulutku begitu melihat sosok di balik jendela . Sosok bermata merah itu tajam melihatku. Sempat beberapa detik kami bertatapan hingga akhirnya aku pingsan tak sadarkan diri. Sebelum akhirnya ...
Bersambung...
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_4 # by: Ratna Dewi Lestari. "Bang, Abang!" suara Arini terdengar nyaring di telingaku. Kurasa tetesan air jatuh di pipiku. Perlahan kubuka mataku, samar-samar kulihat Arini sedang terduduk mendekap tubuhku. Ia kemudian mengangkat kepala dan menatapku dengan pipi yang sudah basah. Mata nya bengkak. "Abang--Abang Yusuf tak apa-apa, kan?" isaknya. Tangannya yang terasa dingin mengusap pipiku lembut. "Abang, ga kenapa-kenapa, Dek," ucapku berbohong. Masih teringat jelas sosok menyeramkan yang menatapku tajam di balik jendela. Sosok bermuka keriput dengan rambut acak-acakan, menyeringai seperti ingin menyantapku. Lidahnya panjang terkilir keluar. Benar-benar menakutkan. "Abang kenapa bisa di sini?" tanya Arini khawatir. "Mungkin Abang ngelindur, Dek," ucapku sek
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_5 #by: Ratna Dewi Lestari. Krekkkkk! "Ah, sial pintu bergerak!" pikirku kalut. Arini dan ibunya serentak menatap ke arahku.Beruntung aku sempat menyembunyikan diri di balik pintu. Merekapun melanjutkan kembali memakan seonggok daging berdarah sambil bercakap-cakap. Dag-dig-dug! Sumpah jantungku rasanya mau copot. Sungguh menjijikkan tingkah laku Arini dan ibunya. Sebenarnya siapa mereka? Perlahan akupun beranjak dari lantai dan kembali ke peraduan. Berpura-pura tidur kembali. Krekkkkkk! Drap-drap-drap! Perlahan kudengar suara kaki Arini memasuki kamar. Jantungku rasa mau copot ketika ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Bau anyir menyeruak dari tubuh indahnya. Sekuat mata ku paksa mataku untuk ter
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_6 #by: Ratna Dewi Lestari. Aku lalu bersembunyi di bawah mobil. Samar-samar kulihat bayangan melesat mendekat. Ku tutup mulut dengan tangan yang bergetar. Sosok itu mengitari mobil seperti mencari sesuatu. Peluh membanjiri wajah dan tubuhku. Jelas terlihat dimataku dengan jarak dua meter, bagian bawah makhluk itu hampir menyentuh tanah. Usus terburai dengan ginjal, hati, dan organ dalam lain menggantung. Darah menetes di tanah seiring dengan pergerakannya melayang hampir menyentuh tanganku. Sungguh beruntung nasibku, tak lama makhluk itu terbang menjauh. Perlahan aku keluar dari persembunyianku. Ku tatap dua kepala dengan usus terburai melayang cukup jauh dari tempatku berdiri. Sudah kadung tau siapa Arini, aku memilih untuk mengikuti kedua sosok itu yang kutahu itu ibu dan juga Arini.
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_7#by: Ratna Dewi Lestari Tiba-tiba kulihat sekelebat bayangan hitam hampir mengenai kepalaku. Aku pun segera merunduk. Penasaran bercampur takut. Setelah kuperhatikan dengan seksama, rupanya bayangan itu hanya bayangan kalelawar pemakan buah yang sedang melintas. Srek-srek-srek! Sekilas kudengar suara langkah kaki yang di seret perlahan. Belum sempat ku berbalik sesuatu membekap mulutku kuat. Aku sempat berontak, tapi begitu ia mengusung sebuah parang panjang, nyaliku berubah ciut. Aku hanya bisa pasrah ketika sosok itu menyeret paksa tubuhku. Dalam keremangan malam dengan sedikit sinar bulan sabit karena tertutup mendung, samar-samar ku lihat tangan seseorang yang berotot dan sangat kekar. Tenaga nya pun kuat. Mudah saja ketika ia membawaku masuk lebih dalam ke hutan yang tak jauh dari rumah Arini.&
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_8#by;Ratna Dewi Lestari. "Begini ... cepat kau bawa kayu ini dan juga bawang merah ini," sahut Ayah seraya menyerahkan sebuah kayu berukuran sejari kelingking orang dewasa dan bawang merah. Aku menerimanya dengan kening yang mengkerut, bingung "Jangan banyak tanya, ini penangkal kuyang. Ia tidak akan bisa mencelakaimu," jelas Ayah kemudian. Ia lalu memelukku erat. Usapan tangannya lembut menyentuh punggungku. "Terimakasih, Ayah," ucapku lirih. Air mata sempat mengalir tanpa bisa kutahan. Perih memikirkan nasib rumah tanggaku. "Maafkan Ayah, Nak. Sebenarnya Ayah sangat menyayangimu. Bagiku kamu menantu yang Ayah idam-idamkan. Itulah mengapa Ayah merahasiakan jati diri Arini," sesal Ayah. "Sekarang pergilah sebelum fajar tiba, biasanya saat seperti itu Arini dan Ibunya pulang," lanjut Ayah lagi.
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_9# by: Ratna Dewi Lestari. "Tolong ... ada kuyang! siapa pun tolong aku!" teriakku histeris. Jarak antara aku dan mobil cukup dekat, tapi rasanya sangat jauh, aku sudah sangat lelah berlari. Arini yang sudah berubah menjadi kuyang melesat kian mendekat. Jarak kami mungkin hanya tinggal lima belas meter lagi. Rasa takut bukan kepalang, tak bisa kubayangkan jika aku tertangkap Bughhh! "Dasar sial!" makiku dalam hati. Bisa-bisanya dalam keadaan genting begini kakiku menyandung batu hingga tubuhku terjerembab di tanah yang bercampur lumpur. Belum sempat berdiri, di hadapanku Arini terbang mengambang menatapku. Ibunya tak lagi mau mengikutiku. Nampak jelas wajah Arini yang pucat dengan mata merah yang menyorot tajam. Ia mengeram marah. Darahnya menet
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Dok-dok-dok! " Bangun-bangun!" Aku segera terkesiap dari tidurku. Lelah masih membelenggu tubuhku. Bola mataku tiba-tiba membesar melihat seseorang tegak sembari menggedor-gedor kaca mobilku. Kuperhatikan dengan seksama, sepertinya pernah mengenal Ibu itu. "Cepat, buka!" teriaknya lagi. Dengan tergesa kubuka segera pintu mobil. Ia dengan lirih berkata," cepat pergi dari sini! ikuti aku kalau kau tak mau mati," Aku segera mengangguk cepat. Mengikuti si Ibu menjauhi rumah Arini. Suasana sekitar masih sepi. Remang-remang belum tersentuh sinar matahari pagi. Berarti aku mungkin hanya tertidur sekitar sepuluh menit saja sebelum akhirnya di bangunkan oleh si Ibu. Kami berlari menyusuri jalan menuju rumah s
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_11#by: Ratna Dewi Lestari. "Kamu harus berani membalikkan badannya jika kami ingin terlepas dari cengkramannya. Karena jika kamu bersikukuh tetap membiarkannya hidup, hidupmu tak akan tenang. Kemanapun kamu pergi, ia bisa dengan mudah menemukanmu!" jelas Ibu warung. "Huffffttt," aku menghela nafas panjang. Sesak rasanya dadaku. Entah apa salahku masuk ke dalam lingkaran hitam ini. Memangsa atau di mangsa. Sama-sama hal yang tidak kusukai. "Pikirkan hidupmu. Pikirkan duniamu. Ini bukan akhir, tapi inilah awal dari perjalanan hidupmu. Aku hanya ingin menolong mu, karena ...," ibu tiba-tiba menghentikan ceritanya. "Karena, apa Bu?" selidikku. Penasaran dengan ucapannya. "Karena anakku dulu adalah salah satu korban kejahatan mereka," jawabnya dengan pandangan mata ke atas . Men