"Dek, Bu RT mau apa malam-malam kemari?" Aku bertanya pada Farida. Ia sedang melepas kerudungnya di depan cermin meja rias. Sementara aku sedang bersandar di atas kasur."Oh, besok pagi aku diminta masak, cucunya mau syukuran ulang tahun." Farida menjawab sambil menyisir rambutnya yang hitam tebal."Cucunya yang mana?""Alisa.""Anaknya si Fahri?Farida mengangguk."Berapa tahun emangnya?""Satu tahun.""Dek, dulu si Fahri nikahnya beda seminggu dengan pernikahan kita. Tapi dia sudah lebih dulu punya anak.""Ya, udah waktunya, Mas.""Kita kapan ya, Dek, punya anaknya?"Farida tidak menjawab, masih menyisir rambutnya karena memang panjang. Ya, sudah dua tahun aku dan Farida menikah namun belum ada tanda-tanda Farida hamil."Dek …""Hmmm."Aku beranjak ke bibir ranjang, duduk di belakang Farida yang masih di depan cermin rias."Tanggung jawab, Dek," ujarku.Seketika Farida memutar badannya. "Tanggung jawab apa?"Aku menunjuk bibirku. "Nih!"Farida mengulum senyumnya. Kemudian ia berbali
Aku sampai rumah jam tujuh malam. Selesai mandi dan makan malam, kini aku duduk sendirian di atas kasur dalam kamarku. Farida sedang menonton televisi. Entah apa yang dia tonton, sampai tertawa-tawa.Pikiranku teringat kembali dengan kejadian tadi dengan Rindu. Ia menangis sesenggukan sambil memelukku, tapi tidak mengatakan apapun. Terkadang, wanita adalah makhluk yang paling sulit dimengerti. Mereka selalu mengatakan kalau lelaki adalah makhluk yang tidak peka. Mereka, para wanita, selalu ingin dimengerti oleh lelaki tanpa mereka katakan apa maunya.Mereka inginnya lelaki mengerti tanpa mereka ucapkan apa keinginannya. Apa mereka pikir, lelaki itu punya kemampuan menembus dan membaca hati wanita?Karena Rindu hanya terus menangis tanpa mengatakan apa pun, terpaksa aku mendorong tubuhnya agar tidak terus-menerus memelukku. Setelah berhasil melepaskan pelukannya, aku lalu menaiki motorku. Aku tinggalkan dia sendirian yang masih duduk.Hingga dia berteriak memanggilku yang berlalu de
"Dek, kamu beli mesin cuci?" tanya Mas Risfan, suamiku. Jam 7 malam, ia baru selesai mandi. Mungkin saat mandi tadi ia melihat ada mesin cuci di kamar mandi."Kredit, Mas," jawabku malas.Mas Risfan lalu menghempaskan bobotnya di hadapanku yang sedang menghitung uang hasil jualan hari ini."Mas, mana uang ganti paket waktu itu? Sampai sekarang belum diganti juga?" pintaku setelah selesai menghitung."Nanti, Dek. Uangmu itu masih banyak! Ditambah uang bulanan dari, Mas! Gak usahlah nagih-nagih uang yang cuma 150!" jawabnya enteng."Gak usah nagih gimana? Itu uangku, hasil jualanku, buat putar modal, Mas! Tapi sekarang aku butuh uangnya buat nambahin DP mesin cuci itu!" jelasku."Memang berapa DP nya?" tanyanya lagi."300 ribu, Mas, soalnya lagi ada promo. Uangku buat DP kurang 150, makanya cepat Mas ganti!" sahutku."Pakai uang yang ada dulu, Dek, apa susahnya? Mas juga sudah kasih uang bulanan, pakai itu dulu, Dek!"Aku mendelik. "Ini buat belanja lagi, Mas!""Kalau gak ada uangnya, b
POV Risfan———Kapan lagi kutulis untukmuTulisan tulisan indahku yang duluPernah warnai duniaPuisi terindahku hanya untukmuMungkinkah kau 'kan kembali lagiMenemaniku menulis lagiKita arungi bersamaPuisi terindahku hanya untuk...mu———Suara Malik sedang bernyanyi di iringi petikan gitar, membuatku dan Santo saling menoleh. Baru kali ini aku dan juga Santo mendengar suara Malik. Bagus juga ternyata suaranya.Minggu siang ini, aku dan Santo berniat ke rumahku untuk bermain Ps. Di tengah perjalanan menuju rumahku Santo memintaku untuk mengajak Malik sekalian."Suara lu bagus juga, Lik?" ucap Santo. Pintu kontrakan Malik yang terbuka membuatku dan Santo masuk begitu saja.Malik hanya tersenyum sambil menyimpan gitarnya."Tapi lagunya sedih, lu galau? Lu 'kan jomblo, mana ada jomblo galau?" Santo meledek."Terserah gue lah!""Emang lu galauin sapa, sih?" tanya Santo."Ya, galauin mantannya itu, To!" selaku."Daripada galau, mending lu ikut ke rumah si Risfan, kita tanding Ps!" ajak
"Dek, mau kemana?" Aku bertanya heran. Farida keluar kamar dengan membawa tas pakaian."Ke kampung, Mas," jawabnya."Loh, kok, mendadak? Memangnya ada apa?""Gak ada apa-apa, aku hanya rindu Emak sama Abah, Mas.""Tapi, Dek, ini sudah jam 8 malam, ke sana butuh waktu 4 jam, Mas juga belum izin kalo besok gak masuk ker—""Aku pulang sendiri, Mas!"Aku mengernyit. "Mana berani kamu, Dek?"Farida tak menggubris ucapanku."Dek, pulang besok saja, biar pagi-pagi Mas antar kamu ke terminal," ucapku lagi."Aku bisa sendiri, aku pergi dulu, Mas!" pamitnya seraya keluar.Aku hanya melongo di kursi ruang tamu. Tak seperti biasanya. Jika pergi, Farida selalu meminta izinku dan mencium tanganku, tapi barusan, ia pamit begitu saja. Bukan tak ingin mengejarnya, tapi aku lelah baru pulang dari pabrik karena ada lembur. Kenapa lagi istriku ini?Tiga hari Farida menutup warungnya, terakhir berjualan ialah hari Minggu saat Santo main ke rumah. Kuperhatikan tiga hari kebelakang, ia hanya meringkuk dalam
Aku mematikan layar komputer yang kupakai bekerja. Sudah jam 5 sore, waktunya pulang.Kucabut ponsel yang baru sempat di charge, setelah mati dari siang tadi. Kemudian mengaktifkannya dan kumasukkan ke dalam saku celana.Drrt! Drrt!Baru saja melangkah hendak meninggalkan ruang kerja, tiba-tiba ponsel dalam saku celana bergetar.Aku menghentikan langkah lalu merogoh ponsel. Kulihat, ada inbox masuk di akun F milikku. Rupanya aku belum mematikan data selulernya. Kemudian aku membuka aplikasi berlogo F itu, dan ternyata Rindu yang mengirim.pesan.Dia ini masih tidak berhenti mengejarku. Masih terus saja mengirimku pesan lewat aplikasi, padahal sudah jelas-jelas aku menolaknya tempo hari. Sekarang mengirim apa lagi dia ini?Aku coba membuka pesan yang dikirim olehnya. Mataku membelalak begitu melihat pesan yang dikirim Rindu.Rasanya sesak dadaku. Pesannya berupa sebuah foto yang menampilkan Farida sedang menangis di dada Malik, dan Malik memeluknya.Kuperhatikan foto ini dengan seksama
Aku duduk frustasi di tepi ranjang. Siapa yang sudah mengambil fotoku dengan Rindu, saat Rindu tengah memelukku sambil menangis di Taman Flaminggo lalu mengirimnya pada Farida?Padahal aku sama sekali tidak membalas pelukannya. Aku justru berusaha melepaskan pelukannya. Farida benar-benar sudah salah paham.Aku menangkup wajah dengan kedua tangan. Pikiranku kacau. Tiba-tiba ponselku di atas ranjang bergetar, rupanya panggilan masuk dari Mbak Eka, ku abaikan saja. Hingga Mbak Eka kembali menghubungi beberapa kali dan tetap ku abaikan.Tok tok tok! Tok tok tok!Seseorang setengah menggedor pintu. Hhh … malas aku membukanya, tapi dibiarkan gedorannnya malah semakin keras.Gontai aku melangkah, lalu membukakan pintu. Rupanya, Mila. Mau apa dia mengetuk pintu seperti orang keset*nan seperti tadi."Apa sih? Berisik!"Bugghh!Tiba-tiba saja Mila mendaratkan tinju di perutku, membuatku terjatuh karena tidak siap dengan tinju darinya. Memang sudah tidak waras dia ini.Aku hanya mampu memegangi
Istriku Yang Mulai Mandiri***Aku tidak dapat fokus bekerja. Pikiranku terpecah kemana-mana. Kalau saja tadi Pak Budi tidak menarikku, sudah kuhajar si Malik itu, tak peduli dia temanku selama ini, jika dia berani mendekati istriku, aku tidak terima.Disela bekerja, aku mencuri-curi waktu untuk melihat ponsel. Melihat WhatsApp Farida yang ternyata masih belum aktif. Hanya ada pesan dari Mbak Eka, namun aku tak membukanya, malas. Kusimpan kembali ponsel diatas meja kerja, dan melanjutkan pekerjaanku yang masih banyak.Bel istirahat berbunyi. Secepatnya aku keluar dari ruanganku dan menuju area gudang untuk mencari Malik. Benar saja, ia baru keluar dari gudang penyimpanan bahan. Setengah berlari aku mendekat ke arahnya. Ia yang tidak menyadari kedatanganku, memudahkanku untuk langsung mencengkram kerah kemejanya, dan menyeretnya ke tembok."Lu bawa istri gue kemana?" tanyaku tanpa basa-basi. Membuat Malik terhenyak.Belum kudapat jawaban dari Malik, seseorang menarik kerah kemejaku da