Share

BAB 7

#Part_7

Yuni terus bertanya soal surat panggilan sidang yang dilengkapi dengan salinan surat gugatan. Surat gugatan itu bertanggal tepat sehari setelah Astuti batal berdinas dan memergoki keberadaan Yuni di rumah kami.

"Kebetulan dong, Yank. Kita nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi dari dia," celetuk Yuni dengan nada bersemangat. Aku hanya diam tak menanggapi, susah juga menjelaskan keadaan sesungguhnya keluarga kami. Namun tahu atau tidaknya Yuni, tak menjadi soal. Dia boleh tetap berada di sampingku atau memilih pergi. Yang jadi beban pikiran justru sikap tegas Astuti. Aku benar-benar merasa kecolongan dengan perubahan seluruh sikap dan mentalnya. Dan aku ... tidak rela! Tidak rela!

"Nggak masuk dulu, Mas." Yuni menggamit lenganku untuk mengikutinya masuk rumah seperti biasa, tetapi hati ini sama sekali tak ingin. Bayangan Astuti memenuhi benak, tak ingin kehilangan perempuan serba bisa itu. Sejak Astuti menjadi PNS, sejak saat itu pula ia mengambil alih peranku ; memenuhi kebutuhan rumah tangga, menyuplay kebutuhan Emak dan keempat adikku. Lalu apa yang alan terjadi jika perpisahan ini betul-betul terjadi? Astuti ... Astuti, kenapa kamu harus berubah dan tak mau lagi menerimaku apa adanya?

"Lain kali saja, Yun. Aku masih ada urusan lain," tolakku halus. 

"Ya udah ... jaga kesehatan ya, Mas. Oh ya, ingat ... aku bahagia jika kamu berpisah dari perempuan songong itu!' Yuni mengerucutkan bibir. "Aku siap lahir dan batin membuatmu bahagia, Mas."

Aku hanya tersenyum kecut mendengar penuturan itu, lalu melajukan mobil tanpa arah. Pikiranku benar-benar kalut. Apa yang akan terjadi pada sidang pertama dua hari lagi? Apakah aku bisa menyangkal gugatan Astuti yang berisi dua point, yakni: pertengkaran terus menerus dan tidak adanya nafkah dari suami. Apa yang harus kusiapkan untuk menyangkal tuduhan itu? Kenapa kamu harus membawa masalah ini ke khayalak umum, Astuti? 

Mobil terus berjalan dengan kecepatan rendah, menyusuri jalan protokol Gajah Mada yang tak begitu padat. Di sini adalah wilayah perkantoran PemKab, sehingga lampu-lampu utama begitu menyala terang di sepanjang jalan. 

Tunggu! Bukankah itu si Didi? Lelaki itu tengah mengayunkan raketnya di tengah lapangan. Kantor Dinas Pendidikan  rupanya juga menyediakan fasilitas olah raga bagi pegawainya. Aku menghentikan mobil di pinggir jalan, dari sini terlihat jelas pemandangan di halaman kantor tersebut.

Sekitar setengah jam kemudian, lelaki itu terlihat menyudahi kegiatan olah raga nya. Ia mengusap wajahnya dengan selembar handuk dan menenggak air mineral di tangannya. Aku sengaja menghadang tepat di pintu keluar. Mulanya ia tak menyadari maksudku, tetapi begitu tatapan kani bertemu, ia terlihat kaget.

"Pak Busro, kan?" tanyanya terlihat kaget sembari mengulurkan tangan. Aku menatap tajam tanpa mengacuhkan uluran tangannya.

"Saya ada perlu!" jawabku ketus. Ia melihat ke sekeliling dengan seksama. Suasana di kantor itu sudah mulai lengang. Parkiran hanya menyisakan dua motor dan satu mobil saja, mungkin itu mobil bedebah ini.

"Bagaimana kalau kita bicara di sana?" Telunjuknya mengarah pada kursi panjang di depan salah satu ruangan. 

"Di sini saja! Jujur, ada hubungan apa saudara dengan istri saya!?" cecarku tanpa basa basi. Lelaki berperawakan atletis itu terlihat bingung. Ah, itu pasti cuma akting saja.

"Saya tidak paham maksud, Bapak." 

Sialan. Mau main-main sama Busro ini orang. Tanganku bergerak ke arah kerah baju dan menariknya kuat.

"Sabar, Pak. Mari kita bicara dengan kepala dingin." Sekali sentak, terlepas cengkeraman tanganku. Kuat juga tenaganya, rutukku kesal.

"Kalau yang Bapak maksud saya dekat dengan Bu Astuti memang benar, tetapi sebatas rekan kerja saja," ujarnya dengan suara mulai meninggi.

"Kamu bohong! Pasti kamu yang membuat Astuti sekarang jadi berani melawan saya. Bahkan sekarang menggugat saya di PA!"

"Oh ... itu saya kurang tahu menahu, Pak. Beberapa minggu lalu, Bu Astuti minta di rekomendasikan seorang kuasa hukum.

Dan saya kenalkan dengan sepupu saya."

Bugh!

Satu pukulan kulayangkan ke bahunya. Tubuh itu bergeming, justru buku-buku jari ini seolah baru saja menumbur permukaan yang keras. 

"Jangan membuat kegaduhan di sini, Pak." Suaranya berubah keras." Jika saya jadi Bapak, pasti akan intropeksi diri dan tidak melulu menyalahkan orang lain,"

"Apa maksudmu, Bajingan? Kurang kerjaankah hingga sampai ikut campur urusan rumah tangga orang lain?!" Aku dilanda murka. Gara-gara wajah sok baik dan alim ini rumah tanggaku berada di ujung tanduk. Astuti yang dulu baik-baik saja kini jadi istri yang pembangkang.

"Sekarang saya bicara atas nama pribadi, di luar status saya sebagai abdi negara. Pak, andai saja adik atau saudara saya yang ada di posisi Bu Astuti, sudah sejak lama Anda saya seret ke penjara!" ujarnya dengan napas memburu. "Saya sungguh menyayangkan Bu Astuti yang bersedia bertahun-tahun bertahan di samping Anda yang kasar dan tidak bertanggung jawab!"

Emosiku meluap mendengar semua kata-katanya. Spontan kulayangkan lagi kepalan tangan, tetapi entah kapan dia bergerak, tangan Didi sudah lebih dulu menangkap pergelanganku.

"Pulanglah, Pak. Saya doakan Anda masih punya waktu untuk memenangkan hati Astuti." Ia mendorong tanganku cukup keras lalu tanpa kata melangkah pergi ke arah parkiran. 

Ingin rasanya menghujani dia dengan pukulan dan tendangan sebagai pelampiasan rasa marah, tetapi aku sadar diri, tubuh itu jauh lebih bugar dan kuat dariku. Tunggu saja tanggal mainnya Didi, akan kucari tangan lain untuk  mempecundangimu!

💜

"Batalkan gugatan itu, Astuti. Jangan bikin malu keluarga kita. Bukan kan semua orang tau, bahwa kita selama ini baik-baik saja." Malam ini aku masih berusaha mengubah keputusannya. Emak baru saja menelepon, aku harus bisa mempengaruhi pikiran istriku, bagaimana pun caranya. Dasar Emak, dulu saja selalu ikut-ikutan menekan Astuti, sekarang tidak mau kehilangan.

"Aku tidak mau kembali ke belakang, Mas. Semua sudah kupikirkan baik-baik dan matang," sahut Astuti tanpa mengangkat kepala dari berkas-berkas di depannya.

"Kamu gak mikirin anak-anak? Kamu ternyata ibu yang  egois, ya!" Emosiku mulai terpancing. Kulihat Astuti hanya mengedikkan bahu acuh. Kembali tenggelam dalam konsentrasinya.

"Anak-anak butuh bahagia, ibunya juga. Kau lupa, Panji sudah besar dan bisa merasakan semua yang terjadi. Dia paham ibunya selalu terluka. Pernikahan ini tidak sehat dan adil menurutku, Mas." Kini Astuti beralih mendekatiku. Setiap kata-katanya membuat hatiku panas.

"Atau karena Didi itu? Aku baru tahu jika dia tahu setiap inci masalah dalam rumah tangga kita," seringaiku. Kubingkai dagunya dengan tangan. Ia  terlihat ingin berontak, tapi tanganku makin menguat.

"Karena aku bertemu dengan sepupunya yang seorang pengacara, dan aku memang harus jujur menceritakan semua pada kuasa hukumku.  Dan kupikir dia teman yang baik dan pengertian, tak masalah dia ikut mendengar semua."

"Dasar jalang!" Aku menampar pipinya keras. Matanya berkaca-kaca, mungkin menahan sakit akibat telapak tanganku. 

"Ayo puaskan! Mumpung aku masih istrimu, karena sebentar lagi kau tak akan punya kesempatan lagi!" Ia menyodorkan tubuhnya dengan sikap menantang. Emosiku tersulut, kucengkeram lehernya kuat-kuat hingga ia kesulitan bernapas.

"Ayo lawan, Jalang! Katanya sudah jago karate!" Aku kini mendorong tubuhnya ke kursi dengan tetap menekan lehernya.  Wajah berkulit putih itu kini mulai memucat. Napasnya tersengal-sengal tanpa mampu mengeluarkan suara. Hanya sepasang matanya yang memejam, mungkin mulai sesak napas.

"Papa?!" Sebuah suara mengejutkanku. Serta merta aku membalikkan tubuh dan menemukan Panji yang menatapku dengan pandangan aneh. Ada ketakutan, kemarahan dan tanda tanya menjadi satu. Ia melangkah mundur ketika kudekati.

"Papa jahat!" serunya sambil menyingkirkan tubuhku, lalu menghambur ke arah Astuti. 

"Mama ...." Anak lelakiku memeluk ibunya dengan isak tangis. Mengambil selembar tisue dan menyeka sudut bibit ibunya yang mengeluarkan darah. Sementara Astuti menatapku dengan senyum sinis yang menghiasi bibirnya.

"Aku akan ambil air minum untuk Mama jangan coba-coba Papa menyakiti lagi, ya!" Panji menatapku benci sebelum sosoknya berlalu ke dapur.

"Terimakasih,  kamu mempermudah urusanku, Mas," bisik Astuti tepat di samping telingaku. Senyum misteriusnya masih ada di sana. Entah apa maksud ucapannya, aku tak mengerti. Ah, apa sih yang bisa dilakukan Astuti untuk menentangku?

💜

Aku memasuki rumah dengan langkah riang. Pertemuanku dengan Dono didampingi Yuni membuat pikiranku terbuka lebar. Ya, Dono dan Yuni benar, perceraian ini tak membuatku rugi, justru untung besar. Seluruh harta dan isi rekening Astuti akan menjadi harta gono gini di sidang perceraian. Itu artinya aku akan memiliki separo kekayaan Astuti. Busro ... Busro kenapa selama ini sebodoh ini? Perceraian justru akan sangat menguntungkanku. Membuatku bisa kaya raya dalam sekejap.

"Aku sudah siap untuk sidang besok! Bahkan tidak sabar. Kau ingin cerai, kan? Akan kukabulkan dengan senang hati!" Aku tertawa lebar di samping Astuti yang baru saja melipat sajadahnya. Perempuan yang kunikahi duabelas tahun lalu itu hanya menatap datar, tak berniat menanggapi ucapanku.

"Aku sudah mencari calon pembeli rumah ini. Jadi kau tak perlu repot-repot memikirkannya," lanjutku ringan. Astuti menghentikan langkah, lalu menatap 'entah' padaku.

"Mas, mau nuntut pembagian harta gono gini? Padahal tidak satu sen-pun uangmu ada di dalam rumah dan seluruh isinya ini!" 

"Hahaha ...tidak perlu berdebat. Ikuti saja aturan hukum kita. Separo hartamu akan menjadi milikku!" tegasku lagi. Puas sekali melihat ekspresi wajahnya.

"Jangan senang dulu, Mas. Kupastikan kau tak akan menyentuh satu sen-pun milikku, karena ini semua milik anak-anak. Milik Panji dan Rara!"

"Oh ya? Lalu kau bisa apa untuk menentang aturan hukum negeri ini?" Aku tertawa sumbang. Astuti mendekat, lalu berbisik tepat di depan hidungku.

"Kau tak akan mendapat keinginanmu, Mas. Bila waktunya tiba, kau akan kuberitahu sebabnya. Sekarang, silakan menghayal saja dulu. Karena menghayal itu gratis!" Astuti tertawa panjang dan meninggalkanku sendirian dan  tak habis pikir mencerna maksud .ucapannya barusan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status