Share

BAB 5

#Part_5

Beberapa hari ini, Astuti mendiamkan aku. Tidak bicara apa-apa kecuali menjawab pertanyaan, itu pun jawaban pendek-pendek saja. Sifat serba memaklumi yang bertahun-tahun jadi ciri khasnya seolah sirna. Apa yang jadi penyebabnya aku belum tahu.

Semula ada rasa curiga, jangan-jangan Astuti bermain api dengan Didi sialan itu. Namun sempat beberapa kali memata-matai aktivitas istriku di luar, tidak menemukan hal mencurigakan. Demikian juga saat kubuka diam-diam ponselnya, tidak ada chat mesra dengan lelaki itu.

Sempat diri ini curhat pada Dono Don Juan itu, soal Astuti yang sekarang cenderung sensitif dan tertutup. Sarannya sungguh lebay, katanya aku harus belajar romantis dan sedikit gombal, sebab perempuan konon suka digombali. Sesekali memberi bunga, candle light dinner, atau nginap di hotel berdua, adalah beberapa saran darinya.

Aku sama sekali tak pernah melakukan itu. Setahuku dengan bentakan dan sikap keras, istri akan bisa dikuasai. Selama puluhan tahun aku menyaksikan Ayah dan Emak selalu berseteru tanpa ujung pangkal. Namun toh mereka tetap bersama hingga ajal menjemput Ayah. Jadi selama ini aku mencontoh apa yang disaksikan sejak kecil.

Lamunanku terganggu oleh ketukan berulang di pintu depan. Sepertinya ada tamu yang tak sabaran. Aku urung berjalan ke arah depan setelah Panji berlari lebih dulu untuk membuka pintu.

Suara berisik dan gaduh seketika terdengar. Emak? Ada angin apa Emak datang ke sini? Apa karena curhatanku beberapa hari lalu? Ah ini sih kebetulan namanya, Astuti dulu sangat takut dengan Emak. Mudah-mudahan Emak bisa menaklukkan hati istriku.

"Mak, sama sapa?" Aku menyongsong Emak yang baru masuk. Di teras terlihat Berno--adikku, sedang mengagumi mobil baru kami yang tengah terparkir. 

"Itu sama Berno. Emak tadi lagi ngambil BLT di kantor pos, trus keinget mampir ke sini. Kangen sama kalian," jawab Emak sambil matanya mengawasi isi bufet di ruang tamu. Tumben belum komentar ini itu. Emak kok kangennya pas di hari Astuti baru gajian, ya.

"Ngomong-ngomong Astuti mana? Mertua datang kok ngumpet?" ketus Emak, lalu tanpa basa-basi langsung ke lantai atas. Terdengar ia menggedor pintu kamar utama dan mengomeli Astuti.

"Istri kok udah sore gini masih tidur. Nggak bener ini," gerutu Emak berkepanjangan. 

"Saya baru tidur, Mak. Belum juga ada setengah jam. Dari subuh hingga sore saya kerja, saya juga butuh istirahat," jawab Astuti pelan tapi menusuk.

"Kamu tuh kalau Emak ngomong jangan dibantah kenapa?!" tegurku dengan suara tinggi. Aku harus terlihat berwibawa terhadap istriku di depan Emak dan keluarga yang lain.

"Harusnya aku gak perlu membantah, Mas. Kamu yang harus bela. Memang  kenyataannya aku capek dan butuh istirahat," lanjutnya masih dengan nada pelan tapi membuat kuping ini panas.

"Astuti!" sergahku.

"Lah kok kalian malah ribut sih ada emak?! Tuti, kamu tuh harus nurut omongan suami, jangan durhaka tau! Jadi istri yang solehah, biar hidup selalu berkah," ucap Emak tegas. Aku puas mendengar perempuan yang melahirkanku itu menasehati panjang lebar. Sikat, Mak!

Sementara itu, sosok yang jadi bahan omelan hanya mengangkat bahu dengan santai. Ia sama sekali tak membalas kata-kata Emak. Bahkan sibuk dengan cucian piring dan baju tanpa menoleh ke arah kami. Ia seolah-olah sedang sendirian saja.

"Busro, emak kayaknya pulang saja. Tuh istrimu  nggak suka emak datang." Emak berdiri dan bersiap untuk pulang.

"Astuti! Minta maaf sama Emak, gih!" Aku melotot ke arah istriku. Astuti menghentikan kegiatannya lalu mendekati Emak. Tangannya meraih punggung tangan Emak lalu menciumnya. "Maafkan Astuti ya, Mak. Makasih atas semua nasehat yang bijaksana dan penting tadi. Emak dan Mas Busro betul-betul orang bijak ternyata ...." Astuti menatap kami bergantian dengan senyum miring.

"Nih, Mak. Sekadar ongkos dan jajan Emak. Jatah bulanannya baru akan dikirim tiga hari lagi. Astuti mesti bayar listrik dan air dulu." Astuti menyelipkan dua lembar merah ke tangan Emak. Tiba-tiba Emak berubah manis dan mengelus pundak Astuti.

"Ingat pesan emak tadi, ya. Jadi istri yang solehah!" Emak tersenyum dan melambaikan tangan pada kami

"Kamu ngapain tadi? Nyindir?" ketusku begitu Emak dan Berno pulang.

"Lah dipuji kok malah sewot," sahut Astuti sambil tertawa lebar dan kembali ke dapur.

💜

"Mas, aku ada undangan dinas ke Palembang. Cuma 2 hari," lapor Astuti ketika aku baru tiba dari mengantar anak-anak sekolah. Dia tengah sibuk memasukkan beberapa potong baju dan perlengkapan administrasi lainnya.

"Kok dinas terus?!" Aku pura-pura keberatan, padahal akal bulus sedang bermain di kepala ini.

"Ya gimana? Namanya juga tugas dan pengabdian." Astuti memperlihatkan selembar surat tugas dinas ke arahku. "Di  kulkas sudah kusiapkan untuk kebutuhan makan. Ada ayam ungkep, ikan bandeng, telur, sayuran dan lainnya."

"Yaudah. Jatah jajanku dan anak-anak jangan lupa." Hatiku bersorak-sorai. Ini kesempatan pertama untuk membawa Yuni ke rumah ini. Aku yakin saat janda itu sampai di sini dan melihat kehidupanku yang mapan, ia akan semakin mengagumi dan mencintaiku.

"Duit kutaruh di tempat biasa. Begitu selesai aku langsung pulang."

Aku hanya bisa mengangguk-angguk kosong, sementara jemari dan pikiranku sudah berselancar di dunia maya.

💜

Begitu Astuti berangkat dengan rombongan dari Dinas Pendidikan Propinsi J, aku tak membuang waktu untuk menyusun rencana. Anak-anak pulang sekolah nanti akan dijemput Berno dan menginap di rumah Emak.

 Meskipun Rara keberatan dan menolak tidur di rumah neneknya, aku terus membujuk. Kuiming-imingi dia dengan hadiah eskrim Vienetta, jika menurut. Pada anak-anak aku mengatakan ada orang yang menyewa jasa trevel mobil pribadi. Dulu, puluhan tahun silam aku pernah menekuni jasa antar jemput dan sewa mobil beserta sopirnya. Kini persaingan semakin sulit dan aku memilih berdamai dengan keadaan--membiarkan Astuti jadi tulang punggung. Toh meskipun hanya dia yang bekerja, seluruh kebutuhan hidup layak di rumah ini, tercukupi. Ini kan sudah abad milenium, perempuan sudah biasa menjadi tulang punggung di banyak  Pasutri. Jangan kolot-kolot banget lah, jangan dibuat rumit.

Sore harinya aku menjemput Yuni. Hari ini akan kubuat perempuan itu tahu tentang Siapa Busro yang tengah mendekatinya. Dengan melihat rumah dan segala fasilitas yang kumilikki, ia pasti tidak akan meragukan diri ini. Di lingkungan RT, kami termasuk keluarga menengah atas.

Baru-baru ini, ada beberapa lelaki juga berniat mendekati Yuni. Mereka rata-rata lelaki mapan. Maka aku harus berusaha ekstra keras untuk tetap mempertahankan Yuni di sisiku. Ia adalah obsesi masa lalu yang datang kembali, dan sayang untuk dilewatkan. Aku tak ingin jadi pecundang untuk yang kedua kali.

Begitu tiba di depan pagar rumah, sepasang mata Yuni menatap takjub. Dalam keremangan malam, rumah berlantai dua milikku berdiri kokoh. Pilar-pilar penyangga membuat bangunan bercat putih itu tampak megah.

"Ini rumahmu, Mas? Ckckck beruntungnya istrimu itu," gumam Yuni takjub. Matanya berkeliling ke seluruh penjuru.

"Ayo, masuk. Nanti keburu diliat orang." Kuseret langkahnya memasuki rumah. Kembali dia terlihat takjub, koleksi guci-guci mahal milik Astuti membetot perhatiannya di ruang tamu.

"Kamu pengusaha apa sih, Mas? Bisa sukses begini? Lain banget sama mantan aku si Johan yang kerjaannya cuma nadah sama ortunya," bibir Yuni berdecih. Tak henti-hentinya berkomentar soal ini itu. Sementara konsentrasiku buyar oleh desakan dari dalam tubuh. Segera kurengkuh tubuh padat Yuni, lalu membopongnya ke kamar. 

"Ya ampun, gamisnya bagus-bagus banget." Yuni melepaskan diri lalu menuju ke lemari gantung yang berisi beragam pakaian Astuti.

"Kamu ngapain, Yun? Itu soal sepele, nanti kamu bakal kubeliin yang lebih bagus dari itu semua." Aku tak sabar untuk segera menikmati malam panas bersamanya. Kembali kurengkuh tubuhnya lalu kuhempas ke atas kasur.

Tengah berjibaku dengan keringat dan desah manja, saat terdengar ketukan pelan di pintu. Mula-mula hanya samar, tetapi makin menguat. Sejenak kepalaku berpikir, siapa yang bertamu hampir tengah malam ini? Apa Rara nekad meminta pulang? Atau petugas siskamling yang berniat minta kopi panas dan cemilan?

"Tetap di posisimu, ya. Aku keluar sebentar." Aku menyambar handuk di gantungan dan mengenakannya asal-asalan. Dengan langkah panjang aku menuruni tangga, membuka pintu dengan umpatan bergema dalam dada. Siapa sih ganggu bener!?

Astuti?

Aku mengucek-ucek mata, tetapi tetap saja yang kulihat adalah Astuti. Masih dengan baju dan koper yang sama. Aku seperti melayang ke udara untuk beberapa saat, lalu terhempas kembali ke bumi.

"Kok bengong? Kayak lihat hantu saja!" Astuti melangkah masuk dan meletakkan kopernya di tepian.

"Kamu nggak jadi dinas?" tanyaku dengan suara tercekat.

"Kegiatan dicancel karena ada masalah internal di diknas."

"Oh?" Pikiranku mendadak kosong. Kenapa bisa kebetulan begini?

"Anak-anak sudah tidur? Kok sepi banget?" Lagi, Astuti bertanya dan aku hanya diam saja.

Dulu mungkin hati ini tak gentar, tetapi sekarang ia jauh sekali berubah. Sikapnya begitu terkontrol, dingin dan tegas. Aku seperti  melihat Astuti dengan kepribadian yang baru. Dan itu membuatku merasa was-was dan terancam.

"Bau apa ya, Mas. Kamu beli pewangi ruangan baru?" Astuti mengendus-endus. Ya ampun, itu pasti bau parfum Yuni. 

Aku melirik ke atas, berharap Yuni mengerti situasinya lalu dengan sigap keluar dari rumah ini tanpa harus kepergok. Namun harapanku sia-sia, lamat-lamat terdengar langkah kaki menuruni tangga sambil memanggil namaku. Payah kamu, Yun!

Aku melirik ke arah Astuti, dengan wajah penuh tanda tanya ia melihat ke atas. Sampai Yuni tiba di hadapan kami, Astuti masih saja terbengong-bengong.

"Kamu siapa?! Ini siapa, Mas?!" Akhirnya suara Astuti terdengar. Ada kebingungan dan kemarahan dalam warna suaranya. Tampaknya ia mulai memahami yang telah terjadi, tubuh kami yang masing-masing hanya dilapisi handuk, telah menunjukkan apa yang terjadi.

"Astuti, jangan salah paham dulu. Aku nggak sengaja ... khilaf ...." Suaraku terbata-bata.

"Kotor banget kamu, Mas!" Astuti menggeram. Lalu dengan tangan gemetar menunjuk ke wajah Yuni. "Pakai pakaianmu kembali dan pergi dari sini secepatnya. Kamu juga, Mas!" 

Yuni terbirit-birit ke atas, lalu turun setelah berpakaian lengkap. Kini dia menatap lekat ke arahku. "Mas kok kamu diam aja! Ini kan rumahmu, yang tegas dong jadi laki!"

Astuti tertawa mendengar kata-kata Yuni, aku paham maksudnya.

"Mas! Tolong pergi dari sini dan bawa perempuan ini!" Astuti melemparkan pakaian ke arahku. Dengan wajah datar, ia menunjuk ke arah pintu, isyarat agar kami segera pergi. 

"Astuti! Jangan semena-mena, aku ini suamimu!" Manik mataku menatap tajam ke arahnya, berharap mentalnya jatuh melihat ekspresiku.

"Cukup! Aku nggak mau berdebat, Mas. Apalagi di depan perempuan itu. Dan satu hal aku tidak akan pernah mentolerir   kejadian ini. Ini sudah penghinaan paling menyakitkan. Aku akan meminta cerai!" tandasnya dengan wajah memerah.

"Dengar ...."

"Tolong pergi dari sini, Mas. Aku ingin sendirian dulu ...." 

Aku terdiam tanpa kata.

Dengan berat hati aku menyeret Yuni keluar dari sini. Biar besok saja aku urus semuanya. Aku tahu Astuti tidak akan gegabah mengambil keputusan, ada anak-anak yang bisa menjadi senjata guna mempertahankan posisiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status