Share

BAB 6

#Part_6

Aku menekuk tubuh di atas kursi teras. Hawa dingin dinihari membuatku menggigil. Ditambah pula dengan gigitan nyamuk malam yang tidak henti-hentinya meninggalkan rasa gatal di sekujur tubuh. Mata ini sama sekali tak mampu terpicing sejak tadi malam.

Pikiranku lalu melayang pada kejadian beberapa jam lalu. Kemarahan Astuti yang meledak begitu tahu ada perempuan lain di rumah ini. Kenapa tadi seolah bibir ini terkunci untuk membela diri? Kenapa aku membiarkan Astuti  yang mengendalikan situasi? Bodohnya aku membiarkan situasi di rumah tak lagi dalam kendaliku? Apa ... apa yang telah terjadi pada Astuti sehingga kini ia tak bisa kuperlakukan sesenaknya seperti dulu?

Adzan Subuh terdengar dari masjid di pertigaan sana. Tak lama lampu ruang tamu menyala, disusul anak kunci yang berputar dan daun pintu terbuka.Tanpa menunggu lebih lama, aku menerobos masuk dan melewati begitu saja tubuh Astuti yang berdiri di ambang pintu.

 Langkah kaki mengarah ke dapur dan membuka lamari makan. Langsung melahap apa saja yang ada di sana. Perut tidak lagi dapat berkompromi, rupanya terakhir makan sewaktu sarapan pagi tadi bersama anak-anak.

"Masih di sini, toh?" Astuti menyeringai dari jarak beberapa meter, tampaknya ia sengaja mengikuti. "Kupikir sudah angkat kaki dari rumah ini dan pindah ke tempat perempuan itu," sambungnya dengan wajah menggelap. Meski kuping terasa panas, aku tak menanggapi. Saat ini memang posisiku tengah tersudut. Aku meneruskan makan tanpa melihat ke arahnya.

"Aku kan sudah minta maaf," ujarku jengah. Bibir tipis itu kembali mengulas senyum masam.

"Lalu?"

"Jangan memperpanjang masalah. Kamu butuh fokus bekerja, jangan membesar-besaran masalah kecil!"

"Apa? Jadi kejadian menjijikkan seperti tadi itu hal kecil? Hal sepele?" ketus Astuti dengan suara dan tatapan tajam

"Lalu apa maumu?!" Aku kini terpancing. Makin lama makin tak tahan melihat sikap membangkangnya.

"Pergi dari hidupku tanpa perlu dipaksa."

"Jangan mimpi! Aku tak akan pergi dari rumah ini!" Aku mendengkus keras di depan wajahnya.

"Tapi sudah tidak ada lagi tempatmu di hatiku, Mas. Setelah puluhan tahun aku berusaha memaklumi keadaanmu, mencintai dan menerima kondisimu dengan ikhlas, tapi kamu justru membalas sebaliknya! Aku ingin kita pisah dan tolong menyingkir dari rumah ini sementara waktu. Aku belum siap melihatmu, Mas."

"Kamu yakin?" Tubuh ini makin condong ke arahnya. Wajah kami berhadap-hadapan. "Kamu yakin akan menyingkirkan aku?! Tatapan tajamku membidik langsung kedua bola matanya. Sejenak ia membuang pandangan ke arah lain, tetapi beberapa detik berikutnya terlihat bisa menguasai diri.

"Sangat yakin! Karena aku bukan lagi Astutimu yang naif dan bodoh," ketusnya tanpa ragu. 

"Kamu tidak akan sanggup menghalangi semua keinginanku, termasuk  semua teman-temanmu di luaran sana, As," balasku

"Oh ya?" Ia mendekat ke arahku. "Dua belas tahun aku belajar bertahan, maka kini saatnya belajar membuat perhitungan, Mas."

"Ckckckkck ...." Tawaku membahana, sejak kapan perempuan lemah seperti dia berani mengancamku.

"Kalau kau tak mau melepaskan aku secara damai, maka aku akan melepaskan diri secara paksa. Di pengadilan agama!"

"Jangan mimpi! Sampai kapan pun kau tak akan bisa membuangku seenaknya!" Kelima jemari ini mendarat di leher jenjangnya. Siap memancing rasa ketakutan di wajahnya. Aku terus mendorong hingga tubuh itu terjebak di dinding. Namun lima detik kemudian, tanpa terduga dua tangannya mendorong dada ini kuat-kuat hingga tubuhku mundur beberapa langkah.

"Jangan berbuat kasar, Mas ... atau aku akan berteriak kencang agar orang sekitar datang dan membuka kedokmu!" ancamnya dengan sikap kuda-kuda. 

"Coba saja kalau berani!" tantangku dengan suara pelan tetapi tak beranjak dari posisinya.

"Toool---" jerit Astuti terputus sebelum akhirnya mulut itu kubekap dengan telapak tangan. Seketika gerakan membekap itu terlepas karena sesuatu yang terasa sakit dan perih. Fix ... dia ternyata  telah menggigit telapak tanganku dengan sekuat tenaga. 

"Jangan pernah mengulangi lagi atau berpikir itu bisa mencegahku, Mas!" pungkasnya getas sembari berlalu  dan menuju lantai dua. Aku hanya mampu memandangnya sambil  mengepalkan  tangan. Kini, aku tidak boleh menganggapnya enteng.

💜

Aku bangun lebih awal dari Astuti. Memasak sarapan nasi goreng kesukaannya. Sesuatu yang tak mungkin sudi kulakukan dalam keadaan normal, tetapi mau tak mau harus kulakukan demi mengambil hatinya lagi. Pekerjaan yang pasti bisa memancing amarah Emak jika tahu. Emak akan mengomel panjang lebar jika Astuti berangkat kantor tanpa menyelesaikan pekerjaan rumah lebih dulu. Suami pantang menggantikan pekerjaan istri apapun alasannya.

"Aku bikin nasi goreng, As. Oh ya? Kamu mau ke mana hari Minggu gini?" tanyaku sambil menyapu penampilannya dari kepala hingga kaki.

"Mau latihan bentar." Ia menjawab ogah-ogahan. Sial, jika bukan dalam rangka meminta maaf dan mencegah Astuti minta cerai, sungguh tak sudi merendahkan harga diri seperti ini.

"Padahal anak-anak minta ke kebun binatang, lho." Aku mengarang alasan. Kulirik ekspresi Astuti dari pantulan kaca meja rias. Datar dan dingin.

"Ini hari pertamaku latihan karate, gak bisa ditunda. Kalau mau, anak-anak bisa kuajak, kok."

Uhukss

What? Karate! Apa nggak salah tuh? Membunuh nyamuk aja Astuti tak tega. Lalu ... apa tujuan sesungguhnya Astuti mengikuti latihan beladiri tersebut?

"Untuk apa ikut begituan?" Aku masih penasaran. Tubuh ramping berbalut pakaian olah raga itu membalikkan tubuh.

"Untuk apa?  Untuk jaga-jaga dong, Mas. Perempuan sekarang harus serba bisa bisa. Jangan mau dibayang-bayang rasa takut." Astuti menjelaskan seolah tengah menyindirku telak. Dengan pipi panas menahan malu dan gengsi, aku coba pura-pura tak mendengar.

Tak berapa lama, Astuti memasuki kamar anak-anak, terdengar ia tengah meminta izin dan memberi pesan agar tak banyak main di luar rumah. Lalu ia melewati tubuhku yang berdiri di tengah-tengah rintangan.

"As, jatah rokok dan pulsa belum  ada nih." Ingin sekali aku berteriak kalimat itu. Namun itu hanya terdengar di dalam dada ini. Hingga Astuti melangkah ke luar rumah, kalimat itu tak juga mampu terlontar.

Kutendang bungkus rokok yang tak lagi berisi. Batang terakhirnya sudah kuisap semalam. Betul-betul gawat kemarahan Astuti, sampai tega memblokir jatahku 3 hari ini? Mana mulut sudah terasa asam begini. Gawat! Apalagi jika ia bersikeras meminta pisah, alamat aku akan kehilangan sumber uang yang memadai. Pokoknya aku harus berjuang meyakinkan Astuti lagi, agar ia tak meminta pisah dariku.

[Mas! Kok kamu jadi sulit buat ku hubungi?] Sebuah pesan dari Yuni. Lama aku memilah kalimat yang pantas dilontarkan.

[Iya .... masih menunggu sikon yang bagus. Istriku masih marah nih. Begitu situasi reda, kita akan bersama lagi.] 

[Janji ya, Mas! Kamu tuh perlu lebih tegas pada istrimu. Jika perlu ancam dia untuk dikembalikan ke orang tuanya. Masa istri sudah diberi kemewahan masih tidak tau diri!] Yuni mengirim emot marah. 

Yun, Yun ... andai kau tahu apa yang sedang terjadi. Andai kau tahu segala kemewaahan itu bersumber dari Astuti, bukan diriku. Ternyata perempuan  sepertimu mudah sekali diberi bualan dan menelan semuanya mentah-mentah.

💜

[Mas, aku sudah di depan rumahmu.]

Pesan dari Yuni untuk ketiga kalinya setelah dua panggilannya tak sempat kuangkat. Bergegas aku menuju jendela dan membuka tirai. Memang benar dia telah berdiri di depan pagar yang terkunci. 

Arrgh ... kenapa dia harus harus nekad ke sini? Ini sama artinya dengan mendatangi macan ke kandangnya. Aku sedang mati-matian mengembalikan kepercayaan Astuti agar kembali mencintai apa adanya. Sementara di depan sana, Yuni sedang membawakan aku masalah baru.

Kulirik jam di dinding, hampir pukul 16. 00 Wib, artinya Astuti akan tiba di rumah ini sebentar lagi.

"Kamu kenapa ke sini, Yun?" Kusongsong dia di depan pintu pagar, dan menahannya.

"Ada hal serius yang harus kita bicarakan." Yuni langsung melebarkan pagar dan masuk dengan leluasa.

"Eit, tunggu! Kita bicara di luar saja, kan?" Tangannya yang berayun-ayun, kini kutarik  belakang. Yuni menyentakkan tangan cepat hingga cekalanku terlepas.

"Kau pikir aku sampah, Mas. Yang bisa kau permainkan seenak jidatmu. Aku bukan pengemis yang bisa kau perlakukan seperti ini!" Yuni memberondongku dengan kekesalannya. Suaranya cukup keras, hingga membuatku cemas jika ada tetangga yang mendengar percakapan kami. Kutarik tangannya cepat.

"Ayo masuk! Tapi kita cuma punya waktu beberapa menit saja sebelum Astuti pulang kantor. Ya?" Aku membujuknya masygul.

"Segitu takut kamu dengan istrimu itu, Mas. Tak seperti saat kamu merayu di awal-awal pertemuan kita ...." Bibir merah itu menyeringai dengan sindirannya.

"Untuk saat ini kita backstreet dulu ya, Yun. Sampai Astuti reda kemarahannya dan kita bisa bersama lagi. Kalau perlu aku akan menikahimu secara siri," janjiku dengan suara lirih.

 Soal biaya, beberapa hari ini aku telah menemui seseorang yang bisa memberiku cukup banyak uang dengan menggadaikan mobil. Urusan tebus menebus, biar menjadi urusan Astuti kelak. Selesaikan dulu apa yang ada di depan mata.

"Benarkah?" Mata Yuni membulat, pertanda senang. "Kalau gitu minta uang dong buat memenuhi giziku."

"Maksudmu?" cetusku bingung. Yuni merogoh sesuatu dari tasnya dan mengeluarkan benda yang seingatku adalah sebuah tespack atau alat uji kehamilan. Astaga! Apa maksudnya? Jangan-jangan?!

"Kamu akan punya anak dariku, Mas. Sudah seharusnya kamu segera nikahin aku." Matanya berkedap-kedip menatapku. 

Belum hilang rasa keterjejutanku, samar-samar suara  motor Astuti terdengar memasuki pagar. Haduh, bagaimana ini? Astuti bisa benar-benar mendepakku dari hidupnya. Ayo, berpikir cepat, Busro! 

"Ayo, kamu keluar lewat pintu belakang!" Aku menyeret lengan Yuni, tetapi perempuan itu justru makin membenamkan tubuhnya di sofa. 

"Yuni ... tolonglah kali ini. Nanti secepatnya kuhubungi, aku pasti tanggung jawab, kok." Suaraku terengah-engah karena cemas.

"Lho ada drama apalagi ini?" Kami dikejutkan oleh suara Astuti yang ternyata telah berdiri di ambang pintu. Matanya menatapku dengan tatapan yang membuat ngilu sekujur tubuh.

"Kebetulan Mbak sudah sampai. Jadi semuanya bisa lebih jelas," ujar Yuni santai sambil menyerahkan tespack dan selembar surat keterangan dari bidan. Astuti tidak mengambilnya tetapi matanya menatap dua benda di tangan Yuni dengan seksama. Hening yang menyiksa sungguh mencekam.

"Astuti, dengar dulu. Itu semua belum tentu benar, kan?" Aku pergi ke hadapan Astuti dan merangkum kedua telapak tangannya. Namun ia segera menepis.

"Aku tidak perlu mendengar pembelaan apapun, Mas. Sejak kejadian malam itu, perkawinan kita kuanggap sudah berakhir," selanya tegas. Sesuatu ia ambil dari dalam tas kerjanya. Sebuah amplop panjang berwarna putih dengan kop Pengadilan Agama Kab. Batanghari.

"Apa ini?" tanyaku bingung, sebuah perasaan was-was tiba-tiba menyelinap

"Panggilan sidang pertama. Jangan sampai tidak datang!" jawabnya santai lalu menaiki tangga menuju kamar dengan dagu terangkat.

Aku menatap benda di tanganku dengan nanar. Akhirnya kenyataan ini harus dihadapi .... 

-----------

"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status