Asher membawa Aleena pulang, ia menarik lengan kecil gadis itu untuk ikut dengannya masuk ke dalam kamar Aleena di lantai dua. Sejak tadi, Aleena berusaha untuk melepaskan cekalan tangan Asher. "Tuan, kita bicarakan baik-baik, jangan marah..." Ucapan Aleena terhenti saat Asher menutup pintu kamar dengan kuat. Laki-laki itu mendorong pelan Aleena ke sebuah sofa hingga gadis itu terduduk di sana, sebelum kedua lengan kekarnya mengurung pergerakan Aleena. "Sudah berapa kali kau bertemu dengannya?" tanya Asher dengan mata berkilat-kilat. Aleena menatapnya dengan berani. "Sekali. Dia ke sini mencari saya karena saya teman baiknya!" pekik gadis itu kesal. "Teman kau bilang?" Asher mencengkeram erat pinggiran sofa. "Seorang teman rela ke luar kota hanya untuk mencari temannya, heh?" Aleena mengerjap kedua matanya dan bibirnya menipis kesal. Asher tak pernah tidak marah bila bertemu dengannya. Apa dia pikir Aleena hanya bisa terus bersabar? "Memangnya kenapa, Tuan? Memangnya salah k
"Apa Tuan akan pulang kembali ke Murniche sekarang?" Aleena mencengkeram pelan bagian depan tuxedo yang Asher pakai. Ia mendongak menatap Asher dengan kedua iris cokelatnya yang bening dan tersisa air mata di sana. "Tuan tidak ingin di sini dulu sebentar?" tanya Aleena lagi. Asher menatap pandangan mata polos Aleena yang seolah berbisik dia tengah menahannya untuk tidak pergi. "Ya, aku ingin di sini menemanimu," jawabnya tenang. Helaan napas lega terasa oleh Aleena, jemari lentik tangannya melepaskan cengkeraman di tuxedo yang Asher pakai. Gadis itu tertunduk dan mengusap perut besarnya. Asher memperhatikannya sebelum laki-laki itu mengulurkan tangannya menyentuh perut Aleena dengan lembut.Desiran aneh menjalar di dada Asher, begitu juga Aleena yang kini menatapnya dan tersenyum sendu dengan kedua matanya yang sembab. "Dia sudah memasuki usia enam bulan minggu ini, Tuan" ujar Aleena. "Dan Tuan tidak pernah menyentuhnya sama sekali ... apa Tuan ragu tentang anak ini?" Mendenga
Sejak pagi hingga siang hari, Asher menemani Aleena. Sampai kini Aleena tertidur nyaman dalam rangkulan Asher sejak beberapa menit lamanya. Asher sengaja tak memindahkannya, ia membiarkan Aleena tertidur dalam pelukannya guna melepaskan rasa yang menyiksa di dalam dadanya. Karena Asher yakin, gadis ini benar-benar sangat merindukanya . "Bagaimana bisa dia tidur dalam posisi seperti ini?" gumam Asher mengusap pucuk kepala Aleena dan menariknya perlahan. Ditatapnya wajah cantik Aleena, wajah itu tampak sedikit basah karena keringat tipis di kulit putih Aleena. "Udara di sini masih terbilang dingin, tapi Aleena berkeringat..." Asher merapikan rambut panjang Aleena yang menutupi wajah gadis itu. Sebelum ia menyandarkan kembali kepala Aleena dalam rangkulannya. Kegiatan Asher yang tengah menatapi wajah cantik Aleena pun terusik, suara deringan ponselnya tak hanya membuatnya kaget, bahkan Aleena yang tertidur dalam pelukannya pun tersentak. "Ck! Siapa yang menelfon siang-siang seper
Setelah Asher pergi kembali ke Murniche, Aleena tampak bersemangat. Mengingat Asher berjanji akan datang malam ini untuk malam bersama. Aleena bergegas menuju dapur setelah Asher pergi. Di sana, ia mencari sesuatu yang ingin ia masak untuk menu makan malam nanti. "Nona Aleena sedang apa di sini? Nona istirahat saja, kalau butuh apa-apa nanti biar Bibi saja yang siapkan," ujar Bibi Julien mendekati Aleena. "Tidak Bi, aku ingin memasak untuk makan malam nanti bersama Tuan Asher," jawab Aleena. "Bersama Tuan Asher? Bukannya Tuan sudah pulang, ya?" Aleena menggeleng. "Tuan berjanji nanti malam akan ke sini lagi. Saat aku mengajaknya untuk makan malam bersama, Tuan menyetujuinya." Ekspresi berbunga-bunga itu tidak bisa disembunyikan dari wajah cantik Aleena saat ini. Dia terlihat sangat antusias membuka lemari es dan mengeluarkan beberapa bahan makanan. Gadis itu ingin memasak sendiri untuk menu makan malam nanti. Sedangkan Bibi Julien diam terpaku membisu di samping meja dapur mena
Aleena sudah bersiap, ia memakai dress barunya sore ini. Menyiapkan makan malam di meja makan dengan berbagai menu hingga ia merasa lelah karena sangat sibuk sejak siang. Namun, dari pukul enam, tujuh, delapan malam, Aleena tidak melihat tanda-tanda kedatangan Asher. Gadis itu berdiri di depan jendela dengan wajah gelisah. "Kenapa Tuan Asher belum juga sampai? Ini sudah hampir lewat jam delapan," gumam Aleena lirih. "Apa dia lupa?" Kedua mata beningnya terangkat menatap bulan yang bersinar terang malam ini. Aleena mengusap perutnya dengan perasaan hampa. "Tapi dia sudah berjanji. Tuan Asher yang aku kenal tidak akan mengingkari janjinya."Gadis itu perlahan kembali berjalan mendekati meja makan. Di pukul delapan lebih empat puluh lima menit, Aleena masih merasa punya harapan kalau Asher akan datang. Langkahnya kini mendekati meja makan dan Aleena duduk di salah satu kursi. Wajahnya mulai layu saat ia menatap hidangan dari steak, sup labu, hingga beberapa makanan lainnya. Semua
Setelah sisa rasa kecewa semalam tentang Asher membuat Aleena ingin menghabiskan harinya berdiam diri di dalam kamar. Namun, hal itu ternyata tidak terjadi. Karena pagi ini Bibi Julien mengetuk pintu kamar Aleena hingga beberapa kali. "Nona Aleena, ada seseorang di luar ingin bertemu Nona. Beliau bilang, beliau teman kerja Nona dari Murniche...." Suara Bibi Julien membuyarkan lamunan Aleena. Gadis itu langsung beranjak cepat dari duduknya. "I-iya, Bi. Sebentar!" Aleena segera membuka pintu kamarnya. "Dia di mana, Bi?" "Ada di teras depan, Nona. Tuan itu tidak mau saya ajak masuk," jawab Bibi Julien. Aleena segera bergegas turun ke lantai satu. Gadis itu berjalan ke depan menuju teras hingga dia sana ia melihat Samuel duduk di kursi kayu yang berada di teras. "Sa-samuel..." Aleena menatapnya terkejut. Laki-laki itu menoleh dan tersenyum. "Oh, hai ... maaf aku ke sini tidak mengabarimu lebih dulu," ujarnya.Aleena mengangguk kecil. "Ponselku mati, susah dinyalakan. Aku tidak tah
Sudah dua hari berturut-turut Samuel selalu datang di pagi hari ke Palonia. Dan ia selalu datang tanpa tangan kosong, berbagai jenis makanan yang ia belikan untuk Aleena. Seperti pagi ini, mereka berdua duduk bersama di teras. Samuel datang membawakan pancake apel untuk Aleena. Namun, Aleena tidak kunjung memakannya hingga membuat Samuel bertanya-tanya. "Al, kenapa? Kau tidak suka pancake apel?" tanya Samuel menyentuh punggung tangan Aleena. "Apa kau mau makanan yang lain? Biar aku belikan di luar...." "Oh, ja-jangan, Samuel!" pekik Aleena menggelengkan kepalanya cepat-cepat. Samuel memperhatikan perubahan wajah Aleena. "Kalau tidak suka, tidak usah dimakan." "Aku suka. Hanya saja ... aku mengingat seseorang," ucap Aleena melipat bibirnya dan tertunduk. Pancake apel adalah menu sarapan kesukaan Asher. Mengingat laki-laki itu membuat Aleena merasa kebas di ulu hatinya. Teringat bagaimana Asher mengingkari janjinya, padahal Aleena sudah berusaha payah, ia sudah kesenangan sepert
Sesampainya di rumah sakit, Aleena langsung ditangani oleh beberapa dokter di dalam sebuah ruangan khusus. Sementara Asher menunggu di luar bersama dengan Jordan. Tak henti-hentinya Asher menyalahkan dirinya sendiri atas apa yang terjadi pada Aleena. "Apa yang sudah aku lakukan?" Asher mengusap wajahnya putus asa. "Ya Tuhan, selamatkan anak dan istriku..." Laki-laki itu tertunduk memijit pangkal hidungnya. Di sampingnya, Jordan memperhatikan Asher yang sangat kalut. Untuk pertama kalinya ia melihat Asher semenyesal ini. "Tuan harus tenang, saya yakin Nona Aleena dan bayinya akan baik-baik saja," ujar Jordan. "Tapi dia sangat kesakitan. Itu semua karena aku ... bila terjadi sesuatu pada anakku, itu semua adalah salahku," ucap Asher mengusap wajahnya dengan kedua mata memerah. Dari arah lorong depan, tampak Samuel berjalan masuk ke dalam sana. Laki-laki itu melihat Asher di sana. Samuel datang karena ia sangat khawatir pada Aleena. Di sisi lain, ia ingin mengatakan sesuatu yang
Dua hari terasa cepat di depan mata. Hari pertunangan Theo dan Arabelle pun telah datang hari ini. Acara pertunangan itu dilaksanakan di sebuah gedung hotel bintang lima milik Keluarga Benedict. Semua tamu-tamu penting dari kedua keluarga itu pun datang. Arabelle tampak sangat cantik malam ini dengan balutan dress panjang berwarna biru muda. Arabelle berdiri di samping Theo dan kedua orang tua Theo setelah acara inti dimulai beberapa menit yang lalu. Theo meraih tangan Arabelle dan menatap cincin berlian bermata putih bening itu tersemat cantik di jari manis Arabelle. "Cantik sekali cincin ini ada di jari manismu," ucap Theo berbisik. Arabelle langsung menoleh dan gadis itu tersenyum manis sambil mengangguk. "Karena kau yang memilihkannya untukku." Kekeham pelan terdengar dari bibir Theo, ia merangkul Arabelle sambil menyapa beberapa tamu yang kini memberikan ucapan selamat pada mereka. "Ini baru pertunangan, sudah sebanyak ini tamu Papa," ucap Theo. "Bagaimana kalau
Beberapa bulan berlalu, hari-hari yang dilalui oleh Theo semakin berubah. Dari yang semula hidupnya serba tenang-tenang saja, kini menjadi sibuk layaknya ia dulu melihat sang Papa.Apalagi Theo merasakan tentang jatuh cinta, memiliki kekasih, dan menyayanginya. Arabelle adalah alasan bagi Theo untuk selalu bersemangat setiap hari. Seperti sore ini, Theo berkumpul bersama orang tuanya dan juga keluarga Arabelle di kediaman Jordan. "Kenapa Tuan Asher dan Nyonya Aleena tidak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini," ujar Hani pada mereka berdua."Memangnya kalau kami bilang-bilang apakah ada sambutan yang sangat meriah?" tanya Asher dengan nada bergurau. Kakek dan Nenek Arabelle itu pun tertawa. Bahkan Arabelle dan Theo yang duduk di sofa seberang ikut tertawa mendengarnya jawaban Asher. "Kami bertiga ke sini karena ada tujuan tertentu, Nyonya Hani," ujar Aleena. "Ada apa?" tanyanya. "Pasti ingin membahas tentang anak-anak, kan?" tanya Julian—Kakek Arabelle. "Benar Tuan." Asher menga
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut