Benar kata pepatah, manusia adalah iblis sesungguhnya. Pasangan Dilger Wiston dan Risa tak menyangka jika niat baiknya saat itu menuai malapetaka bagi keluarganya. Remaja tua itu—begitulah mereka menyebutnya—kini membuat kerunyaman. Vairre Midelli namanya. Wanita iblis berkedok wajah manis. Kekuatannya bergantung pada mimik dan ekspresi lucu wajahnya yang membuat luluh tiap orang. Namun, tak ada yang menyangka, wanita berwajah maneken itu telah menyusun rencana buruk untuk keluarga Wiston, rencana yang sudah disusunnya beberapa tahun silam. Bagi Vai, Wiston adalah hama yang harus diberantas.
View MoreVai meloncat pindah menuju balkon di samping kamarnya, lalu mengetuk pintu kaca yang sudah tertutup gorden.
Dilger yang tengah mengetik saat itu terusik. Dia menghela napas dan bangkit membuka pintu, tampak Vai yang menyengir dihadapannya, badannya bergerak ke kanan-kiri dengan kedua tangan bersembunyi di belakang persis anak kecil yang tengah meminta sesuatu.
"Ini sudah malam, Vai!"
Vai mengerucutkan bibir menunduk, lalu mendongak menatap pria yang berwajah setengah timur tengah dihadapannya.
"Dingin." Vai berujar diikuti tampang memelasnya.
Senyum Dilger terbit, dia mengelus kepala Vai, dan mempersilakannya masuk. Gadis itu menyelonong berlalu dengan riang, lalu melempar tubuh mungilnya di ranjang king size.
Gadis itu Vairre Midelli, tingkahnya bagai remaja; lucu, polos, dan menggemaskan. Namun, tak ada yang menyangka jika dia sudah menginjak umur 25 tahun. Wajah dan tubuh langsingnya begitu menipu.
"Aku 'kan sudah bilang, jangan lompat dari balkon. Kalau kau jatuh, bagaimana?"
Vai mengubah posisi menjadi tengkurap sambil menangkup dagu, rambut lurusnya melorot di bahunya.
"Ya 'kan ada Paman. Lagi pula aku rindu sama Paman." Vai berujar dengan suara yang dibuat menggemaskan, tak lupa mimik wajahnya dengan bibir mengerucut.
Itulah kekuatan gadis manis itu yang susah sekali untuk dimarahi, ekspresi wajah dan suaranya selalu meluluhkan orang lain.
"Tante Risa belum pulang?"
"Mungkin satu jam lagi dia datang," jawab Dilger.
Vai menyunggingkan senyum, lalu berpindah duduk di samping pria yang berbeda sembilan tahun darinya. Mata hazel-nya menatap tanpa kedip manik amber Dilger.
"Kau sudah memutuskannya?" Nada suara Vai berubah serius. Kalau begini, Vai kelihatan seperti wanita pada umumnya.
Dilger tak menjawab, Vai beringsut mendekat, semakin mendekat hingga pucuk hidungnya menyentuh milik Dilger.
"Kau pasti belum mengatakannya pada Risa, kan?" tebak Vai.
Dilger menghela napas pelan, dia mengangguk.
Vai beringsut mundur kembali menghempas punggungnya di sofa."Mungkin hanya aku yang mencintai di sini." Vai tak mengalihkan pandangannya menatap lampu gantung di di atasnya.
Dilger menghela napas, kali ini terdengar berat dari sebelumnya. Lalu, tangan kekarnya meraih jari mungil Vai.
"Ini salah, Vai!"
Vai menoleh memiringkan kepala menatap Dilger. "Siapa? Cinta? Aku atau kamu?"
Dilger membuang pandangan ke samping menatap gorden putih dengan hampa. Dia pun tak tahu, siapa yang harus disalahkan.
Dilger tak pernah menduga bahwa dia akan menaruh rasa pada gadis lugu di sampingnya, gadis yang dahulu terpaksa dia tolong. Gadis tua bertampang anak kecil, begitulah Dilger menyebutnya. Siapapun yang melihatnya pasti menerka dia masih gadis sekolahan dengan tampang imutnya terlebih tubuh mungilnya yang hanya setinggi dada Dilger—sekitar 167 sentimeter.
"Aku tak tahu," lirih Dilger.
Vai beralih menghadap Dilger, tangan mungilnya menangkup wajah pria berkulit agak cokelat itu. Vai terkekeh kecil merasakan telapak tangannya geli dengan rambut-rambut halus dagu Dilger.
"Kau tentu tahu karena kau yang menghadirkan rasa ini." Vai berpindah menarik tangan Dilger, meletakkannya di dada kirinya.
"Kau dengar itu?" Vai menatap Dilger. "Aku ingin membalas rasa yang kau berikan."
Vai menurunkan tangan Dilger, kali ini kedua tangannya berpindah mengalun di leher Dilger. Keduanya saling menatap lekat cukup lama.
"Aku merindukanmu," lirih Vai sambil melirik bibir ranum tebal Dilger. Vai memajukan wajahnya, menelengkan kepalanya saat jarak kian mengikis.
"Dilger, aku–"
Seorang wanita buru-buru membuka pintu kamar. Dilger gelagapan, dia bangkit berdiri dengan cepat menghampiri wanita itu yang kini mematung.
Wanita itu istri Dilger, Risa. Mulutnya menganga, tas yang dijinjingnya kini tergeletak di lantai. Dia baru saja pulang dari reuni teman kuliahnya dan disodori pemandangan tak senonoh di rumah.
"Kalian–"
"Risa, ini tak seperti yang kau pikirkan!"
Wanita berambut hitam bergelombang itu menepis tangan Dilger. Dia mendengus seraya berkata, "Risa?"
"Ini tidak seperti yang Tante pikirkan. Paman kelilipan dan aku membantunya." Tentu saja itu bohongnya berselimut mimik wajah polos.
Risa menoleh menatap Vai yang berdiri menunduk di belakang Dilger. Risa menarik napas kuat. Pemandangan ini bukan hanya sekali dia dapatkan.
Dulu, Risa abai saja sebab dia sudah menganggap Vai sebagai anaknya sendiri, terlebih gadis itu sebatang kara, wajar jika bermanja-manja, menarik perhatian orang sekitarnya. Namun, Risa menyadari jika gadis pungut itu kini sudah berumur, hanya terpaut enam tahun saja darinya.
Cuman, wajah Vai begitu kekanakan dan tingkahnya masih bagai anak kecil. Jika Risa dan Vai berdekatan—tentunya tanpa memandang umur—keduanya memang bagai ibu dan anak.
Risa mendekati Vai, ditatapnya wajah polos gadis itu. Tangannya mengelus pipi Vai. "Kau bisa tinggalkan kami sebentar 'kan, Sayang?"
Vai mengangguk tanpa menatap wanita dihadapannya, dia berlalu pergi. Risa menjeling memastikan Vai benar-benar keluar. Setelahnya, dia menghela napas kasar.
"Sekarang apalagi alasan yang ingin kau katakan padaku?" Rahang Risa mulai mengeras.
"Risa, ini–"
"Risa?"
Dilger mengecap bibir. "Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!" Dilger memegang lengan Risa sontak wanita itu menggeliatkan tangan melepasnya.
Keduanya kembali terdiam, Risa menatap kosong vas bunga di meja. "Kau berubah." Risa terdiam.
"Aku tidak bisa pura-pura lagi, wanita itu sudah kelewatan!" Risa menatap Dilger. "Katakan dengan jujur padaku!"
Dilger meneguk susah ludahnya. Dia bergeming di tempatnya berdiri.
"Gadis lugu itu memikatmu, iya? Atau ... jangan-jangan kamu yang terpikat?"
"Sayang, dengarkan aku dulu–"
Risa menepis tangan Dilger yang ingin menangkup wajahnya."Kau masih tak ingin mengakuinya? Kau kira aku tak tahu apa yang kalian lakukan di belakangku?" Risa mengembuskan napas kasar.
"Kau tak mencintaiku lagi, kan?" Risa bertanya tanpa melihat lawan bicaranya.
Lagi-lagi Dilger terdiam. Dia tak tahu harus berkata apa. Kalau dia berkata jujur, Risa pasti terluka, tapi jika dirinya berkata sebaliknya, itu sama saja dia membohongi dirinya.
"Kau diam, berarti aku benar, kan?" Risa berlalu duduk ke sofa.
Dilger memejamkan mata, kini Risa memojokkanya. "Ya, ya, aku mencintainya, kenapa? Kau cemburu?!"
Risa terkejut di duduknya mendengar suara meninggi Dilger dan pernyataan pria itu. Manik matanya bergerak-gerak menyelisik mata Dilger.
"Kau ...." Mata Risa mulai berkaca-kaca dan bahunya pelan-pelan mulai bergetar.
"Risa," lirih Dilger. Ada rasa sesal terjepit dalam dadanya, seharusnya dia tak mengatakannya. Istri mana yang tak terguncang mendengar suaminya terang-terangan mencintai wanita lain.
Dilger menarik Risa dalam dekapannya, mengelus-elus punggung wanita itu, berharap tangisnya mereda, tapi Risa justru malah kian menangis. Dilger kini merasakan cairan basah menembus kemejanya.
"Apa karena aku sudah tak cantik lagi hingga kau berpaling dariku?" desis Risa di tengah-tengah isak tangisnya.
Dilger menggelengkan kepala, lalu mengecup rambut Risa. "Kau cinta pertamaku dan akan selalu begitu."
"Bohong!" Risa menarik dirinya dari dekapan Dilger. Matanya sudah memerah bercampur tangis dan amarah.
"Maafkan aku, Sayang!" Hanya itu yang keluar dari mulut Dilger. Dia kembali mencoba menarik Risa. Namun, wanita itu segera menepis keras tangannya.
"Sejak kapan?" Risa menatap buram wajah Dilger, air matanya masih meluruh seolah tak ingin berhenti.
"Sejak kapan kau mencintainya?"
Semuanya dimulai enam tahun silam. Saat ketakutan, amarah, dan dendam bercampur satu. Saat kehidupannya bergilir ke arah berlawanan.Malam itu, hari istimewanya. Kedua kakinya menyilang sambil digerakkan gusar. Tangannya terentang, sesekali memegang dada menahan degup yang kian berpacu seiring pergerakan menit jam.Ah, entah kenapa di hari senangnya itu dia merasa gusar sekaligus.Ibunya akan segera pulang dari tempat kerja, seorang pelayan mansion yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun.Namun, hingga pukul sepuluh, belum ada tanda-tanda kepulangan ibunya. Aneh baginya, ibunya tidak biasa pulang telat, jikalau pun terjadi, pasti menitip pesan sebelumnya, tapi itupun amat jarang terjadi.Dia masih berusaha tenang, tapi suara detik menit jam terdengar mengerikan. Di luar begitu gelap, temaram rembulan lenyap seiring awan hitam menutup dan kilat sesekali menyambar.BrakSuara gedebum terdengar. Dia tahu betul, itu suara pot bunga sebab d
Vai membenahi isi lemari, memilah baju yang akan dibawanya. Sesekali bergerundel kesal."Apa yang dia pikirkan semalam?" Vai memasukkan asal midi dress ke dalam koper. Mengingat obrolannya semalam dengan Risa membuatnya kesal kembali.Pintu diketuk.Vai enggan beranjak, dia menduga Risa yang datang. Namun, ketukan tersebut tak berhenti."Vai, ini Nenek, buka pintunya!"Vai menatap pintu sambil membelalak. "Nenek!" Sigap dia membuka pintu."Oh, maafkan aku, Nek. Aku baru saja keluar dari toilet," bohongnya."Tumben Nenek kemari, ada apa?" Vai merangkul lengan Samara, menuntunnya ke sofa.Samara menilik kamar Vai. Dua lemari pakaian terbuka, setengah kosong, dan pakaian berhamburan di atas ranjang."Kamu berencana menetap di rumah Hendy?"Vai mengikuti arah pandang Samara pada koper yang tergeletak dengan isi yang berantakan."Mungkin."Samara mendesah. "Mungkin?" matanya sendu menatap Vai."Aku
Dilger mengguncang tubuh Risa. "Kumohon jangan menyebut kata tersebut.""Kenapa?" Pelupuk mata Risa menggenang."Lebih baik kamu istirahat."Risa menepis tangan Dilger. "Jawab pertanyaanku.""Kamu sudah tahu jawabannya. Sampai kapanpun aku tak akan pernah menceraikanmu meskipun—""Maukah kamu hidup menderita seperti ini selamanya? Aku dan kamu sama-sama tersiksa."Dilger memalingkan wajah, tangannya mengepal."Pikirkan baik-baik, masih belum terlambat untuk menggugat percera—""Tidak. Aku tidak akan melakukannya!" sanggah Dilger. Dia menatap bola mata Risa lekat. "Jawabanku tak akan berubah."Risa menatap hampa lantai yang mengilap. "Keluar!" Suaranya serak. Dia tak mengalihkan pendangannya sedikit pun bahkan ketika Dilger benar-benar meninggalkannya..Risa menekuk lutut, menenggelamkan kepala meredakan dentum di kepalanya."Apa kamu gila, Risa? Bagaimana bisa kamu selemah ini?" Risa bermonolog.
Sore itu, mereka berkumpul di ruang keluarga. Vai mengamati tiap-tiap kepala yang nampak menikmati tayangan TV. Saat pandangannya bertemu dengan Risa, wanita itu menatapnya lurus yang membuat Vai menyeringai samar. "Apa katamu tadi? Kamu akan pergi lusa?" Samara menatap Hendy dan Maya. "Kalian pergi berbulan-bulan, lalu pulang hanya lima hari?" "Kami akan bolak-balik mengunjungi Ibu. Atau Ibu ikut kami saja?" "Jaga ucapanmu, Hendy!" Dilger menyipitkan mata. "Jangan memperebutkan Ibu dan aku tak akan kemana-mana. Hendy, bisakah kamu tinggal lebih lama?" "Ibu tahu sendiri, aku tak terbiasa menyuruh tangan kananku mengelola bisnis selagi aku berleha-leha di rumah—" "Dasar penggila kerja. Entah ayahmu mendidikmu bagaimana dahulu." Samara menyengir. "Aku melakukan ini demi Ibu juga." "Nek," panggil Vai. Dia bertemu pandang dengan Maya seolah dia berujar, "Kamu yakin melakukannya?" "Boleh aku ikut sama Tante M
Vai melirik kepala tangan Risa. "Selamat malam, Risa!" Vai berbalik pergi."Kupastikan hidupmu tak akan tenang setelah ini, Vai!" Gigi Risa bergemertak. Dia mendongak, seseorang yang berdiri di balkon sudah lenyap.Risa mencengkram rambutnya, lalu menghempas tangannya kesal. "Jangan bertingkah bodoh, Risa!" ujarnya.Risa berbalik pergi. Saat dia menaiki tangga, dia berpapasan dengan Maya. Risa tersenyum tipis. Keduanya saling memandang menunggu siapa yang harus membuka mulut lebih dahulu.Namun, tatapan lurus Maya seakan-akan mendesaknya."Apa yang kamu lihat?" tanya Risa diselingi tawa kecilnya."Aku bisa saja langsung mengartikannya sesuai dengan apa yang kulihat. Mencoba menampar Vai? Untungnya pencahayaan remang-remang, aku tak tahu pasti bagaimana wajahmu saat itu. Namun, aku mengenalmu, Risa. Kenapa wajahmu tegang seperti itu?"Risa membuang pandangan. "Ah, sedang banyak pikiran. Dia kekeh ingin memotong pendek rambutnya, aku me
Risa memundurkan wajahnya seiring Samara yang kian maju."Benar, ada sesuatu di matamu. Ketakutan dan kekhawatiran." Samara memiringkan kepala. "Ada sesuatu yang membuatmu risau, menantu? Dan jangan menatap Ibu seperti itu."Mulut Risa menganga bahkan matanya tak berkedip. Samara menatapnya, tersenyum lebar sambil menaikkan satu alisnya, lalu menepuk tangannya."Kenapa?" tanyanya."Bukan apa-apa?""Terkejut?" tantang Samara."Apa Ibu ... tak marah padaku?"Bulu kuduk Risa meremang menyaksikan senyum Samara. Tampang Samara jauh lebih menyeramkan menurut Risa."Kamu lebih senang melihatku marah dibanding seperti ini?"Risa menarik napas, merilekskan tubuhnya yang menegang."Aku tak mengatakan itu, Bu." Suara Risa mulai melunak.Samara mengangguk-angguk. "Sampai di mana kita tadi? Ah, pertanyannku, tapi lupakan saja. Ada hal yang lebih penting.""Lebih penting?"Samara membuang pandangan, dia ber
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments