Share

Lega

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-07-24 15:54:56

Tubuhku gemetar. Bayangan penolakanku pada waktu itu kembali menyiksa pikiranku. Gadis kecil itu sangat cantik. Ah, kenapa semakin ke sini semakin terlihat kalau dia sangat mirip dengan Nasrul. Hidung dan bibirnya Nasrul banget. Orang tidak akan menyangkal jika antara keduanya ada hubungan darah.

Kuturunkan tanganku yang sempat terentang dan ingin m3meluknya. Aku menggeleng lemah. Dulu aku selalu bilang kalau gadis kecil berhidung bangir itu tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami, tidak pantas menjadi cucuku, tetapi sekarang ... akulah yang tidak pantas mendapat sebutan 'nenek' darinya. Jika ada sebutan untuk nenek durhaka, maka akulah orangnya.

"Aku tidak berbohong, kan, Bu? Salsa baik-baik saja. Sini, Sayang." Nasrul melambaikan tangan pada gadis kecil itu.

Gadis kecil itu berjalan mendekat. Tangannya terulur dan menyalami Nasrul serta Arum secara bergantian dan m3nc!umnya dengan takzim dan tanpa ragu ia juga melakukan hal yang sama denganku.

Tanganku ini gemetar saat pertama kali menyentuh pipinya. Gadis kecil itu begitu santun. Entah bagaimana Arum mendidiknya.

"Caca selalu bertanya di mana Nenek, bukan?" Arum merangkul pundak gadis itu dan mensejajarkan wajahnya dengan sang anak.

Gadis itu mengangguk.

Arum tersenyum lalu menunjukku. "Itu Nenek Caca. Nenek sudah ada di hadapan kita sekarang." Arum berkata dengan mata berkaca-kaca.

Aku memalingkan wajah. Tidak sanggup menatap mata jernih itu. Gadis kecil itu masih terdiam. Apakah dia tidak bisa bicara hingga sekarang?

Aku tidak peduli, mau dia bisa bicara atau tidak, dia tetap cucuku, dia tetap keturunanku. Di dalam tubuhnya mengalir darahku.

"Ne--nek?"

Mataku berbinar. Hatiku seolah dipenuhi ribuan bunga dan kupu-kupu beterbangan saat mendengar kata-kata yang keluar dari bibir mungil gadis itu.

Allahu Akbar. Allah Maha Besar. Kekhawatiranku tidak terbukti. Aku pikir dia tidak akan bicara untuk selamanya. Dia bisa bicara dan suaranya sangat indah. Terdengar merdu di telingaku. Tanpa terasa bulir bening ini kembali menetes di pipi. Entah sudah berapa banyak air mataku yang tumpah. Dan air mata kali ini adalah air mata bahagia.

Aku bahagia dia bisa bicara. Mungkin ini yang dirasakan Nasrul dan Arum saat pertama kali mendengar anaknya bisa mengeluarkan suara.

"Iya, Sayang. Dia ini Nenek yang ada foto itu." Arum menunjuk fotoku bersama Mas Sufyan. Aku lupa kapan foto itu diambil, yang jelas di dalam foto itu aku masih terlihat muda.

Salsa memandangku dengan saksama dan foto itu secara bergantian. Namun, kemudian dia menggeleng. "Itu bukan Nenek. Bukankah Nenek Caca sudah meninggal. Itu yang selalu Ibu katakan, bukan?"

Arum tersenyum. "Maafkan Ibu, Sayang. Sebenarnya nenek masih ada, itu dia." Arum kembali menunjukku.

Salsa kembali menggeleng. "Dia bukan nenekku. Kalau dia memang nenekku kenapa tidak pernah datang dan kita tidak pernah mengunjunginya seperti nenek Tiara, Alifa, Cita, dan Aldi. Mereka sering bertemu Nenek sedangkan Caca tidak."

Tak ada yang bisa kukatakan. Tidak ada rasa marah saat dia tidak mau mengakuiku sebagai nenek apalagi menganggapku sudah meninggal karena aku sadar semua ini memang salahku sendiri meski sebenarnya ia tidak mengenaliku karena aku dan foto itu jauh berbeda.

Saat ini aku sudah terlihat sangat tua. Banyak keriput di wajah dan rambut yang sudah memutih hanya ditutup kerudung bulat kecil, ditambah lagi wajah bengkak karena terus menangis sedangkan di dalam foto itu aku tersenyum bahagia dan terlihat cantik dengan kerudung panjang berwarna cokelat susu.

"Sayang, itu Nenek, tetapi yang ini saat Nenek masih muda. Bukankah Caca bilang ingin bertemu Nenek? Ingin pe luk nenek. Kenapa saat sekarang nenek sudah ada malah tidak mau?" Arum mencoba meyakinkan Salsa kalau aku ini memang neneknya.

Salsa kembali menatapku. Namun, Lagi-lagi ia menggeleng.

Aku memberanikan diri untuk mengusap tangan Arum. "Sudahlah, Rum. Nggak usah dipaksa. Ibu memang nggak pantas disebut nenek."

"Maafkan Salsa, Bu," kata Arum.

Aku tersenyum. "Tidak apa-apa, Rum. Salah Ibu juga yang tidak pernah ada saat kalian butuh sehingga Salsa tidak mengenaliku. Melihat dia sehat hingga sekarang saja sudah cukup membuat Ibu bahagia padahal tadi Ibu sudah berpikiran yang tidak-tidak saat kamu menangis. Aku pikir Salsa sudah___Aku tidak melanjutkan ucapanku dan kembali tergugu.

"Ibu, aku menangis karena mendengar Ibu mengatakan cucuku pada Salsa setelah sekian lama tidak mengakuinya. Aku terharu, Bu. Ini untuk pertama kali Ibu memanggil 'cucuku' pada Salsa, bukan?

Selama ini Salsa selalu bilang ingin bertemu Nenek atau ingin liburan di rumah nenek seperti teman-temannya, tetapi selalu kubilang tidak bisa. Bahkan suatu ketika aku terpaksa mengatakan kalau Ibu sudah meninggal sehingga dia tidak perlu bertemu neneknya lagi." Arum menunduk.

Aku masih bernapas dan butuh makan hingga saat ini sebagai pertanda masih ada nyawa dalam ragaku. Aku masih hidup, tetapi aku pantas dianggap sudah m@ti oleh Salsa, cucuku sendiri.

Iya, aku sudah m@ti bagi mereka dan aku harus terima itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Bahagia

    Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Selamatkan Anakku

    "Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Dia Datang

    Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Telanjur Sayang

    Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Kesanggupan

    "Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Secuil Harapan

    "Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status