Share

Penasaran

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-07-24 15:56:35

Aku menyeka air mata yang terus bercucuran. Jika Salsa tidak mau mengakui aku sebagai neneknya apakah itu artinya aku tidak boleh ikut tinggal di sini?

Ya Allah, ini sudah sore dan sebentar lagi gelap. Ke mana aku harus pergi?

"Ibu memang tidak pantas disebut Nenek. Nenek jahat. Sebaiknya Ibu pergi saja," ucapku dengan suara parau.

Aku mengambil tas dan bersiap melangkah keluar, tetapi ditahan oleh Nasrul.

"Ibu mau ke mana?"

"Seorang Ibu yang jahat sepertiku tidak pantas ikut tinggal di sini, Rul. Sebaiknya Ibu pergi saja."

"Walau pun Salsa tidak mau mengakui Ibu sebagai neneknya, tetapi dia tetap mengizinkan Ibu untuk tinggal di sini. Iya, kan, Sayang?" Nasrul menatap putrinya seraya mengedipkan mata.

Sungguh di luar dugaanku, gadis kecil itu mengangguk.

"Kata Ibu, kepada sesama manusia kita harus selalu tolong-menolong. Siapa pun dia yang sedang membutuhkan harus kita bantu semampu kita. Insya Allah, akan dapat pahala," ucap Salsa bijak dengan suara yang menggetarkan jiwa.

Arum ... Terima kasih, sudah mendidik cucuku dengan sangat baik.

Suara Azan Magrib berkumandang bersahut-bersahutan dari masjid serta surau yang berada di sekitar kontrakan Arum sebagai pertanda panggilan dari Yang Maha Kuasa pada umat--Nya agar segera bersujud.

Entah bagaimana Arum mendidik anaknya itu. Begitu mendengar suara azan, Salsa bergegas mengambil air wudhu lalu memakai mukena warna putih dan mengajak Arum serta Nasrul ke masjid.

Sepertinya hal itu sudah menjadi kebiasaan sehingga anak itu tidak perlu diajak apalagi Arum sampai ngomel panjang lebar.

Hidup mereka memang sederhana, tetapi aku dapat melihat betapa damai dan bahagianya mereka. Mungkin karena mereka begitu dekat dengan Yang Maha Kuasa.

Seketika aku ingat Erwin dan Nella serta anak-anaknya saat datang berkunjung ke rumah.

Suara azan tidak pernah mereka pedulikan, ketika Magrib tiba, Anak-anak masih asyik bermain ponsel dan menonton televisi.

Ya Allah, apakah mereka masih belum berubah hingga sekarang? Abai dengan kewajibannya sebagai manusia?

"Ibu mau ke masjid atau salat di rumah?"

Nasrul membuyarkan lamunanku tentang kakak-kakaknya yang entah sedang apa mereka sekarang.

Ah, ingat Erwin dan Nella membuat hatiku perih dan nyeri. Mereka anak-anak yang selalu kumanja, tetapi abai pada ibunya. Apa yang mereka pikirkan? Apakah mereka pikir bisa sukses tanpa kami--aku dan Mas Sufyan--sebagai orang tua?

"Ibu mau salat di rumah atau ikut kami ke mushala?" Nasrul mengulangi pertanyaannya karena aku masih saja terdiam. Sementara Arum dan Salsa sudah berangkat lebih dulu.

Aku menelan ludah. Ikut salat di mushala berarti aku harus siap bertemu para tetangga Nasrul. Mereka pasti akan bertanya aku siapa? Dan mereka pasti akan kaget saat tahu aku ini adalah ibunya Nasrul.

Aku belum siap menghadapi tetangga yang biasanya suka kepo dengan kehidupan orang lain. Bagaimana kalau mereka menghujatku karena telah membuang anak sendiri dan sekarang malah datang ingin menumpang?

Aku menggeleng. "Ibu salat di rumah saja, Rul."

"Tetapi, kami belum punya ruangan khusus untuk salat, Bu. Kalau Ibu mau salat di rumah bisa salat di kamarku atau kamar Salsa." Nasrul menjelaskan.

Aku mengangguk. "Iya, Rul. Nggak apa-apa. Kamar kamu yang sebelah mana?"

Nasrul menunjuk sebuah ruangan di dekat dapur. Lalu ia bergegas menyusul Arum dan anaknya ke mushala karena azan sudah berhenti dan tidak lama kemudian terdengar iqamah sebagai pertanda salat berjamaah akan segera dimulai.

Dadaku kembali terasa sesak begitu memasuki kamar Nasrul. Rumah ini hanya terdapat dua buah kamar dengan masing-masing berukuran tiga kali dua setengah meter, sebuah dapur yang menjadi satu dengan ruang makan, sebuah kamar mandi, dan ruang tamu.

Selama bertahun-tahun anakku tinggal di rumah seperti ini, itu pun harus bayar setiap bulan atau mungkin satu tahun sekali sedangkan aku tinggal di rumah yang sangat besar. Luas ruang tamu di rumahku yang dulu sama dengan luas rumah ini secara keseluruhan.

Aku membentang sajadah warna cokelat yang tadi diberikan Nasrul dan memakai mukena milik Arum. Betapa damai hati ini saat tubuh ini terbungkus mukena dengan bahan halus dan sangat wangi.

Aku memohon ampun kepada Allah karena telah berbuat zalim pada anakku sendiri. Aku merasa sangat berdosa membiarkan mereka hidup menderita selama bertahun-tahun. Aku telah merampas hak waris yang seharusnya dia dapatkan.

Sekarang sawahku yang berpetak-petak dan sangat luas itu sudah habis karena dijual oleh Erwin dan juga Nella, bahkan rumah juga sudah tidak ada.

Entah berapa lama aku termenung sehabis salat hingga akhirnya suara Azan Isya telah menggema hingga memutuskan untuk salat sekalian.

"Assalamulaiakum,"

"Waalaikumsalam." Segera aku membuka mukena dan meletakkan di atas sajadah dan menggulungnya. Nasrul beserta istri dan anaknya sudah pulang dari mushola. Mereka berada di sana dari Magrib hingga Isya.

"Aku menyiapkan makanan dulu, ya, Mas," kata Arum yang segera mendapat anggukan dari Nasrul.

Bau harum makanan yang sedang dimasak Arum begitu menusuk hidung. Wanita itu memanggilku untuk segera makan.

Sebuah panci berisi nasi yang hanya tinggal setengah, tumis kacang panjang, dan telur dadar dengan taburan daun bawang sudah siap di meja makan.

"Maaf, Bu. Hanya ini menu kita untuk malam ini," kata Arum seraya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi.

Aku menggeleng. Merasa tidak pantas ikut menikmati makanan yang sepertinya enak itu.

"Ibu tadi sudah makan nasi goreng di warung Nasrul dan sekarang masih kenyang." Aku mengusap perut.

"Yakin, Ibu nggak mau makan?" tanya Nasrul.

"Iya, kalian makan saja." Aku berusaha tersenyum.

Aku hanya menelan ludah melihat mereka makan dengan lahap. Menu yang tersedia memang hanya sederhana, tetapi mereka terlihat begitu menikmatinya.

Malam mulai merangkak naik. Aku disuruh tidur di kamar Salsa dan Salsa tidur bersama Nasrul serta Arum.

***

Aku hanya bisa melihat dari balik pintu kamar saat Arum dan Nasrul terlibat obrolan di pagi hari.

"Ini untuk bayar kontrakan." Nasrul menunjukkan tumpukan uang merah. Lalu ia mengambil uang lagi. "Dan ini untuk menyicil bayar utang pada Bu Nur. Semoga utang kita padanya segera lunas, ya, agar kita bisa menabung untuk memikirkan masa depan salah satunya beli rumah."

Mataku terbelalak melihat tumpukan uang merah yang kata Nasrul untuk bayar utang pada Bu Nur itu.

Siapa itu Bu Nur? Dan kenapa Nasrul bisa punya utang sebanyak itu padahal itu hanya cicilannya saja. Lalu utang seluruhnya berapa dan buat apa?

Aku tidak pernah tahu apa yang telah anak bungsuku lewati selama lima tahun terakhir ini, tetapi yang pasti sangat berat dan tidak mudah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Bahagia

    Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Selamatkan Anakku

    "Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Dia Datang

    Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Telanjur Sayang

    Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Kesanggupan

    "Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Secuil Harapan

    "Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status