Siang Semua ( ╹▽╹ ) ini bab bonus Gem pertama. bab bonus berikutnya rilis malam bersama bab reguler. btw, semua ini fiksi, jangan coba bahan-bahan obat yang ada di novel ini. othor tidak sanggup melihat pembaca othor keracunan, hehehehehe... Selamat beraktivitas (◠‿・)—☆
Dalam kegelapan, Ryan Drake menundukkan kepalanya, mencium kening halus itu, lalu memejamkan matanya. Ia merasakan kehangatan tubuh Alicia yang terlelap dalam pelukannya, mendengarkan napasnya yang teratur dan damai.Mungkin, tidur adalah hal yang membuang-buang waktu baginya, namun saat ia dapat memeluk wanita yang dicintainya hingga tertidur, ia tidak menganggap itu sebagai hal yang membuang-buang waktu. Bagi mantan Iblis Surgawi yang telah hidup ribuan tahun, momen-momen seperti ini justru yang paling berharga.Dalam sekejap mata, langit menjadi cerah. Cahaya pagi menembus tirai, menghangatkan ruangan dengan lembut.Setelah bangun, hal pertama yang dilakukan Alicia Moore adalah berlari ke kamar mandi untuk melihat ke cermin. Di pantulan kaca, wajah yang terpantul terlihat semakin lembut dan cerah. Jari-jarinya terulur menyentuh kulit wajahnya yang halus dan lembut, bagai sutra paling halus di dunia.Setelah memperhatikan dengan seksama, dia mengalihkan pandangannya dari cermin,
Melihat Kepala Pelayan tua itu yang bersedih, Ryan Drake mengangguk sedikit. Dia memahami kekhawatiran yang tercermin pada raut wajah sang kepala pelayan. Keadaan Meredith Moore memang mengkhawatirkan.Memiliki pembantu yang setia dan loyal seperti Sebastian merupakan keberuntungan bagi Alicia dan Lena Moore. Selama bertahun-tahun, pria tua itu telah menjaga dan melayani keluarga mereka dengan sepenuh hati, bahkan dalam masa-masa tersulit.Di dalam vila, Ryan Drake dan sang Kepala Pelayan tua saling berpandangan penuh makna. Demi mencegah Alicia Moore mengetahui kondisi ibunya yang memburuk, tidak seorang pun di antara mereka mengucapkan sepatah kata pun tentang hal itu.Setelah makan malam usai, keluarga kecil itu memilih untuk menikmati keteduhan di gazebo taman. Udara malam terasa sejuk dan menyegarkan, dengan langit yang dihiasi ribuan bintang berkilauan.Sebastian mengeluarkan buah-buahan segar yang telah disiapkan sebelumnya. Lena duduk di lantai gazebo dengan kaki telanjang
Alicia Moore berdiri di sana, menyaksikan pemandangan ini, dan tidak dapat menahan diri untuk tidak menoleh untuk melihat pria di sampingnya. Perasaan hangat menjalar di dadanya, melihat bagaimana Ryan dengan tenang menangani situasi yang tadinya penuh ketegangan. Dulu, Lena selalu dirundung oleh anak laki-laki di kelas karena sifatnya yang tertutup. Alicia sering datang ke sekolah untuk berdebat dengan orang tua anak-anak yang menindas putrinya. Perdebatan itu selalu berakhir dengan kelelahan mental dan fisik baginya. Namun kini, situasinya telah berubah total. Lena Moore yang dulunya diganggu, justru menjadi pihak yang menghajar orang lain. Dan sekarang, Alicia menyaksikan bagaimana Ryan menangani masalah ini dengan begitu elegan. Ketika hal seperti itu terjadi, sebagai orangtua, wajar saja untuk meminta maaf. Tapi Ryan melakukannya dengan cara yang membuatnya tampak berwibawa, bukan lemah. "Dokter Ryan, bisakah Anda juga memeriksa anak saya? Dia selalu mengeluh kakin
Ryan Drake sambil berpikir mengangkat kepalanya. Tatapannya jatuh pada Alicia yang tampak aneh sejak beberapa menit terakhir. Wanita itu duduk di sampingnya, tapi matanya menerawang jauh, seolah jiwanya tidak berada di sana. "Alicia?" panggilnya pelan. Tidak ada respon. Wanita itu masih termenung, jemarinya sesekali memainkan ujung rambutnya—kebiasaan yang muncul saat pikirannya sedang berkelana. "Alicia," panggil Ryan sekali lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Tetap tidak ada jawaban. Kening Ryan berkerut khawatir. Ia mengulurkan tangan dan dengan lembut membelai pipi Alicia. Sentuhan itu akhirnya berhasil mengembalikan kesadaran wanita tersebut. "Ada apa denganmu?" tanya Ryan lembut saat mata Alicia akhirnya fokus kembali. "Aku baik-baik saja," jawab Alicia cepat, menggelengkan kepala untuk menutupi rasa malunya. Semburat kemerahan muncul di pipinya, membuat Ryan semakin penasaran dengan apa yang sedang dipikirkannya. Ryan memilih untuk tidak bertanya lebih ja
Ketika kepala asisten rumah tangga tua itu keluar dan menghilang, Alicia Moore hanya mengalihkan pandangannya. Ada kecurigaan samar yang muncul dalam benaknya, namun setelah berpikir sejenak, ia tersenyum dan menggelengkan kepala sebelum masuk ke dalam vila. Di ruang tamu, Ryan Drake tampak terkejut melihat Alicia melangkah masuk. Tidak biasanya wanita itu pulang pada jam seperti ini—Alicia selalu disiplin dengan jadwal kerjanya dan hampir tidak pernah pulang lebih awal. "Mengapa kamu kembali sepagi ini?" tanya Ryan sambil meletakkan mangkuk teh yang sedang dipegangnya. Alicia tersenyum ringan. Ia melepas sepatu hak tingginya dan berjalan mendekat, lalu duduk di samping Ryan. Tanpa diminta, Ryan menuangkan teh untuknya dan menyodorkannya dengan gesture yang sudah terbiasa. Setelah menerima mangkuk teh itu, Alicia menyesapnya perlahan. Alisnya terangkat ketika sensasi berbeda menyentuh indera perasanya. "Teh ini rasanya berbeda dari yang biasa kamu seduh," komentar Alicia d
"Aku sangat senang kalian bisa berbaikan seperti sebelumnya." "Jika aku bisa melihat anak kedua kalian lahir, aku bisa memejamkan mata dan tersenyum puas." Ibu Alicia menatap Ryan Drake dan berkata dengan lembut. Wanita yang duduk di sebelahnya tertawa riang mendengar perkataan kakak kandungnya. "Kakak selalu saja begitu, masih terobsesi ingin menggendong cucu laki-laki," ujarnya sambil menggeleng geli. Ryan Drake duduk dengan tenang, mendengarkan pembicaraan kedua wanita berpengaruh itu dengan senyum tipis. Dalam hatinya, dia memahami betul tradisi keluarga besar yang sangat mementingkan garis keturunan. Keinginan untuk memiliki pewaris laki-laki memang sudah mendarah daging dalam budaya mereka. Meredith Moore menegakkan punggungnya, matanya yang mulai meredup karena sakit tetap memancarkan ketegasan. "Mungkin kalian menganggap pemikiranku kuno dan patriarkal, tapi beginilah cara aku dibesarkan. " "Cia sudah memilihmu, Ryan. Sudah sepantasnya dia memberimu keturunan untuk
Ketika Ryan Drake melangkah memasuki Vila Lacrosse di Grand Hyatt, matanya tertuju pada seorang wanita yang duduk di sofa empuk dekat jendela bergaya Eropa. Kelopak matanya berkedut beberapa kali saat mengenali sosok itu.Jika wanita yang ditemuinya kemarin memiliki sedikit kemiripan dengan Alicia Moore, maka wanita ini benar-benar terlihat seperti versi dewasa dari kekasihnya. Garis wajah dan mimik di antara alisnya begitu serupa, sampai-sampai jika bukan karena faktor usia, Ryan mungkin akan mengira dia berhadapan dengan saudara kembar Alicia.Melihat wanita ini, Ryan tidak perlu bertanya-tanya lagi tentang identitasnya. Dia berdiri dengan tenang, membungkuk, dan memberi hormat.Tak peduli seberapa tinggi status yang dimilikinya dulu sebagai Iblis Surgawi, wanita ini tetaplah ibu Alicia Moore—ibu mertuanya secara tidak resmi. Ketika Alicia memutuskan untuk mengikutinya ke Crocshark dulu, ayahnya sangat menentang keputusan itu, tetapi wanita ini tidak pernah melarangnya. Dan setela
Lima Gunung Suci di Windhaven adalah tempat para raja dari dinasti-dinasti terdahulu lahir. Legenda dan mitos menyelimuti tempat-tempat sakral itu. Tapi bagi Ryan, ada makna yang lebih dalam. Saat masih berada di Alam Surgawi sebagai Iblis Surgawi, dia pernah mencari catatan tentang planet Bumi. Dalam arsip kuno yang berdebu, dia menemukan beberapa dokumen menarik. Rupanya dahulu kala, sekelompok kultivator telah meninggalkan planet ini dan menjelajahi kedalaman Alam Kultivasi. Di antara mereka, ada yang mencapai level Dao Fussion—tingkat kultivasi yang sangat tinggi. Dalam catatan itu, tiga tempat disebutkan secara khusus: Crimson, Ergo, dan Prosper. 'Tempat-tempat peninggalan kultivator kuno,' pikir Ryan. 'Mungkin masih ada warisan atau harta karun yang tersembunyi di sana.' "Kenapa Kakek ingin ke Gunung Prosper?" tanya Rebecca, memecah lamunan Ryan. "Sudah lama sekali aku ingin ke sana," Steve menjawab dengan mata menerawang. "Dulu waktu muda, aku berjanji pada mendiang is
Setibanya di gedung Moore Group, pemandangan yang menyambut mereka sungguh luar biasa. Belasan pria kekar membawa kotak-kotak besar memasuki lobi. Karyawan yang lewat berbisik-bisik penasaran. "Itu uang dari Gerard Rex," Ryan menjelaskan. "Tiga puluh miliar tunai." Mata Alicia melebar. Kecepatan suaminya menghasilkan uang benar-benar mengerikan. Banyak perusahaan besar pun tidak bisa menandingi ini. "Kamu tahu," Alicia bergumam sambil mengamati kotak-kotak itu dibawa ke lantai keuangan, "kadang aku pernah berpikir untuk berhenti saja. Pulang, mengurus rumah, mendukungmu dan Lena." Ryan meliriknya terkejut. "Benarkah?" "Hanya sesaat," Alicia menggeleng. "Aku tetap ingin membuktikan pada ayahku bahwa aku bisa sukses tanpa bantuan Keluarga Moore." Ryan mengusap rambutnya dengan sayang. "Aku mendukung apapun pilihanmu." "Aku tahu," Alicia tersenyum. "Tapi aku tidak mau hidup di bayang-bayangmu selamanya. Aku ingin punya pencapaian sendiri." "Dan kau akan mencapainya," Ryan meyaki