Share

Di Mana Cucuku

Author: Siti Aisyah
last update Last Updated: 2023-07-24 15:52:03

"Itu ayam goreng untuk Nella dan Erwin. Kamu cukup makan tahu tempe saja." Aku melotot saat melihat tangan Arum terulur untuk mengambil ayam di depannya.

Aku tersenyum lega saat melihat Arum mengurungkan niatnya mengambil ayam goreng. Waktu itu usia pernikahannya baru satu bulan dan aku sudah menabuh genderang perang padanya.

Nasrul yang duduk di sampingnya mengusap lengan sang istri. Meski tanpa kata, tetapi aku tahu ia meminta pada wanita yang sudah menjadi miliknya itu untuk bersabar.

"Jangan begitu, Bu. Ayamnya masih banyak. Biarkan saja Arum mengambilnya," kata suamiku.

Ini yang membuatku kadang merasa kesal. Pikiranku dan ayahnya Nasrul tidak sama. Dia mau menerima Arum sebagai menantu di istana kami sedangkan aku bersumpah tidak akan menerima wanita miskin itu menjadi bagian dari keluarga ini.

"Enggak bisa, Pak. Ayam ini khusus untuk anakku yang paling cantik dan pintar. Arum cukup makan tahu saja. Itu pun sudah cukup baik dan bergizi baginya," ucapku tidak mau kalah.

"Ibu benar, Pak. Saya makan dengan tahu saja. Ini juga bergizi, kok," kata Arum.

Seulas senyum terbit di bibir Arum meski aku yakin dalam hatinya tidak baik-baik saja. Iya, siapa yang tidak sakit hati jika sang mertua terang-terangan tidak menyukainya, tetapi itu adalah sesuatu yang sangat bagus bagiku.

Seribu satu cara telah kulakukan untuk memisahkan Nasrul dan Arum, tetapi tidak berhasil. Semua itu karena dia mendapat dukungan dari suamiku dan juga Nasrul.

"Kenapa Ibu tidak menyukai Arum padahal dia sudah berusaha menjadi menantu yang baik untuk kita," tanya Mas Sufyan waktu itu.

Waktu itu kami sedang berada di dalam kamar berdua.

Aku mencebik. Sejak Nasrul menikah dengan Arum, kami menjadi sering bertengkar. Aku dan dia sudah tidak sejalan. Suamiku menyukai Arum sedangkan aku tidak. Sampai m@ti pun tidak akan pernah menerima Arum sebagai istri dari Nasrul.

"Arum itu tidak selevel dengan kita, Pak. Dia hanya orang miskin. Tidak pantas tinggal di istana kita," ucapku dengan tangan bersedekap.

Mas Sufyan menyentuh tanganku dengan lembut lalu menggenggamnya erat. "Tidak boleh begitu, Bu. Kaya atau miskin sama saja. Harta itu hanya titipan."

Aku melengos mendengar ucapannya yang terasa seperti seorang penceramah. Terdengar basi di telingaku.

"Ibu malu sama teman punya menantu seperti Arum itu, Pak. Kenapa Bapak dan Nasrul sama-sama konslet otaknya sehingga bisa suka dengan Arum. Jangan-jangan kalian berdua sudah terkena pelet oleh wanita miskin itu, ya?

Bapak tahu sendiri, kan, kalau Ibu sudah berencana menjodohkan Nasrul dengan Puspita anaknya Bu Hajah yang kaya raya itu, tetapi dia malah nggak mau dan memilih Arum yang nggak jelas," ucapku kesal.

"Itu artinya Nasrul dan Puspita tidak jodoh, Bu. Sudahlah, mulai sekarang Terima Arum sebagai menantu. Sayangi dia layaknya seorang menantu, syukur Ibu bisa menyayanginya seperti anak kandung." Mas Sufyan kembali memberiku nasihat dan aku cukup memasukkan ke telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Abai.

"Kalau Ibu nggak mau!" Aku menatapnya tajam.

"Harus mau berusaha. Ingat, ya, Bu. Jangan membenci Arum berlebihan. Siapa tahu menantu yang Ibu benci itu yang akan merawat kita di hari tua kelak. Belum tentu Nella dan Erwin yang selalu Ibu manja itu akan melakukan hal yang sama pada Ibu pada suatu saat nanti," kata suamiku panjang lebar.

Aku tertawa. "Mana mungkin Arum yang akan merawatku nanti. Tinggal bersamanya saja Ibu tidak mau."

Suamiku menggelengkan kepala. "Terserah Ibu, yang penting Bapak sudah mengingatkan kalau Arum tidak seburuk yang Ibu kira."

Aku memejamkan mata kala ingatan percakapan dengan almarhum suamiku itu kembali terngiang di kepala. Dan ternyata ucapannya waktu itu menjadi kenyataan sekarang.

"Baiklah, Nas. Ibu bersedia memberimu pinjaman, bahkan kamu tidak perlu bayar alias Ibu memberimu uang secara cuma-cuma, tetapi dengan satu syarat," ucapku tenang.

Aku tersenyum saat pada akhirnya punya peluang untuk memisahkan Nasrul dan Arum. Dia datang ke rumah setelah sekian lama tidak pernah datang lagi dan kedatangannya membuatku senang. Akhirnya dia sadar kalau masih butuh aku sebagai seorang ibu.

Nasrul bilang Salsa sampai kejang sehingga harus dirawat di rumah sakit sementara ia tidak punya uang dan untuk mendapat perawatan, ia harus bayar uang muka dulu.

"Syaratnya apa, Bu?" tanya Nasrul.

Aku tersenyum kemenangan. "Tinggalkan Arum dan Salsa lalu menikah dengan Puspita. Bagaimana?"

Si@l, Nasrul menolak tawaranku dan sebagai konsekuensinya aku tidak mau memberinya pinjaman.

Entah bagaimana dia membayar biaya rumah sakit Salsa. Sejak saat itu, Nasrul tidak pernah datang ke rumah bersama Arum serta anaknya dan aku tidak peduli, bahkan aku tidak memberi tahu saat bapaknya meninggal meski ia tetap datang. Entah siapa yang memberi tahu padanya.

Mungkinkah Nasrul tidak berhasil mendapatkan pinjaman sehingga Salsa tidak mendapat pertolongan dari dokter?

Anak kecil yang dulu kubenci karena lambat perkembangannya itu sekarang ada di mana? Kenapa sejak aku datang ke sini dia sama sekali tidak menampakkan diri? Anak itu sekarang pasti sudah besar. Lima tahun sudah, Nasrul pergi dan tidak pernah kuketahui kabarnya lagi.

"Rum, di mana Salsa cucuku? Kenapa dari tadi Ibu tidak melihatnya?" tanyaku penasaran.

Nasrul dan Arum saling pandang. Perlahan tapi pasti, mata menantuku itu mengembun dan tidak lama bulir bening itu membasahi pipinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Bahagia

    Jenny telah selesai diperiksa dokter dan wanita itu memenuhi syarat untuk mendonorkan darah. Kini, wanita berambut pendek itu tengah berbaring di sebuah ranjang kecil dan siap diambil darahnya untuk menyelamatkan sang anak yang kini sedang lemah tidak berdaya."Tunggu, Dok!" Nella memaksa masuk ruangan di mana ada Jenny dan petugas kesehatan. "Saya tidak rela Alva menerima darah dari wanita yang jelas-jelas telah membuatnya celaka. Saya baru saja menghubungi kakak saya dan dia juga memiliki golongan darah O. Dia akan datang satu jam lagi." Nella menatap tajam Jenny yang sedang berbaring dengan seorang petugas di sampingnya. Tangan Jenny mencengkeram tempat tidur. Sebegitu burukkah dirinya di mata Nella sehingga ia harus curiga padahal dia benar-benar tulus ingin menolong buah hatinya. Dokter dan perawat saling pandang. "Satu jam? Bu Nella bilang orang yang akan mendonorkan darah untuk Alva datang satu jam lagi?" dokter itu mengulangi pernyataan Nella yang dijawab dengan anggukan.

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Selamatkan Anakku

    "Nella, Jelaskan pada mama kenapa Alva bisa tidak mengenali Jenny? Bukankah kamu selalu membawanya ke penjara agar mereka berdua saling dekat?" tanya Hanum dengan dahi berkerut. Setelah Jenny datang dan ingin meminta kembali anak yang selama lima tahun dia anggap dititipkan. Nella menghubungi Hanum serta saudara-saudaranya--Erwin dan Nasrul serta ibu kandungnya. Wanita itu butuh pendapat dan dukungan dari orang terdekatnya. Jadilah rumah Nella menjadi ramai . Nella menelan ludah. Tatapan matanya tertuju ke luar pada hamparan rumput Jepang yang hijau. Setelah itu mendongak menatap langit yang tiba-tiba mendung seirama dengan perasaan hatinya yang ketakutan akan kehilangan anak kecil yang selama ini menemani hari-harinya itu."Setiap bulan datang bersama Alva?" Bukan Nella yang menjawab, tetapi Jenny. Hanum mengangguk. Memang kenyataannya seperti itu. Setiap bulan Nella bilang ke penjara untuk menjenguk Jenny bersama Alva karena ingin mendekatkan pada ibu kandungnya. "Nella tidak

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Dia Datang

    Matahari bersinar cerah di pagi hari. Cahayanya yang hangat menerobos jendela kamar Nella. Wanita yang baru saja selesai memandikan Alva itu tersenyum melihat anak kecil itu sedang berbaring sambil memegang botol susu. kedua kakinya yang seperti roti pisang itu bergerak-gerak. "Kau sangat manis, Sayang. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah denganmu?" Nella membungkuk dan membelai rambut Alva yang tebal dan halus. Ditatapnya penuh cinta kedua bola mata bulat yang jernih itu. "Bu Nella serius melarang saya mengambil ASI lagi?" tanya Ari--orang yang bertugas mengambil ASI di penjara setelah Nella memberi uang dan mengatakan itu adalah gaji terakhirnya. Nella yang sedang menyuapi Alva mengangguk. Iya, wanita itu sudah memutuskan tidak memberikan ASI pada Alva lagi. Dia tidak mau anak laki-laki yang sudah ia anggap seperti anak sendiri itu menggantungkan hidupnya pada mamanya sendiri. ASI dari Indira yang melimpah sudah cukup sehingga tidak perlu mengambil lagi dari Jenny. Apalagi Alva

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Telanjur Sayang

    Sesekali Nella menoleh dan mengawasi bocah laki-laki yang sedang belajar berjalan di atas rumput hijau di halaman rumahnya. Bocah bertubuh gendut itu sesekali jatuh, tetapi berusaha bangkit lagi. Dapat dua langkah jatuh, bangkit lagi, dan begitu seterusnya. Mata Nella memanas, melihat bocah kecil memakai celana biru dan kaus putih bergambar mobil itu mengingatkan tentang hidupnya yang tidak selalu berjalan mulus. Anak kecil yang sedang belajar berjalan adalah gambaran kehidupan manusia. Sebelum bisa berjalan dengan tegak, harus diawali dengan jatuh, jatuh, dan jatuh lagi. Lalu berusaha bangkit agar bisa berjalan hingga berlari. "Mama!" Suara khas Alva membuat Nella tersenyum. Wanita berambut sebahu yang sedang menyiram bunga itu meletakkan ember lalu melambaikan tangan pada jagoan kecil yang memanggilnya dengan suara yang menggemaskan. Alva kecil tersenyum memperlihatkan giginya yang berjumlah delapan. Empat di bawah dan empat lagi di atas. Nella berjongkok. Kedua tangannya tere

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Kesanggupan

    "Tidak ada pilihan lain, Bu. Cucu ibu tidak bisa menerima makanan selain ASI," ucap dokter Ana setelah memeriksa kondisi Alfa. Alva sudah diberi susu soya, tetapi masih muntah juga. Tubuhnya semakin lemah sehingga terpaksa dimasukkan ke dalam inkubator untuk menunjang kehidupannya. Hanum meremas-remas jari tangannya sendiri. Rasa iba merajai hati melihat cucu laki-lakinya yang lemah, sementara dia sendiri hanya mampu melihatnya dari balik kaca tanpa bisa memeluknya. "Menurut perkiraan saya, bayi ini sempat mendapatkan ASI sebelum diserahkan ke Ibu." dokter paruh baya Itu kembali menjelaskan. Mata Hanum melebar sempurna. "Diberi ASI? Jenny mau menyusui anaknya ini?" Hanum menggeleng. "Itu tidak mungkin, Dok,"Dalam bayangan Hanum, Jenny sangat membenci bayi yang ia lahirkan itu. Jangankan menyusui layaknya seorang ibu pada umumnya, melihat pun wanita itu pasti sudah sangat muak karena teringat dengan lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tanpa mau bertanggung jawab. Bisa

  • IZINKAN IBU TINGGAL BERSAMAMU NAK   Secuil Harapan

    "Apa? Mas Wirya sudah meninggal?" tanya Jenny dengan nada tinggi dan mata melebar sempurna. Mira mengangguk lemah. Ditatapnya lekat-lekat anak perempuan satu-satunya itu.Anak perempuan yang ia gadang-gadang dapat mengangkat derajat orang tuanya saat lima tahun lalu minta izin berangkat ke kota untuk mengadu nasib dengan harapan dapat mengubah keadaan. Manusia memang boleh berencana dan meminta, tetapi tetap Yang Maha Kuasa lah yang menentukan segalanya. Dulu, Mira berharap hidup bahagia dan berkecukupan di hari tua jika Jenny menjadi orang sukses di kota. Namun, melihat kondisinya sekarang, harapan itu musnah sudah. "Ibu jangan khawatir, setiap bulan aku akan mengirim uang yang banyak karena aku sudah diterima kerja di sebuah perusahaan besar," kata Jenny saat pertama kali menelepon ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Ucapan Jenny bukan hanya isapan jempol belaka. Setiap bulan ia rutin mengirim uang pada wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya itu. Mira sangat senang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status