Share

Penyesalan

[Mas, kok nggak di balas-balas sih? Padahal kamu dari tadi online aja? Aku dengar istrimu mati ya? Syukurlah kalo gitu. Asyik dong kalo dia udah mati, kita bisa segera menikah. Hehehe.]

Feni mengirimiku pesan lagi, karena pesan sebelumnya tak kunjung aku balas. Aku kesal membaca pesan darinya Bisa-bisanya sih dia bersyukur atas kematian istriku!

[Mas, kok kamu diam? Kamu nangis ya? Haha hari gini laki-laki kok menangis di tinggal istrinya mati! Harusnya senang dong malah, kan bisa nikah lagi dengan aku yang masih muda dan seksi!]

Mataku panas membaca pesan dari Feni. Ingin rasanya dibanting ponselku bila seandainya tidak ada hal-hal penting di dalam ponselku. Tapi urung kulakukan.

Tak berapa lama kemudian ponselku berdering. Rupanya karena aku tak kunjung membalas pesannya, dia langsung meneleponku.

[Mas, kamu kemana aja sih? Dari tadi kamu nggak ada membalas pesanku! Aku butuh uang, Mas! Aku ingin melakukan perawatan diri ke salon, belum lagi aku butuh belanja baju, tas, dan sepatu branded.] rajuk Feni dengan nada manjanya.

[Kenapa sih kamu ini nggak ngerti dengan keadaanku sama sekali! Aku masih berkabung, Fen! Aku baru saja kehilangan anak dan istriku. Bahkan tanah kuburan istriku masih basah!] jawabku dengan ketus. Aku tidak peduli lagi dia mau marah atau tidak. Tidak seperti dulu, kalau Feni marah atau ngambek, aku akan melakukan seribu satu jurus untuk membujuknya. Dulu kalau dia terus-terusan marah, aku tidak akan di berinya jatah!

[Mas, kamu nggak usah bingung gitu deh! Kalo istrimu mati, aku siap jadi penggantinya. Aku kan lebih muda dan cantik daripada dia!]

[Feni! Tega banget kamu bilang begitu!]

[Loh, siapa yang tega! Emang gitu kenyataannya! Sudah lah, Mas. Dengan matinya istrimu, artinya langkah kita untuk menuju pernikahan semakin terbuka. Hahaha.]

[Diam kamu jal*ng! Bisa-bisanya kamu menertawakan kemalanganku!]

Bukannya diam karena kubentak. Feni malah semakin tak gentar.

[Sudahlah Mas, kalau kamu tak mau mentransfer sekarang atau aku akan...]

[Apa maksudmu, Fen?]

[Aku akan bilang ke Ibu mertuamu kalau Mas menggadaikan surat rumahnya ke Bank!]

[Iya, iya aku transfer sekarang!]

Licik sekali dia menggunakan senjata itu! Memang. Aku telah menggadaikan surat rumah yang ku tempati ini bersama istri dan anakku ke bank sejumlah lima ratus juta untuk membelikan Feni mobil dan sisanya untuk membelikan dia belanjaan seperti emas dan barang elektronik yang mewah. Sedangkan untuk cicilan perbulan, aku mengandalkan usaha butik milik orangtua Gina yang kukelola. Beberapa bulan ini Gina selalu menanyakan mengapa uang yang kusetor padanya selalu berkurang. Aku bilang saja habis untuk biaya operasional.

Aku langsung membuka aplikasi mobile banking sebuah bank ternama di negeri ini di ponselku. Ku ketik angka lima juta. Kuklik kirim dan notifikasi bahwa uang yang ku transfer muncul. Uang lima juta yang ku beri kepada Feni habis dalam waktu dua minggu. Dia pasti meminta lagi kepadaku, biasanya ku kirim lagi satu juta atau dua juta. Sudah pasti Feni mengomel. Karena uang segitu pasti kurang untuk membiayai kebutuhannya yang hedonis. Aku tidak bisa mengirim uang lebih padanya, kalau sampai itu ku lakukan aku takut ketahuan.

Tak perlu menunggu balasan yang terlalu lama. Feni langsung mengirim pesan terima kasih di serta emot cium. Huh, jijik aku! Seandainya dia tidak mengancamku, aku sebenarnya malas mengirim uang padanya!

* * *

"Gin, Gina. Aku ingin memelukmu."

Aku terbangun di pagi hari, ternyata aku ngelindur dan mengigau. Kukira aku memeluk Gina, aku malah memeluk guling. Ya, guling yang biasa di peluk Gina. Karena aku menolak untuk memeluknya ketika dia masih hidup, padahal dia sedang hamil. Ya Allah, Gina. Dihirup aroma gulingnya Gina. Masih tercium aroma khas istriku. Aroma yang begitu kurindukan.

Kulirik jam dinding yang terpasang di dinding kamarku. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku depok jidat. Astaga! Aku terlambat ke butik.

Dengan tergesa-gesa, aku langsung mandi dan pergi ke ruang makan. Ku dapati meja makan kosong. Biasanya pagi-pagi, Gina sudah memasak sarapan dengan sayur dan lauk pauk yang enak. Tetapi seringkali, aku malah memilih sarapan di luar dengan Feni.

Seperti waktu itu.

Flashback mulai.

"Mas, yuk sarapan dulu. Aku sudah siapkan untuk kamu dan Tika. Ada sop ayam, ayam kentaki, dan perkedel kentang," kata Gina dengan lembut.

"Ya," jawabku singkat. Aku mencium aroma masakan yang di masak Gina. Betapa harum dan lezat menggugah selera. Tetapi karena aku sudah janji dengan Feni untuk sarapan di warung bubur ayam.

"Gin, aku buru-buru nih ke butik. Soalnya udah ada janji dengan orang yang mau membeli dengan jumlah besar. Sayang kan kalau nggak di terima?" balasku memberi alasan kepada Gina.

"Yaa.." Terdengar nada kecewa dari mulut Gina.

"Terus mau gimana lagi," kataku sambil mengendurkan bahu.

"Ya sudah, Mas. Ini aku bawakan bekal untuk Mas makan siang," sahut Gina sambil memberikan sebuah rantang yang berukuran kecil kepadaku.

"Baiklah," kataku sambil menerima rantang dari Gina dengan malas-malasan. Sebenarnya memalukan sih. Masa sudah dewasa masih saja bawa-bawa-bawa bekal makanan kayak anak TK! Apa kata anak bagiku atasannya membawa bekal!

Lagipula Gina ini sangat aneh. Masa sudah setua ini membawa bekal makanan! Padahal dulu-dulu dia tidak pernah begini.

*

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Santi Afriani
Masi nyimak,
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status