Bab 7
Pov Rina "Heh, diajak ngomong sama mertua, bengong aja! Dasar nggak sopan! Ya udah sana, balik lagi ke belakang! Bereskan semuanya sampai selesai!" bentak ibu mertua memutus lamunanku. "Iya Mbak, jangan lupa cucikan bajuku yang bersih! Pake tangan! Kalau pake mesin cuci suka nggak bersih soalnya!" imbuh Dewi pula, adik iparku, seakan-akan aku adalah pembantu yang dibayar mahal untuk melayani kebutuhannya. "Bajuku juga jangan lupa disetrika, Mbak! Besok pagi mau aku pakai soalnya!" Vita ikut memerintah, seperti putri keraton pada hamba sahayanya. Tapi nggak papa! Aku yakin tak begitu lama lagi kalian pasti akan menangis untuk semua yang sudah kalian lakukan ini! Aku akan pergi dari hidup kalian, sehingga kalian akan merasakan sulitnya tak punya menantu dan kakak ipar sepertiku ... Aku pun segera pergi menuju dapur kembali untuk melakukan pekerjaan yang mereka perintahkan itu. "Ram, beruntung banget hidup kamu kalau kamu jadi menikah dengan Yuni. Kamu bisa punya dua istri yang saling melengkapi. Rina jadi pembantu gratis ibu yang nggak perlu dibayar, sedangkan Yuni jadi mesin ATM yang akan memberikan kamu banyak uang." "Apalagi kalau dia jadi buka cabang baru dan kamu dipercaya mengelolanya. Kamu bisa langsung jadi bos rumah makan tanpa perlu kerja keras lagi. Enak banget jadi kamu, Ram. Pinter nyari istri," puji ibu mertua pada Mas Rama yang bisa kudengar dari balik dinding dapur ini. Mas Rama tertawa lebar mendengar pujian tersebut. "Ibu bisa aja bikin aku tersanjung mendengarnya. Siapa dulu dong Rama? Anak Ibu ... ha ... ha ... ha ...!" Mas Rama kembali tertawa sembari membusungkan dadanya. Aku mencibirkan bibir mendengar perkataan penuh kesombongan dari suamiku itu. Belum tau saja dia kalau aku hanya sedang menunggu waktu. Waktu datangnya karma yang aku yakin akan menimpa setelah dia menikah lagi dengan Mbak Yuni. Dia tak akan lagi menjadi laki laki yang bebas melainkan akan dituntut untuk bekerja dengan sangat keras demi mewujudkan ambisi Mbak Yuni menjadi wanita kaya raya. Aku yakin itu ... Ibu pun ikut tertawa mendengar perkataan putranya itu. "Ibu beruntung sekali punya anak seperti kamu, Ram. Kamu bukan hanya patuh pada orang tua dan menomorsatukan ibu dan adik-adik kamu, tapi kamu juga pandai cari istri yang bisa berguna untuk keluarga ini." "Rina walau pun miskin dan pengangguran, tapi dia berguna menjadi ART gratis ibu. Yuni nanti juga akan berguna jadi tempat ibu makan gratis. Jadi ibu nggak perlu lagi belanja, biar bisa hemat dan uang dari kamu bisa terkumpul semua. Soalnya biaya kuliah Dewi dan Vita makin lama makin mahal. Belum lagi kalau nanti menikah, ibu mau bikin pesta yang sangat meriah. Jadi nggak salah kamu nikah lagi dengan Yuni. Ibu setuju banget, Ram," ucap ibu mertua lagi masih terdengar memuji putranya. "Iya, Mas. Dewi juga bangga punya kakak seperti Mas Rama. Sayang banget sama aku." "Oh ya, kalau nanti Mas udah nikah sama Mbak Yuni, boleh dong aku tinggal bareng kalian. Pengen juga nyicipin tinggal di rumah besar dan mewah seperti punya Mbak Yuni, Mas. Pasti full AC setiap kamar." "Beruntung banget kamu, Mas. Punya calon istri seperti Mbak Yuni. Nanti aku bisa juga dong pinjam mobilnya buat jalan jalan. Iya ngga, Nda?" timpal Dewi pula sambil mengajak Vita berkomentar. "Iya, dong. Vita juga seneng banget dengan rencana pernikahan Mas ini. Pasti enak punya kakak ipar kayak Mbak Yuni. Banyak uangnya," timpal Vita. "Iya, iya. Kalian tenang aja. Mas menikah dengan Yuni juga demi membahagiakan kalian. Percayalah, kalau Mas sudah jadi suami Yuni nanti, mas akan pelan pelan mengambil alih hartanya untuk menyenangkan kalian. Jadi tenang aja ya. Kalian pasti akan hidup lebih enak dari sekarang kalau mas menikah dengan Yuni," jawab Mas Rama pula dengan sombongnya. Lagi-lagi aku hanya tertawa lebar dalam hati. Benar benar tak tahu diri suamiku itu. Dia tak sadar bahwa harapannya itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Apalagi Mbak Yuni kulihat bukan wanita lemah dan bodoh. Dia justru pintar dan ambisius untuk cepat kaya. Bisa bisa kamu bukannya bisa mengambil alih harta benda Mbak Yuni, tapi gajimu yang habis dia minta! Cibirku dalam hati. Sedang asyik aku menguping pembicaraan ibu dan anak itu, tiba-tiba ponselku berdering pelan. Gegas aku membukanya dan tersenyum sangat bahagia saat melihat notifikasi yang baru saja masuk itu. Notifikasi dari m-banking yang beberapa waktu lalu aku urus ke bank, yang memberitahukan kalau barusan di rekeningku telah masuk sejumlah uang sebagai bayaran pertama menjadi seorang konten kreator F* Pro. Nilainya bagiku yang jarang pegang uang ini sangatlah banyak. Hampir lima juta rupiah. Tak sadar, air mata haru dan bahagia pun menetes di pipi. Segera aku mendekati balai-balai di mana tubuh kecil Aldi tengah tertidur karena kecapekan habis menemaniku beres beres tadi dan memeluknya dengan erat. Ya, tak lama lagi aku akan bisa membelikan kebutuhan anakku ini yang selama ini tak bisa aku penuhi dengan baik karena uang belanja yang hanya pas-pasan Mas Rama berikan itu dengan uangku ini. Lihat saja, Mas! Tanpa kamu aku juga bisa mandiri dan menghidupi anakku dengan baik! Tekad ku dalam hati. * "Nina, ini uang yang aku pinjam kemarin, lima ratus ribu rupiah ya. Makasih banyak kamu udah minjamin aku uang, aku jadi bisa bertahan hidup sampai sekarang." "Oh ya ini aku tambahin seratus ribu lagi ya. Itung itung nyicip gaji pertamaku jadi konten kreator. Diterima ya," ucapku pada Nina yang seketika tersenyum sumringah saat aku datang dan mengabarkan jika aku telah mendapatkan gaji pertama sebagai seorang konten kreator. Nina pun memelukku penuh haru. "Masya Allah, semangat ya, Rin, ngontennya. Nggak nyangka aku akhirnya kamu berhasil juga jadi konten kreator. Bangga aku sama kamu," sahut Nina dengan rona bahagia yang kentara di wajahnya. Aku pun balas tersenyum dan memeluknya haru. "Iya, Nin. Makasih support dan doa kamu selama ini, akhirnya aku bisa seperti sekarang." "Kalau gitu aku pulang dulu ya. Mau ngedit video yang mau aku upload ke aplikasi, Nin. Nanti kapan kapan kalau ada waktu dan kamu libur, kita makan di luar ya. Biar aku yang traktir," ujarku. Nina tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. "Oke, Rin. Nanti aku kabari kalau aku lagi off ya. Ya udah, hati hati di jalan," sahut Nina pula sembari berkali kali tersenyum haru. Aku pun balas tersenyum, lalu setelah mengucapkan salam, aku pun menggendong Aldi meninggalkan halaman rumah Nina. "Bu, ini berapa harganya?" tanyaku sambil menunjuk setelan baju dan celana anak seusia Aldi yang tergantung di gantungan baju sebuah toko pakaian anak-anak. "Oh yang ini murah, Mbak. Cuma enam puluh ribu," jawab pemilik toko. "Kalau yang ini?" "Yang ini seratus ribu karena bahannya lebih tebal dan jahitannya lebih rapi. Bisa dicek, Mbak," sahut pemilik toko lagi sambil menurunkan setelan pakaian anak-anak yang barusan aku tunjuk tadi dan memberikannya padaku. Setelah aku cek dan ternyata bahan pakaian tersebut memang lebih bagus dari yang pertama, akhirnya aku pun mengambil setelan yang kedua itu. Selesai membeli setelan pakaian, aku pun membeli pakaian dalam Aldi. Kasihan, pakaian dalamnya sudah banyak yang rusak dan kendor. Gaji Mas Rama memang sebulan delapan juta rupiah, tapi kebutuhan hidup anak dan istrinya jauh dari kecukupan. Jika tidak dengan penghasilan sebagai konten kreator F* Pro ini, mungkin pakaian dalam Aldi tak akan pernah terganti. Usai membeli kebutuhan sehari-hari Aldi, aku pun mengajak buah hatiku itu makan di sebuah restoran cepat saji. Sudah lama Aldi minta makan di sini, tapi karena uang yang tak pernah cukup, sudah barang tentu makan di sini hanya jadi khayalan semata. Alhamdulillah sekarang ada uang hasil ngonten, aku pun bisa makan di restoran ini. Aku memesan dua porsi ayam goreng berikut nasinya dan dua cup es jeruk. Lahap sekali Aldi makan karena sudah lama sekali memang putraku ini ingin makan di sini. Tak apalah kalau sekali kali. Selesai makan, aku pun mengajak Aldi pulang. Cukup happy-happy hari ini. Insya Allah di sambung besok lagi. Malam ini aku akan mengedit beberapa video lagi untuk aku upload besok hari agar dollarku kembali bertambah untuk memenuhi kebutuhanku sendiri dan Aldi ke depannya tanpa perlu dihina dan direndahkan oleh Mas Rama dan keluarganya lagi. Ya. Sambil menunggu karma itu datang menimpa Mas Rama dan keluarganya, aku akan melewati hari hari dengan bahagia meski harus menyembunyikan semuanya dari suami dan ibu mertua.Bab 34POV Rina"Jadi Rama mantan suami Dik Rina?" tanya Pak Wahyu dengan tatapan penuh ke arahku saat kami berhasil meninggalkan Mas Rama yang akhirnya tak mampu berbuat apa-apa setelah aku mengancamnya hendak lapor polisi jika dia tetap dengan perbuatannya ingin memaksaku kembali ke rumahnya.Enak sekali laki-laki itu. Setelah luka yang dia torehkan begitu dalam ke sanubariku, dia ingin kembali lagi padaku seperti dulu? Tidak! Aku tak sebodoh itu untuk mengorbankan apa yang telah aku raih saat ini demi laki-laki yang hanya ingin memanfaatkanku saja itu.Aku menganggukkan kepala lalu menunduk."Iya, Pak. Mas Rama adalah mantan suami saya. Hari ini pernikahan kami berakhir dengan keputusan Pengadilan Agama. Jadi saya dan dia udah nggak ada hubungan apa-apa lagi, Pak.""Oh ya, Pak Wahyu kenal dengan Mas Rama? Mas Rama tadi juga bilang kalau Pak Wahyu sudah memecat dia dari pekerjaan? Apa ... Pak Wahyu adalah mantan atasan Mas Rama saat masih kerja di perusahaan kemarin? Kalau iya, maaf
Bab 33Pov Rama Aku menoleh dan refleks memberi arahan dan aba-aba agar mobil yang baru saja datang, bisa parkir dengan rapi di lahan yang telah disediakan, saat sebuah mobil SUV yang sepertinya cukup familiar di ingatanku, masuk kawasan mall.Ya, aku cukup familiar dengan jenis mobil tersebut dan juga warna serta nopolnya sebab dulu sering melihatnya parkir di area khusus direksi perusahaan di mana aku pernah bekerja kemarin.Mobil itu tepatnya adalah mobil perusahaan yang biasanya dipakai oleh Pak Wahyu, mantan pimpinan di mana aku kerja kemarin untuk transportasi beliau selama menjalankan tugasnya.Hmm ... untuk apa beliau ke mall ini ya? Belanja? Awas saja, kalau dia sudah masuk mall nanti, aku akan mengempeskan ban mobilnya diam-diam supaya dia panik dan kelimpungan memasang sendiri ban serep sebagai upaya balas dendam karena dia dengan seenaknya telah memecatku dari perusahan kemarin hanya karena aku telat masuk kantor!Ya, aku akan balas dendam supaya dia tahu sakitnya hatiku
Bab 32Pov RinaAku sedang menyuapi Aldi makan siang saat mendengar pintu diketuk pelan dari luar. Gegas kuletakkan piring dan meminta Aldi menghentikan makan sejenak untuk melihat siapa yang datang. Mungkin saja Nina, meski aku tak yakin sebab biasanya sahabatku itu akan mengabari lebih dulu bila ingin mampir atau datang ke rumah. Tapi ini tidak. Nina tak memberi tahu sama sekali sehingga aku tak cukup yakin jika yang datang itu adalah sahabatku tersebut.Benar saja, saat aku membuka pintu, aku menemukan seraut wajah kharismatik dengan tatapan teduh yang sesaat membuat jantungku berdesir. Desir yang membuatku terkadang mengutuk diri karena tak mampu menepis kehadirannya meski aku sadar tidak ada gunanya sama sekali.Aku tak tahu apa-apa soal Pak Wahyu, pun kedatangannya aku tahu hanya karena rasa tangung jawab yang begitu besar pada Aldi meski buah hatiku itu sudah lama sembuh dari sakitnya. Lalu apa yang aku harapkan darinya? Tidak ada. Apalagi statusku juga baru saja bercerai dari
Bab 31POV RINAHari ini, aku kembali menuju gedung pengadilan agama yang sama untuk menghadiri sidang ketiga gugatan perceraianku dengan Mas Rama. Hatiku berdebar kencang, berharap hari ini akan menjadi hari terakhir aku menginjakkan kaki di tempat ini. Semoga hari ini putusan cerai itu bisa aku dapatkan juga.Aku menggenggam tangan Nina erat-erat. Seperti dua sidang sebelumnya, sahabatku itu tetap setia menemaniku, menjaga Aldi saat aku harus mengikuti jalannya sidang. Aldi duduk di pangkuannya sambil bermain dengan mainan kecil yang Nina bawa dari rumah.“Tenang aja, Rin. Kalau Rama nggak hadir lagi di sidang hari ini, hakim pasti menjatuhkan putusan cerai. Kamu siap 'kan dengan status baru sebagai single mother nanti?” tanya Nina memberi semangat.Aku menjawab dengan anggukan kepala pasti. “Lebih dari siap, Nin. Semoga hari ini semuanya selesai ya. Doakan aku ya, Nin," ucapku sembari menggenggam tangan Nina.Nina balas menggenggam tanganku lalu kembali memberiku semangat."Pasti.
Bab 30POV RAMA "Mas, gimana? Dapat alamat Mbak Rina?" tanya Dewi saat untuk ke sekian kalinya aku pulang ke rumah setelah seharian pergi ke luar dengan tujuan mencari pekerjaan dan mencari keberadaan Rina. Namun, keduanya hasilnya nihil.Alih-alih dapat pekerjaan baru atau pun alamat baru Rina, aku hanya dapat rasa lelah saja. Ini sudah hari ke sepuluh aku mencarinya dan hasilnya nol besar hingga rasa putus asa pun mulai mendera hatiku."Belum, Wi. Mas belum dapat pekerjaan baru atau pun alamat baru Rina. Mas udah keliling, tapi gek ketemu juga. Mas capek, Wi. Nggak tau lagi harus nyari kemana," keluhku sembari menjatuhkan tubuh di kursi dengan perasaan lelah.Dewi mendesah kecewa lalu mengikuti gerakanku duduk di kursi plastik yang ada di sampingku dengan lemah."Terus gimana dong, Mas? Mana duit kita udah nggak ada lagi. Besok pagi mau makan apa coba? Aku juga udah berusaha nyari-nyari alamat Mbak Rina, tapi belum juga dapat. Padahal aku yakin banget dia pasti udah kaya sekarang,
Bab 29POV RamaAku baru saja melangkahkan kaki ke dalam rumah sewaan kami ketika Dewi dan Vita dengan sumringah menghampiriku. Wajah mereka terlihat penuh harap seolah tak sabar lagi menunggu kabar baik yang kubawa."Mas, gimana? Udah dapat kerjaannya?" tanya kedua adikku itu tanpa menunggu aku benar-benar masuk ke dalam rumah dan mengistirahatkan raga yang telah lelah setelah seharian berkeliling mencari pekerjaan baru.Aku menghela napas panjang, sebelum kemudian menjatuhkan tubuh di kursi plastik yang ada di ruang tengah dengan tetes keringat yang masih membanjiri dahi."Belum, Wi, Vit," jawabku lelah."Mas udah keliling ke beberapa perusahaan, tapi rata-rata minta pengalaman lebih atau udah penuh. Tapi Mas akan coba lagi besok," sambungku lagi.Dewi tampak kecewa mendengar penuturanku, begitu juga Vita dan Ibu yang berbaring di atas karpet tipis yang ada di ruangan ini. "Yaa, Mas ... sampai kapan dong kita akan hidup begini terus, Mas? Aku capek Mas, hidup penuh kekurangan. Huh