Share

Bab 5. Gadis yang Unik

Dua bulan setelah aku dan Tyson berkunjung ke rumah Pak Nugi, terjadi kontak senjata lagi antara TNI dan Polri dengan kelompok separatis. Salah satu rekan kami bahkan gugur dalam inseiden tersebut, dan kelompok seperatis bisa menguasai markas kami di pedalaman. Kami yang terdesak mundur kemudian menghubungi ke Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Jayapura. Bantuan segera datang beberapa jam setelahnya. Sebuah pesawat kecil yang mendarat membawa pasukan yang diturunkan khusus untuk membantu kami.

Yang membuatku tercengang adalah sosok Pak Nugi yang berada di antara mereka. Rupanya beliau memilih memimpin langsung pasukan bantuan yang dikirim dari Jayapura. Mungkin karena beliau merasa sudah lebih menguasai medan karena pernah memimpin markas kami di sini.

Malam hari yang mencekam gelap gulita tanpa cahaya ketika markas terbaru kami kembali menerima teror penembakan dari arah hutan belantara Papua. Insting prajurit kami segera muncul. Aku dan rekan-rekanku, termasuk juga Pak Nugi langsung mengambil posisi siaga saat itu juga. Memang salah satu keahlian kelompok separatis di Papua adalah mereka dapat bergerak pasti dalam kegelapan, mereka sangat menguasai kontur hutan belantara Papua.

Beberapa menit setelah kontak senjata, kami tak lagi mendengar bunyi tembakan. Sepertinya mereka pun memilih tak melanjutkan kontak senjata. Aku menarik napas lega, paling tidak kami masih bisa bertahan hingga pagi hari. Hal yang selalu kami syukuri setiap harinya ketika bertugas di sini adalah ketika kami masih bisa melihat mentari pagi hari, apalagi setelah kontak senjata dengan kelompok separatis.

Aku baru saja hendak memejamkan mataku karena kantuk yang menghinggapiku setelah lelah seharian ini ketika kembali keudengar dua kali suara tembakan dari arah hutan. Mataku kembali melek dan memasang posisi siaga.

“Komandan tertembak!! Komandan tertembak!! Cepat cari bantuan!” Suara pekikan beberapa rekanku dari arah luar membuat terkejut. Aku dan beberapa rekanku langsung mengambil posisi untuk melindungi rekan kami yang lain yang sedang menolong korban yang tertembak.

Sekilas dalam kegelapan aku melihat sosok berkharisma itu tergeletak tak berdaya, sedangkan beberapa rekan yang lain mmeberikan tindakan pertolongan pertama.

‘Ya Allah! Pak Nugi tertembak!’ teriakku dalam hati.

Kami masih beberapa kali berbalas tembakan ke arah hutan, dan baru berhenti ketika fajar mulai menyingsing. Di tengah keletihan luar biasa, aku masih melihat rekan-rekanku masih terus memberi tindakan pertolongan pada Pak Nugi yang sepertinya kondisinya sudah semakin lemah.

Pesawat TNI datang beberapa saat kemudian untuk mengevakuasi Pak Nugi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

“Randy, ikutlah ke dalam pesawat,”  ucap pria paruh baya itu terbata-bata memintaku untuk menemaninya. Aku mengangguk dan tanpa membuang-buang banyak waktu, aku pun ikut masuk ke dalam kabin pesawat yang akan membawa Pak Nugi ke rumah sakit.

Pesawat segera mengudara setelah Pak Nugi telah berada di dalam, kami semua memang harus terbiasa bergerak cepat. Aku dan salah satu rekanku terus menunggu Pak Nugi di sampingnya di dalam pesawat yang mengangkut kami. Sepertinya Pak Nugi sudah sangat banyak kehilangan darah. Meski pun ia masih tetap sadar, namn kondisinya terlihat sangat lemah, bahkan semakin lemah.

“Randy ... seper ... tinya ... Bapak tidak ... akan ... bertahan ....” Suara Pak Nugi terbata-bata membuatku segera menggenggam tangannya.

“Siap, Pak! Bapak harus bertahan! Bapak pasti bertahan!” ucapku memberinya semangat. Rekanku pun berucap hal yang sama di sampingku.

“Boleh ... kah ... Bapak meminta sesuatu ... padamu? Bapak mohon ... kamu ... bisa ... mengabulkan ... permintaan terakhir Bapak.” Suara nya terdengar lemah.

“Siap! Saya akan mendengarkan!” Air mataku mulai menetes, aku merasa kondisi beliau semakin menurun.

“Menikahlah dengan Dewi putriku ... Bapak ... percaya padamu ... hanya kamu ... yang Bapak yakini ... bisa ... melindungi dan ... menjaga Dewi.”

Aku terkesiap. Otakku harus kupakai berpikir cepat, kurasa kami sedang berkejaran dengan waktu saat ini.

“Siap! Tapi saya sudah berkeluarga, Pak!”

“Nikahi ... Dewi ... secara ... siri. Dia tak akan menuntut apapun padamu. Dia ... hanya perlu status dan sosok untuk ... tempatnya berlindung. Bapak ... Bapak ... sudah tak bisa lagi mengaja dan melindunginya dari ... dari ....” Napas Pak Nugi semakin tersengal-sengal.

Aku tak lagi menjawab, buru-buru kubetulkan selang oksigen yang terpasang di hidungnya agar ia bisa menghirup oksigen lebih baik lagi.

“Berjanjilah padaku!” Tiba-tiba saja pria itu memegang tanganku dan menatapku memohon.

Ya Allah! Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku memang dididik untuk mengikuti semua perintah atasanku, tapi untuk hal seperti ini, apakah aku juga harus mematuhi perintahnya?

Namun ternyata aku memilih menganggguk, dan menjawab permintaan Pria itu sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri.

“Siap, Pak! Saya bersedia dan saya berjanji!” ucapku dengan lantang dan pasti.

***

Pak Nugi dirawat intensif di Ruang ICCU Rumah Sakit TNI sesampainya di Jayapura. Beliau sama sekali tak boleh dijenguk selama menjalani perawatan intensif. Aku dan rekanku masih mendapat mandat untuk berada di Jayapura dan mengurus beberapa laporan terkait kontak senajata kemarin di Kantor Pusat Jayapura. Sesekali aku mengunjungi Rumah Sakit dan terus memantau perkembangan kondisi Pak Nugi. Dewi, putri Pak Nugi pun selalu terlihat berada di sekitar ruangan ICCU. Rupanya gadis itu pun tak pernah meninggalkan sang ayah.

Aku selalu mencuri-curi pandang pada gadis itu. Ternyata benar apa yang dikatakan Tyson tempo hari, meski gadis itu tuna netra, tapi ia adalah gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan bercahaya, matanya pun kelihatan bersinar tajam meski pun sebenarya ia tak bisa melihat. Seorang asistennya terus berada di sampingnya dan menuntunnya melakukan apapun. Menatapnya dari jauh membuatku mengingat akan janjiku pada ayah gadis itu. Aku telah berjanji pada Pak Nugi untuk menikahinya.

Dalam hati aku berdoa agar Pak Nugi bisa segera sadar dari komanya, dan aku akan membicarakan hal ini kembali padanya. Keadaan mendesak saat di pesawat waktu itu membuatku berjanji padanya tanpa berpikir panjang lagi. Padahal aku sadar akan statusku yang telah menikah. Lagipula, profesiku sebagai aparat TNI tak memperbolehkanku untuk memiliki istri lebih dari satu, dan kukira Pak Nugi sangat tau itu. Maka aku berharap beliau segera sadar agar aku bisa menanyakan kembali maksud dari permintaan beliau waktu itu.

Namun harapanku tinggallah harapan. Ternyata Pak Nugi berpulang pada hari ketiga ia dirawat. Kami semua berduka, Pak Nugi telah gugur akibat kontak senjata dengan kelompok separatis yang dulu pernah ditaklukkannya dan membawanya ke jabatan yang lebih tinggi.

Aku terenyuh ketika melihat Dewi menangis tergugu di kursi depan Ruang ICCU ditemani oleh asistennya. Bahu gadis itu terlihat naik turun dengan posisi kepala tertunduk. Kurasa merasakan kesedihan yang begitu mendalam dengan kepergian ayahnya. Aku dan beberapa rekanku yang berdiri terpaku di lorong rumah sakit menepi saat ia dan asistennya berjalan melewati kami, sepertinya ia hendak menuju ke parkiran mobil. Mungkin akan pulang ke rumahnya dan menunggu jenazah Pak Nugi di sana.

Gadis itu berhenti ketika berada tepat di hadapanku, sebelumnya kulihat sang asisiten membisikkan sesuatu padanya. Aku terkejut ketika ia mengarahkan wajahnya padaku, ia benar-benar tak terlihat seperti seorang tuna netra. Dewi seolah menatapku tajam.

“Apa Anda yang bernama Randy?” tanyanya tegas. Kurasa gadis ini mewarisi karakter tegas ayahnya.

“Ya, benar. Saya Randy,” jawabku.

“Ayah saya menitipkan beberapa pesan sebelum meninggal tadi. Kurasa saya perlu bicara dengan Anda setelah proses pemakaman Ayah selasai.”

“Apa kamu bisa melihatku?” Aku tak dapat lagi menahan pertanyaan di benakku.

“Kurasa Anda sudah tau kalau saya tuna netra. Bagaiamana mungkin saya bisa melihat Anda?”

“Lalu bagaimana kamu tau ini aku dan aku ada di sini.”

“Asisitenku bisa membaca dengan jelas papan nama di dadamu,” jawabnya tegas, kemudian melangkah pergi.

‘Gadis yang unik,’ batinku tersenyum memandangi punggunggnya yang berjalan menjauh.

Bersambung.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Mia Harjoni
alasan klise buat poligami.. kalo si Dewi ga cantik, sexy dan mulus, mana mgk mau nikahin.
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Pak nugi kok egois bgt sh? Ksh aja anaknya ke emaknya biar dia yg ngurus malah suruh org lain urus anaknya. Bikin rmh tangga org lain hancur aj
goodnovel comment avatar
PIPIT PUSPITASARI
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status