Share

BAB 8

#Part_8

Aku bangun dengan kepala berat. Rupanya sudah jam sepuluh pagi, pantas suasana rumah sepi dan senyap. Dengan tubuh sedikit terhuyung aku meraih handuk di gantungan. 

Kulirik sekilas meja kecil di sudut kamar, entah sudah berapa lama tak lagi terhidang secangkir kopi dan sarapan. Meski tak ada makanan, tetapi tiga lembar uang merah dan selembar kertas tergeletak di sana.

 [ Tolong pergi ke pom bensin, karena mobil tak bisa diisi air. Sisanya buat beli nasi bungkus dan lain-lain. Anak-anak nggak usah dijemput, karena kami akan mengunjungi Bude. Nginap.] Bude  adalah sebutan untuk kakak perempuan Astuti; Mbak Laila. Hanya setengah jam berkendara dari sini.

Ada yang terasa mengaliri sudut hati, semacam rasa hangat yang aneh. Meski jurang semakin menganga lebar, Astuti tetap 'care'. Buktinya dia memikirkan kebutuhanku, meski bisa saja tak peduli.

Kuraih ponsel dari nakas, terpikir untuk menelepon Astuti. Ponsel menampilkan notifikasi delapan panggilan tak terjawab dari Yuni. Aku memilih mengabaikannya.

Lama sekali baru tersambung dan terdengar suara Astuti.

"Ada apa, Mas?" Sahutannya terdengar penuh keengganan.

"Aku cu--cuma mengkhawatirkanmu ....

" Hanya terdengar helaan napasnya. Aku menelan ludah, bingung sendiri dengan suasana hatiku. Jika boleh memilih, aku ingin tetap bersama Astuti meski pun harus bertanggung jawab terhadap kehamilan Yuni. 

Yuni menang menarik, manja dan paham cara menyenangkan hatiku, tetapi ada hal yang tak bisa tergantikan dari sosok istriku itu. Andai saja aku bisa menjadikan Astuti dan Yuni sebagai dua permaisuri dalam hidupku, tentu semuanya akan terlihat sempurna. Satu istri yang mandiri dan serba bisa, satunya lagi istri yang menggairahkan.

"Tak bisakah kita berdamai saja, Astuti?  Kita tetap bersama, dan Yuni kunikahi hanya sebatas rasa tanggung jawab saja." Kalimat itu meluncur begitu saja.

Lagi-lagi tidak terdengar apa-apa, sampai beberapa detik kemudian tawa di seberang sana terdengar menyengat telingaku.

"Jangan bercanda, Mas. Aku tidak senaif itu. Boleh saja aku menerima segala celamu, dan itu sudah kubuktikan bertahun-tahun lamanya. Namun batas kesabaranku sudah habis, perubahan dan perbaikan sikap tak kunjung kau tampakkan. Lebih keterlaluan lagi sebuah penghianatan, dan untuk hal semacam itu ... tidak ada kata maaf dariku!" Suara Astuti terdengar bergetar.

"Jadi, kau akan tetap melanjutkan gugatanmu?"

"Iya. Dan nanti dalam sidang mediasi pun, keputusanku tidak akan berubah. Sudah dulu, Mas, aku masih banyak kesibukan." Tanpa menunggu jawaban, sambungan ditutup sepihak.

Aku meremas jemari kuat-kuat. Astuti telah membuat batas, dan aku tak bisa lagi memenangkan hatinya. Seperti kata Emak sejak dulu, suami adalah raja, dan raja tidak akan merendahkan dirinya di hadapan perempuan manapun. Baiklah, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, semua harus kuhadapi. Dia jual, aku beli. Segera kutelepon Yuni, ingin tahu kabarnya hari ini sembari mengusir rasa kesal akibat respon Astuti  tadi.

"Mas, aku sudah nemu pengacara yang mau dibayar belakangan," sambarnya penuh semangat saat tersambung.

"Serius? Siapa dia? Kapan kita bisa ketemu dia?" Aku tak sabar lagi untuk menyusun langkah lebih lanjut. Aku boleh berbesar hati, harta gono gini yang aku ajukan nanti di sidang perceraian memiliki nilai cukup tinggi. Rumah ini terletak di atas tanah yang cukup luas. Dulu memang Astuti membeli dengan harga sangat murah, tetapi kini nilainya berpuluh kali lipat. Wajar saja, kini wilayah ini merupakan jalur hidup dan menjanjikan. Hampir semua fasilitas umum seperti swalayan, pasar dan gedung perkantoran mulai menjamur.

"Nanti malam dia bermaksud mengunjungimu, jika kamu bersedia."

"Ya sudah, lebih cepat lebih baik, dong. Bilang saja aku tunggu kedatangannya. Kebetulan Astuti dan anak-anak sedang menginap di rumah saudara," jawabku bersemangat. Hati sedikit lega, satu masalah mulai menemukan solusi.

Pukul tujuh malam, pengacara bernama Albert Juanda itu datang bersama Yuni. Konon lelaki itu masih kerabat jauhnya. Sengaja aku meminta Yuni membuat minum dan kudapan kecil, agar bisa leluasa berbicara hal penting berdua saja dengan pengacara itu.

"Pak Busro, kali ini kita tidak perlu terlalu formal. Soal surat kuasa dan lain-lain bisa kita susul besok di kantor saya, kebetulan Kak Yuni masih kerabat saya." Lelaki tegap itu berbicara lugas. Aku mendekat ke arahnya.

"Intinya, saya ingin ada perdamaian. Saya masih ingin mempertahankan rumah tangga ini. Namun jika memang harus bercerai, bukankah ada sebagian hak saya atas harta benda yang ada?" tegasku. Pria berkacamata itu mengangguk-angguk dengan mimik serius.

"Jadi begini, Pak Busro. Dalam tahapan perceraian itu ada Mediasi, nah di sanalah adanya proses mendamaikan para pihak oleh hakim. Jika mentok, maka akan lanjut ke agenda utama, yaitu rangkaian persidangan cerai. Soal harta gono gini itu bisa digabungkan langsung dengan sidang perceraian, bisa juga setelah ada putusan cerai terlebih dulu.

Yang pasti, hukum kita mengatakan bahwa seluruh harta yang diperoleh semasa perkawinan adalah harta bersama dan bisa dibagi secara rata." Albert Juanda menerangkan panjang lebar. Meski aku tak begitu paham soal proses gugatan Astuti, tapi dari penjelasannya bisa dipahami bahwa soal seluruh kekayaan dalam rumah tangga kami adalah harta bersama meskipun hanya Astuti yang menghasilkan.

"Jadi apa yang harus saya lakukan?" tanyaku serius. 

"Jika Anda ingin gugatan cerai tidak dikabulkan, siapkan beberapa bukti yang membantah tuduhan Bu Astuti. Misalnya saksi yang menerangkan bahwa kondisi rumah tangga kalian baik-baik saja. Kedua, bukti-bukti bahwa Anda bertanggung jawab dan menafkahi keluarga. Misalnya slip-slip gaji dan keanggotaan asuransi kerja." Kembali pengacara itu menjelaskan. Aku termenung, bisakah aku menyiapkan jurus-jurus sangkalan atas gugatan Astuti?

"Jika saya tidak mampu menyangkal?" tanyaku getir.

"Sudah pasti proses akan terus berjalan dan perceraian bisa dikabulkan. Di sini, soal pembagian harta goni gini menjadi hal yang pasti akan dibahas," jawab Albert tegas.

Aku mengangguk paham, mungkin memang perceraian menjadi jalan terbaik bagiku dan Astuti.

💜

Esok harinya Astuti dan anak-anak pulang menggunakan armada online. Mereka masuk dan melewatiku yang tengah menekuri ponsel begitu saja.

"Panji! Rara!" Kupanggil mereka dengan perasaan rindu. Langkah mereka terhenti dan menatap ragu, tetapi sejurus kemudian mendekat pelan ke arahku. Mencium punggung tangan ini secara kilat lalu berlalu ke kamar masing-masing. Ah, aku mulai kehilangan mereka perlahan-lahan ....

Di dapur kudengar aktivitas Astuti seperti biasa. Mungkin membereskan segala kekacauan rumah selama dia pergi. Pakaian kotor dan piring berserakan , terlihat begitu memasuki dapur. Ya, seumur-umur aku memang tak pernah menyentuh pekerjaan perempuan. Laki-laki tidak boleh merendahkan diri dengan mengerjakan tetek bengek pekerjaan rumah, terngiang perkataan Emak dulu.

"Kau mencuci otak anak-anak? Mereka menjauh dariku," protesku kesal. Mata lentik itu cuma melirik sekilas, lalu melanjutkan pekerjaaannya. 

"Aku bukan pecundang. Mereka belajar dan membaca keadaan. Contohnya ini, rendah dan menjijikkan," desisnya sambil melemparkan jas hangat berwarna coklat susu. Astaga, itu jas Yuni yang tertinggal di dapur semalam. Tadi pagi semua terburu-buru dan Yuni pasti lupa mengecek barang-barangnya.

"Lagi-lagi cuma mengejar untuk bisa mengungkit hal yang sama!" aku mendengkus masygul. Astuti hanya menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya.

"Mas yang memang selalu mancing untuk dikomentari pedas! Selalu ada hukum sebab akibat, bukan?"

Aku terdiam tanpa kata sedikit pun. Terjebak oleh keadaan seperti ini.

"Aku sudah punya pengacara. Jadi, lebih baik belajar mengikhlaskan semua nantinya," gumamku setelah beberapa menit terjeda hening. Wajah tirus itu tetap terlihat tenang tanpa riak.

"Aku justru tidak perlu pengacara, Mas. Aku berjuang mewakili diriku sendiri untuk memenangkan hakku dan anak-anak!" tegasnya.

"Tapi kau bukan orang bodoh, bukan? Kau pasti tau tentang aturan pembagian harta bersama ...." Aku mencecar Astuti.

"Kita lihat besok, Mas! Hanya tinggal beberapa jam dari saat ini." Keyakinan pada suaranya tak berubah sama sekali.

💜

Mobilku tiba di PA setengah jam lalu diiringi Albert Juanda. Yuni terpaksa tidak boleh ikut, karena menurut Albert, kehadirannya hanya akan menjadi nilai negatif bagiku. Memiliki Wil/Pil dalam sidang perceraian adalah sebuah preseden buruk.

Tak lama Astuti terlihat keluar dari ruang panitera. Seperti janjinya, ia hanya sendirian saja. Albert dan aku menghampirinya. Sikapnya terlihat sangat hati-hati saat menerima uluran tangan pengacaraku.

"Saran saya, Ibu juga mengajukan pembagian gono-gini sepaket dengan persidangan ini, atau jika tidak, maka pihak kami lah yang akan mengajukannya pada panitera. Ini hal yang sangat penting dalam proses perceraian, bukan?" Albert Juanda berucap serius dan penuh penekanan.

"Saya perlu bicara secara pribadi dengan klien Anda," jawab Astuti dan memberi kode padaku untuk mengikuti langkahnya ke bagian belakang gedung ini. 

Sinar keemasan di pagi hari yang cerah membuat adegan demi adegan dalam layar ponselnya terlihat jelas. Mulanya aku bingung dengan maksudnya, tetapi setelah beberapa menit simpul-simpul otak ini mulai bereaksi. Aku seperti melihat seorang pencuri yang tertangkap  rumahnya sendiri.

"Kau merekam hal-hal yang menjadi privasiku!?" geramku saat layar ponselnya menampilkan bayangan Yuni yang memeluk dan bergayut mesra padaku. Berlanjut dengan adegan langkah kami menuju kamar utama.

"Bukan hanya satu titik CCTV, Mas, tetapi empat sekaligus. Di teras, ruang tamu, di depan kamar dan ruang kerjaku. Kalau kau tega melakukan apa saja, kenapa aku tidak?" Ia tertawa renyah. Darahku mendidih demi melihat satu demi satu adegan lainnya, termasuk beberapa kekerasan yang pernah kulakukan terhadapnya.

"Licik!" desisku geram. Jari-jemari tangan ini membentuk kepalan. Andai bukan di tempat umum, sudah kuberi pelajaran seperti biasanya.

"Jangan mimpi bisa sesenaknya lagi memperlakukan aku. Kebebasanmu justru ada di tanganku!" Astuti nyaris berteriak.

"Lalu apa maumu, Astuti?!" tanyaku pelan sambil berusaha menekan amarah yang memenuhi rongga dada dan membuatku sesak.

"Mauku? Proses persidangan ini berjalan lancar dan tidak ada tuntutan harta gono gini! Aku tidak akan sudi kau mengambil satu sen pun milikku untuk perempuan itu! Semua milik Panji dan Rara. Titik!"

"Oh ya? Kau pikir aku peduli?!" Aku makin mendekati posisinya.

"Tentu saja. Atau kau mau berurusan dengan  pasal KDRT dan perzinahan?" tanya Astuti menantang, ketenangan sikapnya membuatku panas. 

"Kau akan menjadi pribadi yang cacat moral di tengah masyarakat dan lingkunganmu. Akan menjadi orang yang dicurigai sepanjang hari. Kau akan menjadi lelaki tanpa masa depan," tandasnya tanpa tedeng aling-aling. 

Aku menghembuskan napas kesal, ternyata Astuti lebih kuat dan cerdas dari yang kutahu. Dengan gerakan kilat, kurampas ponsel dalam genggamannya lalu menghapus deretan video itu.

"Nah beres, kan?" Aku tertawa puas. Kau pikir semudah itu mengancam seorang Busro?

"Padahal aku punya banyak salinannya, meskipun nantinya kau akan merusak CCTV yang terpasang di rumah. Semua telah kukirim ke beberapa orang yang sangat kupercaya." Wajah cantik di hadapanku tertawa lebar. Rasa marah menguasai diri tapi aku tak mampu melampiaskannya.

"Mari kita mengikuti proses persidangan, Mas. Kuharap kau cerdas untuk menentukan sikap. Bercerailah baik-baik tanpa drama, agar anak-anak tetap respek dan menghormatimu!" tandasnya sambil berjalan menuju ruang sidang

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status