Share

BAB 4

Part_4

Astuti mempercepat langkah dan memasuki kamar. Aku segera menahan daun pintu dengan tangan sebelum ia menutupnya.

"Aku tidak ingin bertengkar, Mas. Capek! Capek tubuh maupun pikiran," sambutnya dengan suara mulai pelan dan terengah-engah. Paling-paling dia takut telah membuatku marah barusan. Namun ini tidak boleh dibiarkan, bisa tuman!

"Kenapa sekarang ngungkit-ngungkit soal sumber uang di rumah ini? Sudah mulai hitung-hitungan? Mentang-mentang sudah kenal sontoloyo Didi itu dan mulai ikut-ikutan gayanya si Erien! Iya?!" Aku mencengkeram dagu Astuti dan menatap garang padanya.

"Lepas!" Ia mulai terlihat kesakitan dan berusaha mendorong tanganku.

"Jawab dulu!" 

"Lepas! Atau aku akan teriak kencang supaya anak-anak mendengar?!" Bukannya takut, ia malah balik mengancam. Aku mengendorkan cengkeraman dan membuang napas kesal. 

Jika urusan anak memang menjadi rem buatku. Selama ini selalu berusaha tidak berseteru di hadapan Panji dan Rara. Mereka pun lebih banyak bersamaku dibanding Astuti yang sibuk bekerja dari pagi hingga petang. Itulah mengapa aku PD bahwa Astuti tidak mungkin mau berpisah dariku. Anak-anak adalah senjata kuat buatku.

"Belasan tahun aku menerima keadaan ini, Mas. Belasan tahun pula 

aku berusaha memahamimu, mendukungmu, menyiapkan ribuan maaf untukmu. Tetapi kenapa kamu masih tidak terima juga?" Suara Astuti terdengar bergetar.

Sejenak hatiku tersentuh, tetapi cukup hanya beberapa detik saja. Tidak akan kubiarkan hatiku melow dan menjadikan dia tinggi hati. Aku tidak ingin bernasib sama seperti adikku Berno, yang harus mengerjakan seluruh pekerjaan rumah saat istrinya bekerja. Berno boleh-boleh saja mau direndahkan, tapi tidak denganku.

"Tapi jangan berbuat lancang seperti itu lagi ya, Dek. Ingat kebaikanku dulu ... ingat segala dukunganku waktu kamu masih jadi tenaga honorer." Aku sengaja mengungkit soal jasa di masa lalu. Ya, sepuluh tahun lalu, akulah orang yang setia mengantar jemput dia saat bekerja. Kini setelah sukses dalam karier, tentu semua hasil usahaku juga. Rejeki keluarga kan bukan milik salah satu saja, yang pasti itu rejeki bersama. Kalau tidak bersuamikan aku, belum tentu rejeki Astuti sebagus ini. Itu ucapan yang sering ibuku katakan. Dan aku percaya.

"Ya sudahlah, Mas. Aku lelah dan mau istirahat di kamar Rara saja." Ia mengambil selimut dan bersiap keluar. Wah ... jangan sampai Astuti ngambek beneran, bisa gawat ini. Padahal bulan ini kebutuhan duit lebih besar karena sekarang ada Yuni dalam hidupku. Pokoknya perlu dibaik-baikin biar lancar urusannya.

"Dek, maafin segala ucapan Mas tadi, ya. Mas benar-benar menyesal," ucapku sambil menggenggam tangan Astuti, suara kubuat sesedih mungkin. Sementara dia hanya diam saja.

"Jangan tidur di kamar Rara, Dek. Nanti Mas nggak bisa tidur, kesepian," sambungku lagi dengan suara mengiba. 

Namun Astuti hanya memberi isyarat dengan tangannya lalu beranjak ke kamar Rara. Ah bodo amat lah, soal servis menyervis toh sudah kudapatkan dari Yuni. Malah Yuni jauh lebih hebat soal urusan yang satu itu. Tadi kan hanya sandiwara saja.

💜

[ Mas, jadi kita shoping hari, kan? Pokoknya aku udah luluran segala, biar kinclong pas ketemu kamu.] Pesan dari Yuni ketika aku baru bangun. Haduh sampai lupa kalau hari ini janjian sama si seksi itu yang kini terbiasa memanggil dengan sebutan 'Mas'.

[Iya, Sayang. Tunggu saja, aku nggak mungkin lupa.] Balasan kutulis untuk Yuni. Baru juga dua hari tidak ketemu, rasanya dunia berhenti berputar. Makan salah, minum salah, bengong salah ....

Tapi bagaimana bisa nemenin Yuni belanja kalau duit pas-pasan gini? Minggu kemarin Astuti sudah menjatah 500 ribu untuk seminggu, seperti permintaanku untuk tidak dicicil. Namun tentu saja langsung habis begitu mentraktir Yuni dan anak-anaknya di sebuah resto. Hari ini belum jadwalnya minta jatah uang rokok dan pulsa.

Akhir-akhir ini memang Astuti lebih perhitungan, tidak seperti dulu yang gampang memberi saat diminta. Sekarang jika digertak pun tak semempan dulu, sudah berani menjawab dengan ketus. Yah, kalau gini alamat jadi suami takut istri ... amit-amit!

"Mas, aku berangkat ke kantor dulu. Nanti jangan telat untuk antar dan jemput anak-anak." Astuti telah bersiap dengan seragam PNS warna coklat. Ia tampak terburu-buru meski jam belum menyentuh angka enam.

"Ya. Tapi kamu masak gak tadi?"

"Aku buru-buru, Mas. Hari ini katanya ada supervisi, harus siapkan berkas-berkas dulu. Di lemari masih ada mie dan telur. Jaga-jaga kalau aku pulang telat."

"Masa suami disuruh makan mie pagi-pagi, sih?" gerutuku  sambil mengambil handuk untuk bersiap mandi.

"Sesekali, Mas. Aku lembur semalaman dan bangun kesiangan ... mengertilah ...."

"Ya sudah sini, uang buat beli lauk pauk buat semua." Aku mengingatkan seperti biasanya.

Meski menghela napas panjang, Astuti tetap mengeluarkan satu lambar seratus ribu. Memberi pesan ini itu meski kadang hanya masuk telinga kiri keluar kanan.

Setelah mengucap salam, motor Astuti pun meluncur keluar dari pekarangan. Aku masih terus memutar otak, gimana caranya punya duit cukup banyak hari ini. Bertemu Yuni itu ibarat candu, biarlah tidak merokok dan menghemat beli kuota, asalkan bertemu dia.

"Pah, senyum-senyum sendiri, nih?" goda Panji sambil memakai kaus kaki dan sepatu.

"Tunggu di mobil, Panji. Papa mau ganti baju dulu." 

Sepeninggal Panji, kuseret langkah menuju kamar Rara. Untung ketemu ide di saat genting seperti ini.

"Ra, papa  boleh minta tolong, gak?"

"Ada apa, Pah?" sahut anak perempuanku. Konsentrasinya masih berkutat  pada daftar mata pelajaran di dinding.

"Papa boleh pinjam celengan kamu, kan Ra? Papa perlu servis mobil tapi belum ada uang," bisikku  di dekat telinganya. Rara menatap ragu ke arahku, tapi saat melihat keseriusan di wajah ini, gadis kecil itu menggangguk cepat.

"Nanti kalau ada uang, papa ganti ya, Sayang. Dan jangan lupa, gak usah bilang-bilang siapa-siapa apalagi Mama," cetusku serius sambil memegang pipinya. Kepala mungil itu menggangguk tegas.

Segera setelah mengantar Rara dan Panji ke sekolah, aku segera mandi dan berganti pakaian. Tak lupa kubongkar celengan Rara, ternyata isinya lumayan. Kurang lebih ada tujuh ratus ribu di dalam kaleng uang bergambar Frozen itu. Segera kukemasi uang, dan memenuhi janji bersama Yuni.

Hari ini Yuni mengajak berbelanja ke sebuah mall. Aku mengikuti kemanapun ia bergerak. Ternyata ia membeli beberapa kebutuhan pokok dan kebutuhan dapur. Katanya untuk stok menjelang bulan puasa. 

Ketika totalan di kasir, belanjaannya lebih dari enam ratus ribu rupiah. Sempet melongo dibuatnya. Ternyata bahan sembako yang tidak begitu banyak itu lumayan mahal. Selama ini aku tak pernah memikirkan soal belanja dan tetek bengeknya. Semua urusan Astuti,  aku hanya tahu menikmatinya saja.

"Mas, kita liat-liat pakaian di atas, yuk. Kayaknya banyak model yang baru-baru, deh." Yuni tiba-tiba sudah ada di sampingku. What? Belanja baju? Mau bayar pake apa nanti? Duit hanya sisa  satu lembar merah dan beberapa recehan. 

"Eh e ... Yun, besok-besok saja belanja bajunya. Mas mesti jemput anak-anak, nanti terlambat." Aku mengarang alasan. Namun tampaknya perempuan itu kekeuh, matanya tetap melihat ke lantai dua.

"Masih lama kok, Mas. Ini baru jam sebelas, kok," sangahnya.

"Sayang, pokoknya lain kali saja. Mas serius ini. Besok-besok kalau ada waktu, pasti mas ajakin belanja sampai puas!" Aku bersikukuh sambil menarik tangan Yuni menuju parkiran. Mau tak mau Yuni menurut meski wajahnya sedikit manyun.

Selesai mengantar Yuni, aku pamit menjemput anak-anak dan berjanji akan menemuinya lagi setelah itu.

"Loh Papa mau kemana lagi?" Panji berbalik dan menatapku dengan tanya. 

"Pokoknya kalian masuk dan istirahat, nanti papa pulang sorean. Di dalam saja, jangan ke mana-mana," perintahku tegas.

Setelah memastikan anak- anak sudah masuk ke rumah, aku pun tancap gas lagi ke rumah janda idaman hati itu. Ada ritual yang belum terselesaikan. Hmmm ....

💜

Ternyata aku ketiduran di rumah Yuni. Sore hari menjelang petang, baru terbangun. 

"Yun, kenapa tidak dibangunin. Ini sudah kelewat sore," tanyaku kaget.

"Lah, Mas Busro tidurnya nyenyak banget, gak tega banguninnya. Kenapa buru-buru, bukannya istri Mas gak pernah marah?" Yuni mengerling nakal.

"Ya, tapi ...." Aku tak melanjutkan kalimat. Gengsi kalau terus terang bahwa Astuti mulai tegas akhir-akhir ini. Bisa-bisa dibilang lelaki lembek. Padahal tekadku sudah bulat untuk menjadikan dia ratu kedua di rumah kami. Ya, Astuti ratu keuangan, sedang Yuni akan jadi ratu malam-malamku yang penuh gairah. Aih ...aih beruntungnya diriku ....

"Ya udah, aku pulang dulu. Jangan kebanyakan main hape. Jangan sok kecentilan di pesbuk, kamu sekarang sudah jadi miliknya Busro!" 

"Oke! Oke! Siap!" Yuni melingkarkan lengannya di leherku lalu mendaratkan sebuah kecupan. Aku membalasnya penuh gairah. Hingga napas kami terengah-engah.

"Ish udah sana! Nanti malah gak pulang-pulang lagi!" Lengan mulus itu mendorong tubuhku. "Oya aku mau jajan bakso, Mas," lanjutnya sambil menengadahkan telapak tangan. Dengan berat hati satu lembar merah yang tersisa di dompetku telah berpindah tangan. Yuni ... Yuni ... untung lagi cinta!

💜

Pukul tujuh malam, aku baru tiba di rumah. Dengan bersiul-siul kecil langkah kaki memasuki rumah. Namun baru saja satu langkah, sosok Astuti tepat menghadang langkahku.

"Dari mana, Mas?" tanyanya tanpa aba-aba. Aku menggeser tubuh agar bisa lewat, tetapi ia kembali menghadang.

"Kamu apa-apaan menginterogasi suami! Mau durhaka?" Aku melotot.

"Stop membodohiku dengan kata durhaka, Mas! Aku berhak bertanya karena seorang istri. Lagian ini menyangkut soal anak-anak. Mereka seharian tidak makan, padahal aku sudah nitip uang untuk membeli makanan. Mereka umurnya juga baru 8 dan 10 tahun, harusnya ada yang mengawasi saat aku tak di rumah." Kata-kata Astuti meluncur deras. Ingin rasanya menampar mulutnya, tetapi takut ia berteriak. Di depan gang sana, masih banyak orang berkerumun.

"Terus saja salahkan aku! Teruuus!" Aku membentak sambil menatap tajam. 

"Jadi aku harus menyalahkan siapa? Aku bekerja keras di luar, dan Mas memang seharusnya jaga anak-anak. Kecuali Mas Mas memang sibuk bekerja mencari nafkah, itu lain cerita."

"Astuti!" Tak kuasa lagi menahan amarah, aku mengangkat telapak tangan ke atas.

"Apa? Mau nampar? Silakan jika ingin kulaporkan atas dugaan KDRT! Ayo jangan ragu-ragu!" 

"Kamu!" Kutunjuk hidungnya dengan napas memburu dan emosi yang hampir meledak.

"Sudah dua belas tahun aku bersabar, Mas. Itu lebih dari cukup. Jika tetap ingin bersama dalam rumah tangga ini, Silakan berubah!" tandas Astuti tegas. 

Perlahan kuturunkan tanganku. Kutekan amarah yang menggunung. Lebih baik aku tidur dan tidak meladeni semua ucapannya. Toh esok hari pasti akan memaafkanku. Pasti memaafkanku. Aku tahu betul sifatnya.

"Mas! Tunggu!" cetusnya dan membuatku menghentikan langkah. "Aku memang sibuk bekerja, tetapi bukan berarti tuli. Kau memang sangat berarti bagi anak-anak, tetapi sebuah kesalahan besar tidak akan kutolerir!"

"Maksudmu?" sahutku sambil berpikir akan maksud ucapannya. Mungkinkah dia tahu soal Yuni.

"Lupakan ucapanku, Mas. Yang jelas aku bukan wanita berhati baja atau berhati malaikat. Aku ... cuma perempuan biasa. Bisa marah dan kecewa." Lirih tapi tegas dalan setiap kata-katanya. Perlahan kuremas jemari tangan ini. Ternyata aku tidak boleh main-main  lagi menghadapi Astuti. Dia sudah banyak mendapat pengaruh buruk dari luar sana. Ayo berpikir lebih keras Busro! Kau harus bisa mengendalikan istrimu seperti dulu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status