Selesai dari kantor Angga, Adisti kembali ke tempatnya dan mulai melakukan pekerjaannya. Adisti berusaha fokus dengan yang dia lakukan. Ada event tiga bulan berturut-turut yang diikuti kantor untuk promosi produk dan meningkatkan penjualan. Adisti tidak bisa main-main. Meskipun masih baru, dia dituntut untuk profesional. Tidak bisa berlagak belum tahu lalu minta dimaklumi jika ada kekeliruan. Bagaimanapun dia akan dituntut kerja maksimal seperti yang lain. Sayangnya, sesekali Adisti terganggu dengan bayangan Vernon. Semakin sering bertemu dan melihatnya, Vernon tampak begitu mengagumkan di mata Adisti. Entah kenapa gerak-gerik pria itu sangat melekat di hatinya. Adisti suka memperhatikannya. Cara Vernon bicara, saat dia tersenyum dan tertawa. Suaranya yang kadang renyah, kadang juga berwibawa. Perhatian dan kebaikannya pada karyawan, semua membuat Adisti melihat sisi keistimewaan Vernon. "Halo, Pak Bos. Oke, understood." Hanny menerima panggilan interkom dari Vernon. Dia menoleh pada
Adisti merasa ada yang mencekat di lehernya. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana pertanyaan Vernon. Jika dia katakan Felicia putrinya, pasti akan muncul pertanyaan lain. Jika dia bilang Felicia adiknya, dia seperti mengingkari kenyataan dia adalah seorang ibu. "Beda jauh ya, umur Cia sama kamu. Sepertinya lebih dua puluh tahun." Vernon mulai memikirkan. Dia menoleh pada Adisti. "Lebih cocok jadi anakmu rasanya. Dia adik atau keponakan?" Jantung Adisti makin tidak karuan dengan pertanyaan itu. Bagaimana dia menjelaskan semuanya? Tepat saat itu mereka hampir sampai di sekolah Felicia. Di depan mereka tampak gedung besar tempat Felicia bersekolah. Terlibat kesibukan anak-anak kelas TK yang pulang sekolah. Ini jam Felicia pulang juga. "Cia pulang jam berapa?" Vernon melanjutkan lagi ke pertanyaan lain. "Ini jam dia pulang sebenarnya." Adisti tidak mungkin berbohong. "Ah, bagus kalau begitu. Kita ajak saja sekalian." Vernon tersenyum lebar. Adisti menatap Vernon. Ini bos kenapa?
Jantung Adisti seperti mau copot mendengar Felicia dengan polosnya bicara pada Vernon. Kalau bisa, Adisti ingin lenyap tenggelam ke dasar bumi. "Ingin punya ayah?" Vernon menatap dua mata bening di depannya itu. Lalu dia alihkan pandangan pada Adisti. "Cia, tadi belum pipis, kan? Ayo, pipis dulu. Kita ke toilet." Adisti berdiri dan dengan cepat menuntun Felicia menuju kamar kecil. Sebenarnya bukan karena Felicia pingin buang air kecil, tapi Adisti tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan Vernon. Mau tidak mau, Felicia manut pada ibunya. Selesai urusan kamar kecil, sebelum kembali ke meja mereka, Adisti bicara pada Felicia. "Sayang, ga usah bicara soal ayahmu di depan Om Vernon. Oke?" Adisti memastikan Felicia mendengar yang dia katakan. "Kenapa?" Felicia bingung dengan yang ibunya ucapkan. "Pokoknya ga usah bicara soal ayah lagi." Adisti tidak tahu bagaimana membuat Felicia mengerti. Nada suara Adisti sedikit naik, membuat Felicia langsung ciut. Dia mengerti ibunya marah. "
"Itu rumahku, Om! Besar!" Felicia dengan wajah gembira menunjuk rumah besar di ujung jalan yang tinggal seratus meter di depan mereka. "Kos Ibu Meity?" Vernon membaca papan nama di depan rumah besar itu. "Iya, Pak. Ibu Meity pemilik kos-kosan wanita ini. Aku beruntung bisa tinggal di sini gratis. Dia jadikan karyawan saat pertama masuk ke rumah ini." Adisti menjelaskan. "Ah, begitu. Ramai berarti rumah kalian." Vernon memperhatikan suasana rumah. Tampak sepi. Mobil berhenti di pinggir jalan. Vernon sengaja tidak masuk ke halaman karena dia tidak akan lama di situ. "Om, ga boleh masuk ke dalam, hanya di teras. Soalnya rumahnya buat cewek aja." Felicia langsung memberi informasi aturan di tempat kos itu. "Om ga turun kok, harus cepat balik kantor. Lain kali saja, ya?" kata Vernon. "Oke, Om. Tapi tunggu dulu, aku udah janji mau kasih sesuatu." Dengan cepat Felicia turun dari mobil dan berlari kecil masuk ke rumah. "Pak, saya mau lihat Cia sebentar. Bapak tidak apa duluan kalau ...
Perintah itu cukup mengejutkan Adisti. Membuat design bukan hal mudah. Apalagi dengan waktu mendesak, sangat mungkin tidak maksimal hasilnya. Belum lagi pekerjaan hari itu yang tertunda karena acara jalan-jalan menenangkan hati si Bos. "Adisti?" Angga membuyarkan pikiran Adisti yang mulai melompat ke sana sini. "Eh, yakin besok, Pak?" tanya Adisti sedikit ragu. "Kamu bisa atau tidak? Tegas dan jelas bicara," tandas Angga. "Baik, Pak. Bisa." Adisti mengangguk. "Nice. Aku harap kamu tidak akan mengecewakan divisi ini. Yang lain sudah punya tugas. Aku tidak bisa menambah lagi beban mereka. Kamu pasti paham itu." Angga melanjutkan. "Saya paham, Pak." Adisti kembali mengangguk. "Good. Kembali ke tempat kamu. Jika ada kesulitan tidak masalah kamu tanya pada yang lain atau langsung padaku. Oke?" pesan Angga. "Baik, Pak," tukas Adisti. Dia hampir yakin pasti bertanya pada yang lain. Adisti kembali ke mejanya dan mencermati deretan pekerjaan yang sudah ada di dalam list hari itu. Sekia
Sampai di rumah, tidak ada waktu istirahat. Adisti menyempatkan bermain dan menemani Felicia hingga gadis kecil itu terlelap. Baru Adisti melanjutkan lagi urusan kuliah. Ujian tengah semester di depan mata, tak bisa diabaikan. Kesibukan di kantor tak bisa jadi alasan dia mengalah dengan sisi akademik yang dia kejar selama ini."Aduh, aku sudah ngantuk sekali. Tapi masih harus baca satu bab lagi. Ahhh ...." Adisti menguap. Dia usap-usap kedua matanya, memaksa tetap terjaga. "Adis, belum istirahat?" Meity masuk ke kamar Adisti. Dia duduk di tepi kasur, melihat pada Felicia sebentar, lalu kembali mengarahkan pandangan pada Adisti. "Masih belum kelar, Bu," jawab Adisti. "Jaga kesehatan. Tetap harus cukup tidur juga, Dis," pesan Meity. "Iya, Bu. Dikit lagi aku pergi tidur." Adisti menutup bukunya. Rasanya tak mampu lagi menerima masukan apapun di otaknya. "Dis, kalau Ibu tanya, kamu mau jawab tidak?" tanya Meity. Adisti menegakkan punggung dan memandang Meity serius. "Soal apa, Bu?"
"Kurasa aku bicara sangat jelas. Sepuluh menit lagi meeting akan dimulai. Cepat sana, siapkan yang kamu perlukan." Angga mengayunkan tangan, menyuruh Adisti segera bersiap."Pak, ini beneran, Pak? Bukan nanti siang?" Adisti masih tidak yakin dengan yang Angga katakan. "Rapat dimajukan. Kalau ga percaya, ini, bicara langsung dengan Pak Vernon. Aku ga mau dianggap mengada-ada. Urusan kerjaan ini bukan main-main, Adisti." Angga mengacungkan telepon yang ada du depannya ke arah Adisti. "Maaf, Pak, saya kaget. Jantung saya ...." Angga tersenyum lebar memandang pada wanita muda yang tampak memerah dan gugup itu. Dia paham Adisti merasa diatrik masuk gua singa rasanya. "Dis, yang di ruangan itu semua sama, suka makan ayam goreng dan minum es, kayak kamu. Ga usah grogi. Aku bantu kalau kamu perlu. Pak Vernon ingin kamu yang langsung menjelaskannya, sebab kamu yang paling paham detil dari design yang ada. Ngerti?" Angga bicara dengan lebih tenang, berharap ketegangan Adisti mereda. "Siap,
Adisti memandang dengan wajah tegang pada bos tampan yang hari itu keren dengan kemeja merah gelap hampir hitam. "Silakan presentasikan design kamu. Konsepnya bagaimana? Jelaskan sedetil mungkin," kata Vernon. "Iya. Baik, Pak." Adisti mengangguk. Suaranya terdengar sedikit gemetar. "Di sini, biar dibantu untuk menampilkan apa yang akan kamu sajikan." Vernon meminta Adisti mendekat di sebelahnya. Deg! Deg! Deg! Adisti makin tidak tenang. Tapi dia harus maju. Yang mulai dia kuatirkan bukan penampilannya. Jika presentasinya gagal, penampilan keren ala Hanny ini tidak ada gunanya. Adisti melangkah ke sisi Vernon dan memberikan file yang dia bawa pada salah satu asisten pimpinan yang bertugas menolong multimedia. "Adisti ...," panggil Vernon. Suaranya merendah, seperti sengaja dia pelankan. "Saya, Pak." Adisti lebih mendekat. "Santai saja. Ya?" Vernon tersenyum manis. Oh, tidak! Senyum itu makin membuat Adisti kelabakan. Tidak bisa Adisti tolak, di dekat Vernon, hatinya makin carut