Share

Siapa Dia

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-07-24 15:53:49

Azzahra Salsabila khairun Nisa nama yang disematkan pada bayi yang dilahirkan oleh Arum--buah cintanya dengan Nasrul. Sebuah nama yang sangat bagus, tetapi terasa gatal di telingaku saat mereka memanggil namanya.

"Nama Salsabilla terlalu bagus untuk anak daru seorang Arum. Lebih baik diganti saja," ucapku saat Arum menyusui bayinya.

Wanita yang sangat kubenci itu mendongak dan menatapku. Ia letakkan bayinya setelah puas menyusu dan terlelap.

"Mas Nas yang memberi nama pada cucu Ibu ini. Salsabila diambil dari Al-Quran yang artinya mata air surga. Kami berharap dia akan menjadi penyebab kami masuk surga nantinya," jawab Arum dengan seulas senyum.

Aku mendengkus. Dia bilang bayi mungil itu adalah cucuku. Dia memang tidak salah, bayi yang sedang terlelap dengan selimut warna pink bergambar princess itu memang cucuku. Dalam tubuhnya mengalir darahku, tetapi aku tidak sudi mengakuinya. Dia lahir dari rahim seorang wanita yang tidak kusuka. Menantu yang tidak pernah kuharap kehadirannya.

Saat anak itu tidak berkembang sesuai usianya, aku mencibir.

"Aku bilang juga apa? Dia punya nama yang terlalu berat sehingga nggak bisa jalan. Dia nggak kuat nanggung nama Salsabila. Nama Inem atau Paijah lebih pantas untuknya," ucapku sinis.

Arum menunduk. Matanya mengembun, tetapi lekas ia usap dengan kasar sebelum bulir bening itu membasahi pipinya.

Aku semakin kesal melihat anak berusia satu tahun yang hanya bisa ngesot untuk berpindah tempat. Belum bisa berdiri apalagi berjalan. Aku malu jika orang-orang tahu dia adalah cucuku.

Di saat anak-anak Nella dan Erwin kuberi uang, Salsa tidak pernah kebagian.

"Makanya ajari anakmu berjalan dan bicara dengan jelas dan benar kalau mau dapat uang dariku. Jangan hanya plonga-plongo saja," ucapku saat Arum hanya bisa gigit jari melihat aku bagi-bagi uang saat panen atau lebaran.

Akan tetapi, kesedihan Arum tidak berlangsung lama. Layaknya sebuah dongeng, selalu ada saja yang datang sebagai pahlawan. Dia adalah Mas Sufyan--suamiku. Dia datang dan menegurku yang tidak pernah berlaku adil padaku cucu, bahkan tanpa ragu memberi uang pada Salsa tanpa bisa ku cegah.

"Kita harus adil pada anak cucu, Bu. Bagaimana pun keadaan Arum, dia tetap istri dari Nasrul, menantu kita. Dan sampai kapan pun Salsa itu tetap cucu kita," kata Mas Sufyan.

Yang dikatakan suamiku itu memang benar, tetapi selalu membuatku jengah.

Bayangan perbuatanku di masa lalu yang selalu menorehkan luka di hati Arum itu datang begitu saja. Berkelebat di kepala layaknya sebuah film yang tengah diputar.

Kutatap Arum yang terus meneteskan air mata saat kutanya di mana cucuku berada. Bayangan buruk menghantuiku. Mungkinkah Salsa telah tiada. Allah ... Penyesalanku semakin dalam jika dia tiada karena aku yang tidak mau membantunya waktu itu.

Tanganku mengepal seiring dadaku yang semakin sesak. Aku tidak pantas disebut ibu. Aku tidak pantas mendapat gelar nenek karena telah membiarkan darah dagingku sendiri menderita. Mereka hidup kekurangan padahal aku sendiri hidup berkecukupan.

Jika Salsa telah tiada, di mana kuburnya? Ya Allah, sanggupkah aku melihat batu nisan bertuliskan nama Salsa binti Nasrul?

Tanganku terulur. Kuberanikan diri untuk menyentuh tangan Arum. "Rum ... Maafkan Ibu yang telah membuat kau kehilangan Salsa untuk selamanya. Ibu tahu tidak ada kata maaf bagiku, tetapi Ibu akan terus mengucapkan kata maaf itu. Jika perlu aku akan bersujud di kakimu," ucapku dengan suara timbul tenggelam karena terisak.

"Maksud Ibu apa? Kenapa bilang kami kehilangan Salsa untuk selamanya?" Arum mengusap pipi yang sebelumnya basah oleh air mata.

"Kamu menangis karena ingat dengan anakmu yang telah tiada, kan? Maafkan Ibu. Maaf. Seandainya Ibu mau membantumu memberi uang agar Salsa mendapat penanganan dokter dengan segera pasti dia masih ada di antara kita sekarang. Seandainya aku tidak menolak permintaan Nasrul pasti aku masih bisa memeluknya sekarang." Aku semakin tergugu.

Dahiku berkerut saat melihat seulas senyum terbit di bibirnya yang merah seperti buah ceri.

"Salsa baik-baik saja, Bu," kata Arum yang mendapat anggukan dari Nasrul.

"Iya, Bu. Anak kami baik-baik saja," sahut Nasrul.

Kuusap pipi yang basah dengan kasar. Kepencet hidung yang ikut mengeluarkan cairan. "Di--dia baik-baik saja? Jangan bohong, Rum, Nas! Kalau dia baik-baik saja kenapa kalian menangis saat kutanya dia di mana? Kalian bilang seperti itu hanya untuk menghibur diri, kan?"

"Kami tidak bohong, Salsa baik-baik saja," kata Nasrul. Dia lalu berdiri dan mengambil sebuah foto anak kecil yang memakai toga warna hitam layaknya seorang sarjana. Itu adalah foto saat wisuda taman kanak-kanak.

Aku terlalu asyik meratapi diri sehingga tidak melihat ada foto itu di dinding. Lekas kuci um dan kudekap erat foto itu.

"Katakan di mana dia sekarang. Ibu harus memeluknya meski Ibu tahu dia tidak akan mau dipeluk oleh seorang Nenek durjana sepertiku." Aku semakin mempererat pelukan foto itu dan menempelkan di hatiku.

Kami menoleh serempak saat mendengar pintu diketuk dibarengi ucapan salam dari luar. Seorang gadis kecil memakai baju gamis panjang warna biru muda lengkap dengan kerudung telah berdiri di sana. Di tangannya terdapat sebuah buku Iqro.

Jantungku berdegup kencang. Mataku kembali panas dan mungkin sudah bengkak sekarang.

"Salsa? Apakah dia Salsa cucuku?" tanyaku lirih dan hampir tidak terdengar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Bahagia

    Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Selamatkan Anakku

    "Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Dia Datang

    Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Telanjur Sayang

    Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Kesanggupan

    "Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Secuil Harapan

    "Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status