Dua hari berlalu, Aleena menghabiskan hari-harinya dengan penuh kegundahan. Tak sehari pun ia tidak merasa resah, memikirkan bayinya, dan bagaimana Aleena bisa mempertahankan anak ini untuk terus bersamanya. Sampai akhirnya pagi ini Aleena didatangi oleh Samuel di kediamannya. Sahabatnya datang tiba-tiba dengan wajah cemas, saat Aleena membukakan pintu. "Samuel," sapa Aleena dengan wajah terkejut. "Ke-kenapa kau ke sini lagi?""Aku mencarimu di rumah sakit, aku pikir kau masih dirawat di sana," ujarnya sambil menatap Aleena lekat-lekat. "Aku terus kepikiran dirimu, Al. Beberapa hari yang lalu aku sibuk di kantor dan sekolah jadi aku tidak sempat menjengukmu." "Ya ampun, Samuel ... ayo masuk," ajak Aleena. "Tidak usah. Kita duduk di sini saja," ujar Samuel menahan lengan Aleena. Samuel memperhatikan wajah Aleena yang tampak pucat dan kurus, juga bibir tipisnya yang kering hingga terlihat Luka kecil di sana. Kenapa Aleena menjadi begini? Padahal hanya beberapa hari saja Aleena saki
Di pagi yang mendung ini, Aleena berhasil menghubungi Marsha dan membuat janji untuk bertemu. Ia merasa sangat beruntung saat Marsha tidak menolak ajakannya. Aleena mendatangi sebuah rumah makan mewah di pusat kota Palonia. Sudah setengah jam lamanya ia menunggu Marsha, sampai wanita itu tiba dan masuk ke dalam ruangan di mana hanya ada ia dan Marsha di sana. "Selamat pagi, Nyonya ... silakan duduk," ujar Aleena berdiri dari duduknya. Marsha menatap Aleena tajam, sudut matanya memicing tajam seketika. "Untuk apa kau mengajakku bertemu, Aleena? Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Marsha tanpa basa-basi. Aleena tertunduk dan menarik napasnya pelan. Ia mengumpulkan keberanian dalam dirinya untuk mengatakan ini semua. "Sebelumnya saya ingin meminta maaf pada Nyonya. Saya ingin membahas tentang anak ini," ujar Aleena mengusap perutnya. Kedua alis Marsha menukik seketika. "Apa maksudmu? Kenapa dengan anak itu?" "Nyonya, saya tahu Nyonya sangat membenci saya dan anak ini ka
Air hujan yang turun membasahi sekujur tubuh Aleena. Gadis itu berjalan kaki pulang kembali ke rumahnya setelah bertemu dengan Marsha. Dinginnya air yang semakin deras setiap detiknya, Aleena mampu menyembunyikan air mata yang menetes untuk beribu kalinya dari pelupuk mata Aleena. 'Pada akhirnya, aku menjadi seorang Mama yang buruk untuk anakku, Mama yang tidak bisa melindungi anaknya sendiri ... bahkan dalam hidup ini aku gagal dalam segala hal.' Aleena mengangkat kedua telapak tangannya yang gemetar, merasakan derasnya air hujan yang membasahinya. "Seandainya aku tidak membawa nyawa baru dalam perutku, aku pasti akan mengakhiri hidupku," lirih Aleena. Gadis itu berjalan dan berdiri di sebuah jembatan kota. Di tengah hujan deras yang membuat lalu lintas di sekitar sana sepi. Aleena menatap ke bawah, betapa derasnya air sungai yang mengalir. Ia berpikir berlipat-lipat untuk mengakhiri hidupnya. Bila ia mati, anak yang tidak bersalah ini pun juga akan mati, bahkan di saat ia belu
Kedatangan Asher di kediaman keduanya di Palonia disambut oleh Bibi Julien. Dengan wajah cemas, Asher menatap pembantunya yang juga tampak resah."Di mana Aleena?" tanya Asher pada wanita itu. "Ada di kamarnya, Tuan. Nona Aleena tidak keluar kamar sejak pagi tadi," ujar Bibi Julien. Asher berdecak kesal, ia bergegas naik ke lantai dua di mana kamar Aleena berada. Laki-laki itu awalnya mengira Aleena akan mengunci pintunya, namun ternyata pintu itu justru sedikit terbuka hingga tak menyusahkan Asher untuk mengetuk pintu kamar itu. Asher melangkah masuk ke dalam kamar dan menghampiri Aleena yang berdiri di depan jendela kamarnya. Aleena yang menyadari kedatangan Asher, gadis itu hanya diam menatapnya seolah ia bisa menebak dirinya akan dimarahi habis-habisan. "Katakan ... kenapa kau diam-diam bertemu dengan Marsha dan kau berniat akan pergi membawa anak kita, Aleena?" desis Asher. "Apa maksudmu mengembalikan uang yang pernah aku berikan padamu, dan kau mengkhianati perjanjian di a
Setelah pertengkarannya dengan Aleena beberapa jam yang lalu, Asher masih berada di rumah itu. Ia tidak ingin meninggalkan Aleena yang sedang mengurung diri di dalam kamar. Asher terdiam di ruang keluarga sendirian. Laki-laki itu duduk menatap ke arah luar di mana hujan masih belum berhenti sejak pagi. 'Marsha pasti mengatakan hal yang tidak-tidak pada Aleena. Apa Marsha yang mengatakan benci dan merasa jijik dengan anakku?' batin Asher terus kepikiran. 'Sampai hal itu membuat Aleena tidak ingin melepaskan anaknya, dia memilih mengganti uang satu miliar itu dan memilih pergi? Tetapi kalau bukan Marsha, siapa lagi?!' Asher mendongakkan kepalanya dan memijit pangkal hidungnya. "Apa maunya wanita itu!" desis Asher. Kegiatan Asher tersita saat ia mendengar suara langkah kaki perlahan-lahan menuruni anak tangga. Laki-laki itu menoleh cepat dan benar, ia melihat Aleena berjalan menuju ke lantai satu. Asher segera beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati gadis itu. "Kau mau ke m
Asher menemui Samuel di tempat yang terletak tak jauh dari gedung sekolah, di mana laki-laki itu bekerja sebagai seorang guru. Kemunculan Asher seolah sudah ditebak oleh Samuel. Laki-laki dengan balutan kemeja abu-abu itu berjalan mendekatinya di sebuah tempat yang tampak sangat sepi "Ada perlu apa mencari saya, Tuan Asher?" Samuel menatap Asher dengan lekat. Wajah dingin Asher menunjukkan kekesalan yang luar biasa pada laki-laki itu. Dengan tampang yang tenang dia malah bertanya apa perlunya Asher. Tanpa basa-basi, Asher langsung menarik krah kemeja yang Samuel pakai tanpa rasa ragu sedikitpun. Rahang Asher mengetat hingga bibirnya menipis marah, dengan tatapan tajam pada Samuel. "Harus berapa kali aku peringatkan padamu untuk tidak menemui Aleena lagi, huh?! Apa kau pura-pura tidak bodoh … Aleena itu istriku! Kau hanya orang luar dan jangan ikut campur urusan kami!" tegas Asher dengan wajah geramnya. Mendengar ucapan Asher, sontak Samuel meraih tangannya dan menepis tangan As
Kemarahan Asher membuat Marsha ketakutan. Tak hanya itu, ia juga takut dirinya akan disingkirkan oleh Asher. Marsha mengejar Asher yang kini berjalan meninggalkan kamarnya masih dengan kemarahan yang hebat. "Asher, tunggu!" pekik Marsha meraih tangan Asher dan mengimbangi langkah kakinya yang lebar. "Asher ... aku benar-benar minta maaf. Aku tidak menyengaja hal itu pada Aleena. Aku mohon maafkan aku, Asher. Jangan marah begini," tangis Marsha mencekal tangan Asher. Asher menepis tangan wanita itu berulang kali. Sampai kini mereka tiba di lantai satu, Asher menghentikan langkahnya dan ia menatap Marsha tajam. "Cukup, Marsha! Tidak ada gunanya kau memohon sekalipun padaku," seru Asher.Laki-laki itu menyugar rambutnya dan menuding wajah istrinya sekali lagi. "Sekali lagi aku mendengar atau melihatmu menindas Aleena ... awas kau!" sinisnya. "Aku melakukan itu karena kau selalu bersamanya, Asher! Kau sering menghabiskan waktumu dengan Aleena, bukan denganku!" pekik Marsha mendongak
Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi yang Aleena lalui kemarin. Gadis itu terbangun dengan pelukan hangat yang mendekapnya. Aleena menatap wajah Asher yang kini berada tepat di hadapannya. Laki-laki itu masih setia memejamkan kedua matanya dan terlihat begitu kelelahan setelah Asher memutuskan untuk tidur pukul dua dini hari. "Tuan Asher," lirih Aleena menyentuh pipi putih laki-laki itu dengan jari telunjuknya. Tak ada pergerakan apapun hingga Aleena yakin kalau Asher benar-benar tertidur pulas.Menatapnya seperti ini membuat Aleena tersenyum tipis. Teringat bagaimana Asher mengakui kalau Aleena adalah istrinya, meskipun kenyataan itu membuat Aleena nelangsa, karena ia masih merasakan dirinya berdiri di atas pernikahan yang terjadi tanpa cinta di dalamnya. Dan Aleena bukan sepenuhnya istri yang Asher inginkan sejak awal. 'Apakah ini yang dimaksud cinta habis pada satu orang?' batin Aleena sambil memandangi Asher. 'Dan aku, tidak tahu apakah yang aku rasakan sekarang ini perasaan cint
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang
Sekolah pulang pukul sembilan, itu terlalu pagi untuk bersantai-santai di rumah. Theo pun berkumpul dengan teman-temannya di warung belakang sekolah. Semua teman-temannya berada di sana. Tetapi Theo sedang menyusul Arabelle di sekolah, ia mengajak gadis itu ikut dengannya dulu, karena Ayahnya belum bisa menjemputnya. "Si Bos ke mana?" tanya Gerald sambil mengambil gitarnya di atas kursi. "Tuh, lagi jemput Arabelle," jawab Vero. "Tidak menyangka ya, cowok ajaib seperti Theo setia sama satu cewek," ujar Adam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Dari bayi lagi!" sahut Gery. Semua teman-temannya pun tertawa mendengar hal itu. Hingga kini Theo melangkah masuk ke dalam tempat itu bersama dengan Arabelle. Tampak Ibu pemilik warung tersenyum saat melihat Theo bersama Arabelle ke sana. "Diajak duduk di dalam saja, Theo. Kasihan kalau di luar panas," ujar wanita itu. "Iya, Bu." Theo mengangguk. Arabelle duduk di sebuah bangku, dia terus memegangi lengan Theo karena gadis itu tidak
Keesokan harinya, Arabelle pergi ke sekolah seperti biasa. Gadis itu datang lebih pagi kali ini. Di depan pintu gerbang, Vivian sudah menunggu Arabelle. "Arabelle ... hai!" pekik Vivian langsung memeluknya, tampaknya gadis itu sangat kegirangan pagi ini. Arabelle menyipitkan kedua matanya. "Hemm, ada apa ini? Rasa-rasanya bahagia sekali," ujar gadis itu pada temannya. "Iya! Aku sangat senang sekali!" seru Vivian menganggukkan kepalanya penuh antusias. "Ada apa, Vian? Tidak mau bilang-bilang sama Arabelle?" tanya Arabelle sambil berjalan dengan bantuan Vivian yang memeluk lengannya. "Iya, aku akan memberitahumu. Tapi jangan kaget, ya," ujar Vivian. "Oke, siap!" Arabelle mengangguk patuh. Vivian pun menarik pundak Arabelle dan ia membisikkan sesuatu pada Arabelle saat itu juga. Sampai tiba-tiba langkah Arabelle terhenti, gadis itu terdiam mematung seketika. Ekspresi Arabelle sontak membuat Vivian tertawa terpingkal-pingkal."Vian!" pekik Arabelle. "Iya. Aku dan si Dugong sudah
Arabelle dan sang Ayah kini pergi ke rumah sakit ibu kota. Hari ini adalah jadwal Arabelle untuk cek up terkait kondisi kesehatannya. Bersama Jordan yang selalu menemaninya, Arabelle tampak duduk di samping sang Ayah yang kini menunggu hasil pemeriksaan oleh dokter. "Ayah, Ara pasti sembuh, kan?" bisik Arabelle memeluk lengan sang Ayah. Jordan menoleh dan tersenyum, laki-laki itu mengecup pucuk kepala putri kesayangannya. "Pasti, Nak. Ayah akan mengusahakan yang terbaik untuk anak Ayah," jawab Jordan. "Kalau biayanya mahal, bagaimana, Ayah?" tanya gadis itu. "Biar saja meskipun Ayah harus menjual ginjal asal anak Ayah sembuh," jawab Jordan. Kedua mata Arabelle membola. "A-Ayah tidak menjual ginjal, kan?" pekik gadis itu. Jordan tertawa pelan. "Tentu saja tidak, Sayang. Uang Ayah sangat banyak, jangan khawatir. Bahkan Ayah bisa membeli rumah sakit ini." Arabelle langsung terkikik geli. "Ayah tahu tidak, nanti kalau Arabelle sudah lulus sekolah, Arabelle ingin meneruskan ke per
Cahaya matahari berwarna jingga sore ini. Arabelle ditemani Theo berdua di depan gerbang sekolah menunggu Ayah gadis menjemputnya. Theo yang masih ada jadwal latihan basket pun belum diperbolehkan pulang. Dan ia menemani Arabelle di sana. "Kenapa Ayah lama sekali?" gerutu Arabelle meremas tongkat di tangannya. "Mungkin masih di kantor," jawab Theo. "Pasti sekarang sudah di perjalanan. Papa paham kalau Ayahmu sekarang tidak bisa bekerja full seperti dulu." "Om Asher tidak marah kan, Kak?" tanya Arabelle. "Tentu saja tidak." Theo tersenyum dan mengusap pucuk kepala Arabelle dengan lembut. Arabelle pun juga tersenyum. Gadis itu memeluk satu lengan Theo dan menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Dari dalam gerbang sekolah, muncul seorang siswa membawa sebuah motor sport sama seperti milik Theo dan dia berhenti di depan gerbang menoleh ke arah Theo dan Arabelle. "Sedang apa berduaan di sini?" tanyanya pada mereka berdua. "Mau apa? Kau tidak terima? Atau iri?!" seru Theo tanpa sung