Bismillah
"Isteriku Kuyang "
#part_2
#by:Ratna Dewi Lestari.
"Dek ... ini kenapa?" tanyaku hati-hati takut menyinggung perasaan istriku.
"Apa, Bang?" Arini menatapku heran.
"Ini, Dek," ucapku seraya menunjuk bekas luka di lehernya. Ia pun mengernyitkan dahinya.
"Oh, ini, ini bekas luka kena tali layangan sewaktu kecil, Bang, cukup berbekas karena lumayan dalam lukanya. Beruntung aku selamat," jawab Arini lirih meraba bekas lukanya.
"Ooo, ya la, Dek, biarin la bekas luka itu. Sekarang kita lanjutkan urusan yang tertunda!" ajakku dengan mendekatkan wajahku ke wajahnya yang bersemu merah. Malam pertama harus berjalan lancar. Aku tak mau kehilangan momen berharga.
***
Pagi ini Arini nampak semakin cantik. Ia begitu sigap menyiapkan keperluanku dan dirinya. Dengan hati bahagia kami berangkat ke kantor bersama.
Sebelum berangkat sempat ku dengar Arini berbisik kepada ibunya. Kata- kata yang sempat kudengar dari mulut Arini ketika tak sengaja diriku melintas," Bu, di desa sebelah ada ibu hamil, anak pak kades,"
Entah apa maksud Arini berkata seperti itu. Bisik-bisik lagi. Kulihat wajah mereka sangat ceria dan kegirangan. Seperti melihat makanan enak. Hatiku jadi deg-deg ser. Apa sih menariknya ibu hamil sampai mereka bisa kegirangan seperti itu? Ah, entahlah.
Aku berpura-pura tidak mendengarnya dan berlalu begitu saja. Arini sempat menutup mulutnya. Membuat tingkahnya semakin aneh terlihat.
Dengan sabar aku menunggu Arini di dalam mobil. Arini berlari kecil dengan senyuman lebar di wajahnya. Ia membuka pintu mobil dan wajah cantiknya menyembul. Ku perhatikan dengan seksama, Arini sepertinya sangat bahagia."Bahagia banget, Dek," ucapku keceplosan.
"He-he-he, iya, Bang, Adek bahagia nikah sama Abang," ucapnya manja. Membuatku serasa terbang melayang.
Kucubit pipinya yang mulus. Ah, aku semakin merasa bersalah berpikir yang tidak-tidak kepada istri tercantikku.
Dengan hati yang berdebar kupacu mobil secepat mungkin menuju ke kantor. Mobil berderu di sepanjang jalan melewati rindangnya pepohonan di sisi kanan dan kiri jalan. Desa tempat Arini tinggal memang masih sangat sayup dan rumah masih sangat jarang. Tiba-tiba timbul perasaan takut. Sebelum pergi keluargaku sempat berpamitan untuk kembali pulang ke kampung halaman. Aku tak bisa mengantar karena dari kantor tidak mengizinkan. Dengan terpaksa aku merelakan keluargaku pulang tanpa kehadiranku.
***
Pulang kerja langit sudah gelap. Aku dan Arini sudah sangat lelah. Ku lihat istriku sudah tertidur di sampingku. Ku belai kepalanya yang tertutup jilbab merah.
Memasuki jalan desa hatiku mulai tak karuan. Udara terasa dingin menyengat tulang. Tidak ada lampu penerangan. Cahaya hanya dari lampu mobil dan rumah warga yang berjarak antara satu rumah dan rumah berikutnya.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sekumpulan sinar dari jauh. Ku tajamkan mata dan mobil ku hentikan di pinggir jalan. Semakin lama semakin nampak jelas sekumpulan orang dari jalan setapak tak jauh dari mobil. Orang-orang itu membawa obor dan membawa peralatan dapur juga bambu hijau yang sudah di runcingkan . Mereka berjalan beriringan seraya menyebut nama "kuyang".
Lagi-lagi kuyang. Sebenarnya kuyang itu apa?
Gerombolan orang itu melintas di depan mobilku . Salah satu dari mereka mendekat dan mengetuk kaca mobilku, membuat copot jantungku. Aku takut mereka mempunyai niat jahat.
Tok! Tok! Tok!
Perlahan kubuka jendela mobilku . Pria paruh baya itu tersenyum penuh arti kepadaku.
"Jaga dirimu, kau orang baru di sini! berhati-hatilah ," setelah ia mengucapkan itu, ia pun berpamitan dan berlalu bersama rombongannya. Aku hanya terhenyak dan berusaha mencerna setiap kata-kata si bapak.
Arini menggeliat dan menatapku sayu. Kasihan ia, nampaknya sangat kelelahan.
"Kenapa berhenti di sini, Bang?" Ia nampak sangat heran melihat mobil terparkir di pinggir jalan sepi.
"Ah, ga apa-apa, Dek, ini Abang lanjuti ya perjalanan kita, kasihan kamu pasti sangat lelah," tuturku lembut seraya mencium keningnya.
Ia mengangguk dan mobil segera kupacu. Walaupun mobil kupacu cepat, tapi entah mengapa rasanya lambat. Untuk tiba di rumah terasa amat lama.
Memasuki gapura desa tanpa sengaja mataku menatap bayangan aneh berkelebat melintas tak jauh dari mobil. Lampu mobil menerpa bayangan hitam yang melesat cepat. Nampak seperti kepala dengan rambut terurai panjang di langit malam. Aku terkesiap. Jantungku berdetak cepat. Tanpa sengaja ku sebut nama Allah dan mobil ku rem mendadak.
Ckitttttt!
"Astagfirullah," ucapku tanpa sadar. Tanganku mengelus dadaku yang berdetak kencang.
"Kenapa, Bang?" ia menatapku heran.
"Ah, tak apa, Dek," jawabku sekenanya. Aku memilih diam dan melanjutkan perjalanan yang sebentar lagi sampai. Lelah, letih dan takut menyergap diriku. Ingin segera sampai rumah dan melupakan semua kejadian buruk dengan tertidur.
Mobil berhenti di halaman rumah Arini. Suasana nan asri jika siang hari terasa sangat mencekam di malam hari. Kulihat ponsel, baru jam sembilan malam. Namun, siswa nya di desa ini sangatlah sepi. Tak nampak orang berlalu lalang. Rumah yang berjarak membuat suasana tampak bak kuburan.
Aku pun segera melangkah masuk ke dalam rumah sambil menggandeng Arini. Tak nampak ibu dan ayah serta adik Arini. Mungkin semua sudah tertidur lelap. Aku pun tak mau ambil pusing.
Selesai makan dan bersih-bersih, aku dan Arini segera menuju peraduan . Lelah dan letih yang menyerang sedari tadi memaksaku untuk segera berbaring. Tertidur sambil memeluk Arini yang cantik.
***
"Ah, bisa-bisanya tengah malam begini aku mau pipis!" sungutku . Dengan terpaksa kubuka mataku pelan, rasanya sangat mendesak dan tidak bisa ditahan lagi. Tanganku bergrilya mencari keberadaan Arini. Kosong. Kupicingkan mataku, ya, Arini sudah tak tampak di sampingku .
Ku edarkan pandanganku berharap Arini ada di kamarku . Namun, nihil. Arini tak jua terlihat.
Dengan langkah malas aku beranjak dari peraduan . Berjalan menuju toilet yang letaknya di luar rumah. Dingin menyergap ketika ku buka pintu belakang rumah. Bulu kudukku seketika berdiri , kutatap...
Bersambung....
Bismillah "Istriku Kuyang" # part_3 #by: Ratna Dewi Lestari. Bulu kudukku seketika merinding, kutatap toilet yang berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatku berdiri. Suasana malam yang gelap, hanya ada lampu lima watt di belakang dan toilet. Ingin rasanya aku pipis di tempat saja. Rasa takut kian menyergap. Aku belum terbiasa berada di tempat sesunyi ini. Apalagi di sekitar tumbuh pohon-pohon tinggi menjulang. Kelebatan kelelawar malam seolah menambah suasana mencekam. Angin malam yang dingin membuatku bertambah enggan beranjak dari tempatku berdiri. Beruntung malam ini bulan bersinar amat terang. Cahayanya berpendar sangat indah. Ku beranikan diri melangkah dengan melipat tangan di dada. Dingin. Sambil mataku menatap sekeliling. Krekkkkk! Dengan segera kubuka pintu toilet. Sudah sangat sesak. Da
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_4 # by: Ratna Dewi Lestari. "Bang, Abang!" suara Arini terdengar nyaring di telingaku. Kurasa tetesan air jatuh di pipiku. Perlahan kubuka mataku, samar-samar kulihat Arini sedang terduduk mendekap tubuhku. Ia kemudian mengangkat kepala dan menatapku dengan pipi yang sudah basah. Mata nya bengkak. "Abang--Abang Yusuf tak apa-apa, kan?" isaknya. Tangannya yang terasa dingin mengusap pipiku lembut. "Abang, ga kenapa-kenapa, Dek," ucapku berbohong. Masih teringat jelas sosok menyeramkan yang menatapku tajam di balik jendela. Sosok bermuka keriput dengan rambut acak-acakan, menyeringai seperti ingin menyantapku. Lidahnya panjang terkilir keluar. Benar-benar menakutkan. "Abang kenapa bisa di sini?" tanya Arini khawatir. "Mungkin Abang ngelindur, Dek," ucapku sek
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_5 #by: Ratna Dewi Lestari. Krekkkkk! "Ah, sial pintu bergerak!" pikirku kalut. Arini dan ibunya serentak menatap ke arahku.Beruntung aku sempat menyembunyikan diri di balik pintu. Merekapun melanjutkan kembali memakan seonggok daging berdarah sambil bercakap-cakap. Dag-dig-dug! Sumpah jantungku rasanya mau copot. Sungguh menjijikkan tingkah laku Arini dan ibunya. Sebenarnya siapa mereka? Perlahan akupun beranjak dari lantai dan kembali ke peraduan. Berpura-pura tidur kembali. Krekkkkkk! Drap-drap-drap! Perlahan kudengar suara kaki Arini memasuki kamar. Jantungku rasa mau copot ketika ia merebahkan tubuhnya di sampingku. Bau anyir menyeruak dari tubuh indahnya. Sekuat mata ku paksa mataku untuk ter
Bismillah "Istriku Kuyang" #part_6 #by: Ratna Dewi Lestari. Aku lalu bersembunyi di bawah mobil. Samar-samar kulihat bayangan melesat mendekat. Ku tutup mulut dengan tangan yang bergetar. Sosok itu mengitari mobil seperti mencari sesuatu. Peluh membanjiri wajah dan tubuhku. Jelas terlihat dimataku dengan jarak dua meter, bagian bawah makhluk itu hampir menyentuh tanah. Usus terburai dengan ginjal, hati, dan organ dalam lain menggantung. Darah menetes di tanah seiring dengan pergerakannya melayang hampir menyentuh tanganku. Sungguh beruntung nasibku, tak lama makhluk itu terbang menjauh. Perlahan aku keluar dari persembunyianku. Ku tatap dua kepala dengan usus terburai melayang cukup jauh dari tempatku berdiri. Sudah kadung tau siapa Arini, aku memilih untuk mengikuti kedua sosok itu yang kutahu itu ibu dan juga Arini.
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_7#by: Ratna Dewi Lestari Tiba-tiba kulihat sekelebat bayangan hitam hampir mengenai kepalaku. Aku pun segera merunduk. Penasaran bercampur takut. Setelah kuperhatikan dengan seksama, rupanya bayangan itu hanya bayangan kalelawar pemakan buah yang sedang melintas. Srek-srek-srek! Sekilas kudengar suara langkah kaki yang di seret perlahan. Belum sempat ku berbalik sesuatu membekap mulutku kuat. Aku sempat berontak, tapi begitu ia mengusung sebuah parang panjang, nyaliku berubah ciut. Aku hanya bisa pasrah ketika sosok itu menyeret paksa tubuhku. Dalam keremangan malam dengan sedikit sinar bulan sabit karena tertutup mendung, samar-samar ku lihat tangan seseorang yang berotot dan sangat kekar. Tenaga nya pun kuat. Mudah saja ketika ia membawaku masuk lebih dalam ke hutan yang tak jauh dari rumah Arini.&
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_8#by;Ratna Dewi Lestari. "Begini ... cepat kau bawa kayu ini dan juga bawang merah ini," sahut Ayah seraya menyerahkan sebuah kayu berukuran sejari kelingking orang dewasa dan bawang merah. Aku menerimanya dengan kening yang mengkerut, bingung "Jangan banyak tanya, ini penangkal kuyang. Ia tidak akan bisa mencelakaimu," jelas Ayah kemudian. Ia lalu memelukku erat. Usapan tangannya lembut menyentuh punggungku. "Terimakasih, Ayah," ucapku lirih. Air mata sempat mengalir tanpa bisa kutahan. Perih memikirkan nasib rumah tanggaku. "Maafkan Ayah, Nak. Sebenarnya Ayah sangat menyayangimu. Bagiku kamu menantu yang Ayah idam-idamkan. Itulah mengapa Ayah merahasiakan jati diri Arini," sesal Ayah. "Sekarang pergilah sebelum fajar tiba, biasanya saat seperti itu Arini dan Ibunya pulang," lanjut Ayah lagi.
Bismillah "Istriku Kuyang "#part_9# by: Ratna Dewi Lestari. "Tolong ... ada kuyang! siapa pun tolong aku!" teriakku histeris. Jarak antara aku dan mobil cukup dekat, tapi rasanya sangat jauh, aku sudah sangat lelah berlari. Arini yang sudah berubah menjadi kuyang melesat kian mendekat. Jarak kami mungkin hanya tinggal lima belas meter lagi. Rasa takut bukan kepalang, tak bisa kubayangkan jika aku tertangkap Bughhh! "Dasar sial!" makiku dalam hati. Bisa-bisanya dalam keadaan genting begini kakiku menyandung batu hingga tubuhku terjerembab di tanah yang bercampur lumpur. Belum sempat berdiri, di hadapanku Arini terbang mengambang menatapku. Ibunya tak lagi mau mengikutiku. Nampak jelas wajah Arini yang pucat dengan mata merah yang menyorot tajam. Ia mengeram marah. Darahnya menet
Bismillah "Istriku Kuyang"#part_10#by:Ratna Dewi Lestari. Dok-dok-dok! " Bangun-bangun!" Aku segera terkesiap dari tidurku. Lelah masih membelenggu tubuhku. Bola mataku tiba-tiba membesar melihat seseorang tegak sembari menggedor-gedor kaca mobilku. Kuperhatikan dengan seksama, sepertinya pernah mengenal Ibu itu. "Cepat, buka!" teriaknya lagi. Dengan tergesa kubuka segera pintu mobil. Ia dengan lirih berkata," cepat pergi dari sini! ikuti aku kalau kau tak mau mati," Aku segera mengangguk cepat. Mengikuti si Ibu menjauhi rumah Arini. Suasana sekitar masih sepi. Remang-remang belum tersentuh sinar matahari pagi. Berarti aku mungkin hanya tertidur sekitar sepuluh menit saja sebelum akhirnya di bangunkan oleh si Ibu. Kami berlari menyusuri jalan menuju rumah s