“Penulis Anda tentu saja, Agatha Gray adalah Istri saya.”
Suara lantang dan tegas dari sosok pirang yang masih berdiri di depan pintu mengejutkan Brown yang tampaknya masih berusaha mencerna ucapan tamu tidak diundang. Aku sendiri sama terkejutnya dengan pria gempal paruh baya. Tidak pernah sedetik pun ia akan datang kesini, sekalipun mungkin aku memang memanggil namanya dalam hati.
“Sebastian …,” panggilku lirih. Suamiku itu mengulum senyum manis seolah sedang menenangkanku. Aku mulai dapat merasakan buliran bening menumpuk di pelupuk mata. Tapi mana mungkin aku terlihat begitu lemah di hadapan Brown. Jika aku sampai menangis pria itu akan mengira aku hanya sedang mencari simpati darinya.
“Jangan membual, Nona Agatha … maksud saya Nona Raeliana Oswald masih lajang,” balas Brown dengan melipat kedua t
“Aku tidak percaya, bagaimana bisa dia tega melakukan hal ini padaku?! Menghancurkan satu-satunya mimpi yang sudah kupupuk sedari kecil.” “Rael, bernafas … kau baru saja minum obat, jangan sampai ada serangan berikutnya,” ucap Sebastian mencoba mengingatkanku yang baru saja mendudukan diri pada jok penumpang. Iris hazel ku memandang sosok pria bersurai pirang yang kini tengah duduk di belakang kemudi. “Kau tidak pernah memikirkan itu semua adalah ulah Emilia?” Bukankah tadi yang memintaku menenangkan diri itu dirinya? Lalu mengapa ia kembali mengingatkanku tentang kejadian mengesalkan beberapa waktu yang lalu? Meski begitu aku masih menjawab pertanyaan Sebastian dengan wajah masam. “Tidak sama sekali, mungkin karena aku terlalu panik dan gugup. Bayangkan saja a
“Saya minta maaf karena telah melakukan hal seperti ini kepada Anda. Saya minta maaf.” Gadis berambut brunette yang tengah berdiri di hadapanku menunduk dalam. Kini kami telah berada di basement, karena disanalah mobil kami terparkir.Sekitar hampir tiga menit berdiri dan Elizabeth telah meminta maaf juga berterima kasih padaku serta Sebastian. Gadis berusia 19 tahun itu tampak menyesali perbuatannya, mana mungkin aku tega menghukum orang yang melakukan semua ini karena terpaksa.“Tidak apa-apa, Anda kan sudah menjelaskan jika itu bukan kemauan Anda sendiri. Saya juga berterima kasih karena Anda sudah berani datang kemari,” ujarku sembari mengusap bahu York, mencoba menenangkannya.Elizabeth mengangguk dan menyeka deraian cairan bening yang masih mengalir
Brakkk Derap langkah cepat terdengar menggema sepanjang lorong apartemen bergaya minimalis. Seorang pria bersetelan jas mahal melenggang masuk dengan langkah terburu. Nafasnya terengah begitu mencapai salah satu pintu yang menghubungkan ke sebuah ruangan dengan jacuzzi. “Hei, Robert … ada apa dengan penampilanmu yang berantakan itu, Wakil Direktur? Apakah kau baru saja habis bertemu dengan Valak?” Emilia mengulum senyum dan mengangkat gelas kristal berisi whisky. Wanita itu tampak dalam keadaan setengah basah karena menikmati waktu istirahatnya dengan berendam air panas. “Emilia, kau sudah membaca, melihat atau … mendengarkan berita? Internet sedang guncang!” Robert setengah berteriak dari ambang pintu. Bahkan anjing pudel Emilia berjengit karena suara menggema sang wakil direktur.
Deru nafas seorang wanita berambut mahoni terdengar begitu keras. Berulang kali ia terjatuh dan tersingsal tebalnya salju yang menutupi jalanan kota. Beberapa kali ia juga berusaha menggapai tangan orang-orang yang berlalu-lalang di sana. Sayangnya saat ada yang mendekat wanita tersebut justru berlari. Bukan tanpa alasan ia berlari kesana-kemari dengan luka di beberapa sudut tubuhnya.“Hei … tunggu! Dasar jalang … tangkap dia!” Teriakan para pria bermantel hitam mengejutkan wanita bersurai mahoni itu. Tanpa memperdulikan luka di kakinya yang telah dipenuhi noda kemerahan. Ia tetap berlari secepat yang ia bisa.“Sial … sial! Emilia, kau memang benar-benar brengsek! Bagaimana bisa dia berencana untuk membunuhku.” Maggie bergumam tidak jelas. Wanita bersurai mahoni itu terus memperhatikan ke kanan-kiri
Ban hitam yang mengkilap dari sebuah mobil Bugatti tengah menapaki jalanan aspal London yang licin juga bersalju. Penumpangnya tidak lain tidak bukan adalah aku dan suamiku⸺sang iblis tampan rupawan. Alunan lagu ber beat lambat dari salah satu grup musik kesukaanku mengiringi perjalanan kami untuk menuju tepi selatan London. Atau lebih tepatnya West Sussex. Mobil Bugatti Sebastian ini harus menempuh sekitar 48 km dari pusat London untuk mencapai bandara tersibuk kedua yang ada di London⸺Gatwick. Suasana hatiku sedang cukup baik, sehingga sepanjang perjalanan dari apartemen bibir tipisku sudah sibuk menggumamkan lagu-lagu dari daftar lagu yang diputar. “Pukul berapa Maggie akan berangkat?” tanya Sebastian dan membuatku yang semula sibuk menyanyikan bait lagu bagi
Aroma anyir dan apek serta hawa dingin yang menusuk menjadi hal pertama yang menyambut indra seorang wanita berambut mahoni. Maggie tampak kacau, tidak ada penampilannya yang selalu stylish dan trendy. Sebaliknya ia justru seperti seekor kucing kampung di jalanan.Pandangannya masih mengabur ketika ia terbangun dari mimpi indah singkatnya. Kepalanya seperti habis dihantam batu besar dengan keras, samar-samar ia dapat melihat beberapa pria dan seorang wanita berada di hadapannya. Rasa perih dan nyeri di tubuhnya membuat ibu dua anak itu meringis kesakitan.“Akhirnya kau sudah bangun dari tidurmu, wahai putri salju.” Sebuah suara yang terdengar familiar menyapa Maggie. Perlu waktu selang beberapa detik sebelum akhirnya ia merespon sapaan hangat tersebut dengan
“Aku akan menunggu disini, kau cepat lakukan urusanmu … aku tidak akan mengunci pintunya, jadi jangan berharap kau bisa kabur,” kata pria yang mengenakan jaket kulit hitam. Saat ini Maggie telah berada di sebuah kamar mandi kotor yang tampak dipenuhi kerak di lantainya. Tangannya masih diikat kencang, sementara pintu kamar mandi sengaja dibuka sedikit untuk jalan tali yang masih dalam genggaman salah satu pria yang menyekapnya.“Cepatlah sial! Kau berbohong ya …” Suara menggelegar dn sebuah gebrakan keras di dinding mengejutkan Maggie. Ia terlonjak dan kembali memutar otak ia mencoba mencari sesuatu di sana yang dapat digunakan. Manik hazelnya bergulir dengan cepat menyusuri setiap sudut sampai menemukan bilah kaca yang pecah, sepertinya berasal dari pecahan kaca jendela yang terletak tepat di bagian atas toilet kamar mandi.
Derit pintu terdengar. Seorang pria berambut pirang melangkah masuk di salah satu ruang perawatan. Jas putih masih membalut tubuh kekar bak binaragawannya. Pandangannya terjatuh pada seorang sosok gadis bersurai mahoni yang tengah sibuk menimang seorang balita dalam gendongannya. Rael tidak menyadari kehadiran seseorang di dalam ruangan. Ia terlalu sibuk dengan keponakannya yang kini masih sesenggukan. Bibir tipis berwarna plum tersebut menggumam kecil—menyanyikan sebuah lagu pengantar tidur. Sebastian terdiam di lorong kamar dan memperhatikan gadis berambut coklat madu tersebut. Ia hanya diam tanpa berniat menunjukan diri. Terlebih ketika ia dapat melihat kristal bening yang kembali meluncur di pipi porselennya. Ia tidak dapat melangkah lebih jauh. Bukan karena ia tidak ingin menenangkan sang istri,