Share

Sikap Aneh Arini

Bismillah 

          "Istriku Kuyang"

#part_4

# by: Ratna Dewi Lestari.

    "Bang, Abang!" suara Arini terdengar nyaring di telingaku. Kurasa tetesan air jatuh di pipiku. Perlahan kubuka mataku, samar-samar kulihat Arini sedang terduduk mendekap tubuhku. Ia kemudian mengangkat kepala dan menatapku dengan pipi yang sudah basah. Mata nya bengkak.

    "Abang--Abang Yusuf tak apa-apa, kan?" isaknya. Tangannya yang terasa dingin mengusap pipiku lembut.

    "Abang, ga kenapa-kenapa, Dek," ucapku berbohong. Masih teringat jelas sosok menyeramkan yang menatapku tajam di balik jendela.

    Sosok bermuka keriput dengan rambut acak-acakan, menyeringai seperti ingin menyantapku. Lidahnya panjang terkilir keluar. Benar-benar menakutkan.

    "Abang kenapa bisa di sini?" tanya Arini khawatir.

    "Mungkin Abang ngelindur, Dek," ucapku sekenanya.

    "Abang hari ini di rumah aja, ya Dek. Badan Abang ga enak, kayaknya demam," lanjutku.

   Ia mengangguk cepat. " Adek pergi naek ojek bang Salim tetangga kita aja ya, Bang. Abang baik-baik di rumah," ucap Arini seraya mengecup keningku. Ia pun membantuku beranjak dari lantai dan berbaring di peraduan.

    Arini membuatkanku sarapan yang sangat enak. Bubur ayam dengan taburan daging dan jeroan ayam. Tapi, tunggu. Ada sesuatu yang aneh ketika aku menyantap bubur buatan istriku tersayang. Ketika tak sengaja aku mengunyah daging yang sangat enak. Rasanya seperti bukan daging ayam, bukan pula daging sapi. Teksturnya seperti jeroan sapi tapi lebih tebal. Ah, entahlah. Baru kali ini aku menikmati daging yang super lezat ini.

    Arini melambaikan tangan ketika akan berangkat pergi bekerja. Ku tatap istri cantikku dari dalam rumah. Ibu pun sepertinya ingin berangkat ke ladang. Aku mengangguk ketika Ibu lewat di hadapanku. Wanita paruh baya itu tersenyum kepadaku.

     "Gil*, cantik banget ini mertuaku, ga kalah dengan anaknya. Kok jadi seperti kakak adik aja, cantiknya awet dan alami," batinku.

   Entah kenapa ketika Ibu tersenyum, aku merasakan dingin yang menyergap tengkukku. Terasa ada sesuatu di balik senyum Ibu. 

     "Ibu berangkat dulu, Nak," seloroh Ibu di sertai anggukan dariku.

     Ku tatap Ibu dan Ayah yang pergi ke ladang bersama. Ayah Arini tampak biasa, tak ada yang mencurigakan, tidak seperti ibunya Arini. Penuh misteri.

***

    Semua penghuni rumah sudah pergi. Tinggal aku sendiri. Perasaan bosan mulai menghinggapi. Apalagi ketika mendekati tengah hari, perutku keroncongan minta diisi. 

   Aku mulai melangkah pelan menuju ke dapur.  Mengecek apakah ada bahan makanan atau mungkin masakan enak sudah tersedia di sana. 

   Mataku mulai mengedar ke segala penjuru. Tak nampak masakan ataupun bau-bau sedap di sana. Ku telusuri semua perabot, kalau-kalau ibu atau Arini meninggalkan lauk di situ. Tapi, nihil. Tak ada apapun.

    Langkahku terhenti ketika mataku menatap ke sebuah perabot yang terbuat dari tanah liat teronggok, tersembunyi di balik kulkas dua pintu milik Arini. Benda itu nyelip hingga nyaris tak terlihat.

      Rasa penasaranku membuncah. Pelan namun pasti ku dekati benda itu. Tanganku dengan mudah menggapai. Dengan jantung yang berdebar, perlahan ku buka tutupnya.

     Mataku terbelalak melihat isi dari benda itu. Sungguh di luar dugaanku. Begitu di buka bau anyir seketika menyeruak, membuatku ingin muntah. Sekuat tenaga berusaha ku tahan. 

     Seonggok daging merah yang masih berlumuran darah dan tebal itu mengeluarkan bau anyir darah yang menyiksa indra penciumanku. Segera ku taruh kembali di tempatnya semula dan keluar berlari dari dalam rumah.

      Jantungku berdebar amat kencang. Benda apa itu? Seumur hidup baru kulihat benda menjijikkan itu tersimpan rapi di dalam rumah. Apa tidak mengganggu? Jika itu daging, kenapa terlau banyak darah dan berbau amis?

    Beribu tanya memenuhi pikiranku. Dengkulku terasa lemas. Aku sungguh takut untuk kembali masuk ke rumah itu. Aku terus berjalan hingga tak sadar sudah sampai di sebuah warung nasi tak jauh dari rumah Arini.

      Walaupun selera makanku sudah hilang, aku tak mau membiarkan diriku kelaparan . Dengan langkah gontai aku masuk ke dalam warung. Seorang wanita tua menyambutku dengan ramah dan senyuman yang sangat khas .

      "Mari, Nak, masuk," ucapnya sembari melambaikan tangan.

      Aku mengangguk dan duduk. Tanganku masih gemetar karena ketakutan. Ternyata hanya ada aku dan Nenek tadi di warung. Ia datang membawa nasi dan beberapa lauk , juga sambal yang kelihatannya sangat lezat.

     Dengan lahap ku makan semua makanan yang nenek sediakan. Ajaib , rasa mual itu hilang seketika dan aku begitu menikmati masakannya.

      Nenek tadi duduk di hadapanku . Ia menatapku penuh rasa kasihan. 

      "Nak, berhati-hatilah, kau berada dalam pengaruhnya ," ucap Nenek membuatku menghentikan makan dan menatapnya tajam.

     "Ma--maksud, Nenek?" jawabku spontan.

     "Nanti kau akan tahu, saran Nenek, jangan makan apa pun di sana! agar kau bisa tahu siapa keluargamu itu sebenarnya, terutama istri dan mertuamu!" ucap Nenek sembari berlalu.

      Aku semakin bingung dengan ucapan Nenek. Ini sudah kali kedua ada orang yang menasehatiku untuk berhati-hati. Sebenernya ada apa denganku dan juga keluarga baruku?

     Setelah selesai makan dan membayar, akupun berpamitan pulang. Perasaanku kini terasa lebih lega. Sempat berkenalan dengan warga sekitar yang kurasa amat ramah. Maklum, selama menikah dengan Arini aku belum pernah berbincang dan bertemu warga sekitar.

      Dari jauh kulihat Ibu sedang berbincang dengan seorang wanita yang kutaksir berusia dua puluh tahun. Wanita muda itu tampak hamil, terlihat dari perutnya yang buncit. 

      Ibu tampak antusias berbicara dengan si wanita. Ia pun tak henti mengelus perut si wanita, persis seperti Arini kemarin yang tampak kegirangan. Namun, semua berhenti ketika aku berpapasan dengan ibu. Ibu tampak terkejut melihat kedatanganku .

     "Darimana, kau, Yusuf?" tanya Ibu begitu melihatku.

    "Habis beli makan tadi, Bu," jawabku pelan.

    "Oia , maaf Ibu tadi lupa memasak untukmu, ayo kita pulang, Nak," ajak Ibu.

     Aku pun mengangguk dan ikut pulang bersama ibu. Kulihat Ibu sempat melirik wanita tadi. Lirikan dan tatapan mata Ibu mengingatkanku pada sesuatu. Tapi, apa itu?

***

   Malam itu Arini sudah tertidur pulas. Aku berpura-pura tidur. Sengaja aku tak ingin tidur cepat malam ini. Aku masih sangat trauma dengan kejadian tadi malam. 

      Brakkkkkk! 

     Kembali kudengar pintu dapur terbuka. Ku dengarkan dengan seksama. Lagi dan lagi kudengar suara desisan dari arah luar jendela kamarku. Badanku gemetar. Aku yakin itu makhluk yang semalam melotot menatapku .

    Shhhhhh! Shhhhhhh!

   Ku biarkan suara itu. Hingga kemudian terdengar...

    Pok! Pok! Pok!

   Dengan langkah gemetar aku mendekati jendela kamar, sengaja di sudut yang berbeda. Ku sibak tirai perlahan, dan ...

    Samar-samar kulihat sesuatu perlahan pergi meninggalkan kamarku. Sosok itu berambut panjang. Nampak sesuatu menggantung seperti usus dari jauh. Sosok itu terbang melayang melesat entah kemana. Peluh membanjiri tubuhku . Badanku bergetar hebat. Dengan tertatih aku kembali naik ke atas kasur.

     Ku paksa mataku untuk tidur. Baru kali ini kulihat sosok tanpa tubuh melayang membumbung di angkasa. Aku tak tau itu apa. Ingin rasanya malam ini aku pergi dari tempat ini. Sungguh mengerikan tinggal di sini. Tapi pasti Arini tak akan mau pindah, karena perjanjian dari awal aku harus tinggal bersamanya di sini.

***

     Sialnya malam ini aku tak jua mau tertidur. Aku sengaja membelakangi Arini berpura-pura sudah terlelap. Tak lama kurasakan ranjangku sedikit bergoyang , Arini bangkit dari tidurnya perlahan.

     Ia melangkah keluar dari dalam kamar . Sayup-sayup ku dengar Arini seperti berbincang dengan seseorang, suaranya amat ku hapal. Sepertinya itu Ibu yang mengajaknya berbincang. 

      Ku dengar percakapan mereka dari dalam, sembari berbisik-bisik. Aku melangkah mendekati pintu. Mataku membesar ketika mengintip dari balik pintu, ketika kulihat Arini dengan lahap memakan seonggok daging merah berlumur darah bergantian dengan Ibunya.

       Mereka tampak mengerikan. Hingga...

Bersambung dulu yaaaaaa😊😊😊😊😊

Terimakasih like, saran dan supportnya 🤗

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status