Dua bulan setelah aku dan Tyson berkunjung ke rumah Pak Nugi, terjadi kontak senjata lagi antara TNI dan Polri dengan kelompok separatis. Salah satu rekan kami bahkan gugur dalam inseiden tersebut, dan kelompok seperatis bisa menguasai markas kami di pedalaman. Kami yang terdesak mundur kemudian menghubungi ke Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Jayapura. Bantuan segera datang beberapa jam setelahnya. Sebuah pesawat kecil yang mendarat membawa pasukan yang diturunkan khusus untuk membantu kami.
Yang membuatku tercengang adalah sosok Pak Nugi yang berada di antara mereka. Rupanya beliau memilih memimpin langsung pasukan bantuan yang dikirim dari Jayapura. Mungkin karena beliau merasa sudah lebih menguasai medan karena pernah memimpin markas kami di sini.
Malam hari yang mencekam gelap gulita tanpa cahaya ketika markas terbaru kami kembali menerima teror penembakan dari arah hutan belantara Papua. Insting prajurit kami segera muncul. Aku dan rekan-rekanku, termasuk juga Pak Nugi langsung mengambil posisi siaga saat itu juga. Memang salah satu keahlian kelompok separatis di Papua adalah mereka dapat bergerak pasti dalam kegelapan, mereka sangat menguasai kontur hutan belantara Papua.
Beberapa menit setelah kontak senjata, kami tak lagi mendengar bunyi tembakan. Sepertinya mereka pun memilih tak melanjutkan kontak senjata. Aku menarik napas lega, paling tidak kami masih bisa bertahan hingga pagi hari. Hal yang selalu kami syukuri setiap harinya ketika bertugas di sini adalah ketika kami masih bisa melihat mentari pagi hari, apalagi setelah kontak senjata dengan kelompok separatis.
Aku baru saja hendak memejamkan mataku karena kantuk yang menghinggapiku setelah lelah seharian ini ketika kembali keudengar dua kali suara tembakan dari arah hutan. Mataku kembali melek dan memasang posisi siaga.
“Komandan tertembak!! Komandan tertembak!! Cepat cari bantuan!” Suara pekikan beberapa rekanku dari arah luar membuat terkejut. Aku dan beberapa rekanku langsung mengambil posisi untuk melindungi rekan kami yang lain yang sedang menolong korban yang tertembak.
Sekilas dalam kegelapan aku melihat sosok berkharisma itu tergeletak tak berdaya, sedangkan beberapa rekan yang lain mmeberikan tindakan pertolongan pertama.
‘Ya Allah! Pak Nugi tertembak!’ teriakku dalam hati.
Kami masih beberapa kali berbalas tembakan ke arah hutan, dan baru berhenti ketika fajar mulai menyingsing. Di tengah keletihan luar biasa, aku masih melihat rekan-rekanku masih terus memberi tindakan pertolongan pada Pak Nugi yang sepertinya kondisinya sudah semakin lemah.
Pesawat TNI datang beberapa saat kemudian untuk mengevakuasi Pak Nugi ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.
“Randy, ikutlah ke dalam pesawat,” ucap pria paruh baya itu terbata-bata memintaku untuk menemaninya. Aku mengangguk dan tanpa membuang-buang banyak waktu, aku pun ikut masuk ke dalam kabin pesawat yang akan membawa Pak Nugi ke rumah sakit.
Pesawat segera mengudara setelah Pak Nugi telah berada di dalam, kami semua memang harus terbiasa bergerak cepat. Aku dan salah satu rekanku terus menunggu Pak Nugi di sampingnya di dalam pesawat yang mengangkut kami. Sepertinya Pak Nugi sudah sangat banyak kehilangan darah. Meski pun ia masih tetap sadar, namn kondisinya terlihat sangat lemah, bahkan semakin lemah.
“Randy ... seper ... tinya ... Bapak tidak ... akan ... bertahan ....” Suara Pak Nugi terbata-bata membuatku segera menggenggam tangannya.
“Siap, Pak! Bapak harus bertahan! Bapak pasti bertahan!” ucapku memberinya semangat. Rekanku pun berucap hal yang sama di sampingku.
“Boleh ... kah ... Bapak meminta sesuatu ... padamu? Bapak mohon ... kamu ... bisa ... mengabulkan ... permintaan terakhir Bapak.” Suara nya terdengar lemah.
“Siap! Saya akan mendengarkan!” Air mataku mulai menetes, aku merasa kondisi beliau semakin menurun.
“Menikahlah dengan Dewi putriku ... Bapak ... percaya padamu ... hanya kamu ... yang Bapak yakini ... bisa ... melindungi dan ... menjaga Dewi.”
Aku terkesiap. Otakku harus kupakai berpikir cepat, kurasa kami sedang berkejaran dengan waktu saat ini.
“Siap! Tapi saya sudah berkeluarga, Pak!”
“Nikahi ... Dewi ... secara ... siri. Dia tak akan menuntut apapun padamu. Dia ... hanya perlu status dan sosok untuk ... tempatnya berlindung. Bapak ... Bapak ... sudah tak bisa lagi mengaja dan melindunginya dari ... dari ....” Napas Pak Nugi semakin tersengal-sengal.
Aku tak lagi menjawab, buru-buru kubetulkan selang oksigen yang terpasang di hidungnya agar ia bisa menghirup oksigen lebih baik lagi.
“Berjanjilah padaku!” Tiba-tiba saja pria itu memegang tanganku dan menatapku memohon.
Ya Allah! Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan? Aku memang dididik untuk mengikuti semua perintah atasanku, tapi untuk hal seperti ini, apakah aku juga harus mematuhi perintahnya?
Namun ternyata aku memilih menganggguk, dan menjawab permintaan Pria itu sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri.
“Siap, Pak! Saya bersedia dan saya berjanji!” ucapku dengan lantang dan pasti.
***
Pak Nugi dirawat intensif di Ruang ICCU Rumah Sakit TNI sesampainya di Jayapura. Beliau sama sekali tak boleh dijenguk selama menjalani perawatan intensif. Aku dan rekanku masih mendapat mandat untuk berada di Jayapura dan mengurus beberapa laporan terkait kontak senajata kemarin di Kantor Pusat Jayapura. Sesekali aku mengunjungi Rumah Sakit dan terus memantau perkembangan kondisi Pak Nugi. Dewi, putri Pak Nugi pun selalu terlihat berada di sekitar ruangan ICCU. Rupanya gadis itu pun tak pernah meninggalkan sang ayah.
Aku selalu mencuri-curi pandang pada gadis itu. Ternyata benar apa yang dikatakan Tyson tempo hari, meski gadis itu tuna netra, tapi ia adalah gadis yang sangat cantik. Kulitnya putih bersih dan bercahaya, matanya pun kelihatan bersinar tajam meski pun sebenarya ia tak bisa melihat. Seorang asistennya terus berada di sampingnya dan menuntunnya melakukan apapun. Menatapnya dari jauh membuatku mengingat akan janjiku pada ayah gadis itu. Aku telah berjanji pada Pak Nugi untuk menikahinya.
Dalam hati aku berdoa agar Pak Nugi bisa segera sadar dari komanya, dan aku akan membicarakan hal ini kembali padanya. Keadaan mendesak saat di pesawat waktu itu membuatku berjanji padanya tanpa berpikir panjang lagi. Padahal aku sadar akan statusku yang telah menikah. Lagipula, profesiku sebagai aparat TNI tak memperbolehkanku untuk memiliki istri lebih dari satu, dan kukira Pak Nugi sangat tau itu. Maka aku berharap beliau segera sadar agar aku bisa menanyakan kembali maksud dari permintaan beliau waktu itu.
Namun harapanku tinggallah harapan. Ternyata Pak Nugi berpulang pada hari ketiga ia dirawat. Kami semua berduka, Pak Nugi telah gugur akibat kontak senjata dengan kelompok separatis yang dulu pernah ditaklukkannya dan membawanya ke jabatan yang lebih tinggi.
Aku terenyuh ketika melihat Dewi menangis tergugu di kursi depan Ruang ICCU ditemani oleh asistennya. Bahu gadis itu terlihat naik turun dengan posisi kepala tertunduk. Kurasa merasakan kesedihan yang begitu mendalam dengan kepergian ayahnya. Aku dan beberapa rekanku yang berdiri terpaku di lorong rumah sakit menepi saat ia dan asistennya berjalan melewati kami, sepertinya ia hendak menuju ke parkiran mobil. Mungkin akan pulang ke rumahnya dan menunggu jenazah Pak Nugi di sana.
Gadis itu berhenti ketika berada tepat di hadapanku, sebelumnya kulihat sang asisiten membisikkan sesuatu padanya. Aku terkejut ketika ia mengarahkan wajahnya padaku, ia benar-benar tak terlihat seperti seorang tuna netra. Dewi seolah menatapku tajam.
“Apa Anda yang bernama Randy?” tanyanya tegas. Kurasa gadis ini mewarisi karakter tegas ayahnya.
“Ya, benar. Saya Randy,” jawabku.
“Ayah saya menitipkan beberapa pesan sebelum meninggal tadi. Kurasa saya perlu bicara dengan Anda setelah proses pemakaman Ayah selasai.”
“Apa kamu bisa melihatku?” Aku tak dapat lagi menahan pertanyaan di benakku.
“Kurasa Anda sudah tau kalau saya tuna netra. Bagaiamana mungkin saya bisa melihat Anda?”
“Lalu bagaimana kamu tau ini aku dan aku ada di sini.”
“Asisitenku bisa membaca dengan jelas papan nama di dadamu,” jawabnya tegas, kemudian melangkah pergi.
‘Gadis yang unik,’ batinku tersenyum memandangi punggunggnya yang berjalan menjauh.
Bersambung.
PoV Hannan.“Izinkan aku mendua, Bun. Aku berjanji akan bersikap adil seadil-adilnya.” Aku terkesiap, tega-teganya lelaki ini berkata seperti itu padaku. Dadaku merasa sesak oleh permintaan tak masuk akalnya.“Ceraikan aku!!!” ucapku dengan nafas tersengal.Sakit sekali rasanya mendengar permintaan suami untuk yang meminta izin untuk mendua. Masih punya perasaan kah lelaki di hadapanku ini hingga tega meminta izin untuk mendua? Seolah itu hanya permintaan biasa, padahal ada goresan luka di dalam hatiku mendengar permintaannya itu.“Aku tak akan menceraikanmu!”Aku baru saja hendak menjawabnya ketika Zayn putra bungsuku tiba-tiba saja sudah muncul di depan hadapanku.“Ayah? Ayah pulang? Yeee Ayah pulang!” seru balita itu sambil menyerbu ke dalam dekapan ayahnya. Aku berusaha tersenyum pada Zayn ketika bocah itu menatapku berbinar-binar dalam dekapan ayahnya.“Bunda napa nggak bangunin Zayn tadi? Kan Zayn bica main lama-lama cama ayah,” protesnya padaku.“Bunda baru aja mau bangunin Ab
Aku mengelak dan semakin menjauhkan diriku dari Bang Randy ketika lelaki itu menggeser duduknya lebih mendekat padaku. Ia menetapku tajam.“Percayalah padaku, Bun. Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku akan mengajukan pengunduran diri dari TNI, dan mengurus usaha ayah Dewi. Dengan begitu aku bisa pulang dan bertemu Bunda dan anak-anak kapanpun aku rindu.”Hatiku semakin terhimpit oleh sesaknya luapan perasaanku.“Abang pikir aku boneka yang tak punya perasaaan? Abang pikir aku masih akan merindukanmu setelah kamu menduakanku? Hebat sekali perempuan itu bisa mengubahmu secepat ini, Bang? Kamu sudah lupa bagaimana perjuanganmu dulu demi lulus menjadi anggota TNI dan mewujudkan cita-citamu? Kamu berubah, Bang! Aku tak mengenalimu lagi.”“Bun, keadaan berubah setelah aku merasakan beratnya tugas di pedalaman. Aku harus loyal pada kesatuanku sedangkan hatiku kadang memberontak terisi kerinduan pada keluargaku. Kurasa ini adalaha jalan keluar bagi kita, Bun. Aku akan membantu Dewi men
Pov Randy.Fajar belum lagi menyingsing ketika aku terpaksa harus kembali meninggalkan istriku Hannan dan kedua putraku di rumah sederhana peninggalan mendiang orangtua Hannan yang sudah kami tinggali bersama selama 8 tahun. Kedua putraku, Zaid dan Zayn bahkan masih terlelap dalam tidurnya ketika aku sudah harus berangkat lagi. Meski masih merasa berat meninggalkan mereka bertiga, namun statusku yang masih sebagai aparat TNI aktif mengharuskanku untuk tetap menjunjung tinggi kedisiplinan.Sebenarnya kepulanganku kali ini benar-benar menyisakan masalah baru dalam hubunganku dengan Hannan. Bagaimana tidak, wanita yang sudah kunikahi selama 8 tahun ini meminta bercerai dariku. Aku paham, keputusanku untuk menduakannya dengan menikahi Dewi pastilah melukai hatinya. Tapi justru itulah aku rela datang walau cuma beberapa jam untuk bertemu langsung dengannya dan menjelaskan semuanya, sekaligus meminta izinnya untuk hubunganku dengan Dewi. Namun ternyata Hannan tetap tak bisa menerima semua a
Pov Dewi.Kepergian mendadak ayahku yang menjadi korban kontak senjata dengan kelompok separatis di pedalaman membuatku sangat terpukul. Meski sedari kecil ayah sudah mendidikku untuk selalu siap kehilangannya sewaktu-waktu karena tugas beliau sebagai seorang aparat TNI. Namun, tetap saja kepergiannya membuatku kehilangan. Ayahku adalah sosok yang sangat luar biasa bagiku, aku tumbeh besar bersamanya, tanpa kasih sayang ibuku. Ayah dan Ibuku telah berpisah sejak aku kecil. Ibuku meninggalkanku dalam asuhan ayah setelah mereka bercerai. Bukan tanpa sebab, Ibuku tak mau mengasuhku sebab kabarnya beliau malu punya anak buta. Ya, aku memang buta sejak dilahirkan. Aku tak pernah melihat indahnya dunia ini.Satu hal yang patut kusyukuri adalah Ayahku yang meski disibukkan dengan pekerjaannya sebagai aparat Negara, beliau tetap memberi perhatian penuh padaku. Bahkan semua orang-orang yang ada di sekelilingku adalah orang-orang yang dipilh ayah secara langsung. Ayah seolah mempunyai insting t
Pemakaman ayahku berlangsung khidmat dengan prosesi militer. Meski tak dapat melihat, tapi aku tau begitu banyak yang melepas kepergian ayahku di taman makam pahlawan. Banyak sekali yang datang mendekat dan menggenggam tanganku memberi kekuatan, meski aku hanya mengenal beberapa orang di antaranya lewat suara mereka, namun dukungan yang terus mengalir padaku membuatku sedikit terhibur.Ibuku pun hadir di antara para pelayat, beliau langsung terbang dari Jakarta bersama suaminya beberapa saat setelah mendengar kabar meninggalnya ayahku. Om Ardi, pamanku, adik kandung satu-satunya dari ayahku juga datang bersama dengan istrinya dari Jakarta. Itu semua membuatku merasa tak sendirian di tengah kegelapan dan kesedihan karena kepergian ayah.Lalu ketika kami semua sudah kembali ke rumah, tak kusangka ibuku justru mnegatakan hal-hal yang membuat emosiku naik. Tega sekali wanita yang telah melahirkanku itu langsung membahas semua perusahaan milik ayah di Jakarta pada saat kami masih dalam sua
Pov Randy.Setelah pemakaman Pak Nugi di Taman Makam Pahlawan, aku dan beberapa rekanku masih kembali ke rumah beliau bermaksud untuk berpamitan sebelum kami kembali ke tempat tugas. Aku sendiri punya niat tersendiri ke sana, aku harus bertemu Dewi. Tadi pagi ia mengatakan ada hal yang harus dibicarakannya denganku seusai pemakaman ayahnya.Beberapa kerabat Pak Nugi memang masih terlihat berada di rumahnya, namun aku tak melihat sosok gadis tuna netra itu. Dengan memberanikan diriku, aku mencoba masuk kedalam rumah besar dan mewah milik Pak Nugi. Aku sudah pernah ke rumah ini bersama Tyson beberapa bulan yang lalu, jadi aku sudah tak asing lagi dengan letak ruangan di rumah Pak Nugi.Aku menghentikan langkahku ketika mendengar percakapan serius di ruang keluarga. Entah mengapa firasatku mengatakan aku harus menguping pembicaraan ini, aku memilih diam-diam menyimaknya dari balik tembok. Ternyata ibu dan ayah tiri Dewi sedang berusaha membujuk putrinya untuk ikut bersama mereka ke Jakar
PoV Hannan.Hari-hariku tetap kulalui seperti biasa dengan kedua putraku. Sejak keberangkatan terakhir Bang Randy subuh itu, hanya sekali ia menghubungiku melalui pesan singkat yang mengabarkan jika ia sudah tiba kembali di Papua namun aku memilih tak membalas pesannya. Pada salah satu sahabatku di perkumpulan Ibu-Ibu Persit – sebutan bagi istri para aparat TNI – kuceritakan tentang keadaanku sekarang serta niatku untuk menggugat cerai Bang Randy.Semua foto-foto dan video yang sampai sekarang belum kuketahui siapa yang mengirimkannya di ponselku waktu itu kusimpan rapi untuk kijadikan bukti. Tekadku sudah bulat, hampir setiap malam setelah Bang Randy kembali ke Papua aku bangun dan mendirikan salat di sepertiga malam untuk meminta petunjuk pada Yang Kuasa tentang kondisi rumah tanggaku. Tak terhitung sudah berapa tetes air mataku yang tumpah ruah di atas sajadah di dalam kesunyian malam demi mendapatkan petunjuk dari Sang Penciptaku. Lalu semakin hari, hati terasa makin dimantapkan u
“Maaf jika saya datang tiba-tiba datang kemari Mbak Hannan. Perkenalkan saya Dewi,” ucapnya setelah duduk di ruang tamu sederhana kami.“Ya, saya cukup terkejut dengan kedatangan Anda,” jawabku tak ingin menyembunyikan keterkejutanku.“Apa Mbak Hannan tau siapa saya?” Ia langsung menoleh dan menatap tepat ke arahku setelah aku bersuara tadi. Tatapannya membuatku sedikit merinding. Bukankah ia buta? Tapi mengapa ia seilah sedang menatap tajam padaku?“Saya tau. Ada keperluan apa Anda datang ke kediaman saya?” Aku mengulangi pertanyaanku. Tak ada niatku sama sekali untuk menyuguhkan minuman pada kedua tamuku ini. Aku justru ingin mereka segera pergi dari rumahku sebelum anak-anakku menanyakan siapa mereka.“Mbak Hannan, bisakah Mbak tak terlalu bica formal? Agar kita bisa bicara dengan santai.”“Saya rasa tak ada yang perlu dibicarakan.”Wanita itu menarik napas panjang.“Baiklah, pertama-tama saya mau minta maaf pada Mbak Hannan karena sayalah yang menyebabkan Mas Randy mengajukan peng