Esok harinya, Aleena mendatangi kediaman Keluarga Benedict bersama Carl.
Ya, Aleena sudah membuat keputusan. Ia akan menerima tawaran menjadi ibu pengganti demi pengobatan ayahnya, sekaligus membuktikan pada Carl bahwa ia bukan gadis yang mudah diperdaya.
Aleena bersandiwara seolah tidak tahu kenyataan menyakitkan bahwa selama ini calon suaminya telah berkhianat.
"Aku yakin, Sayang, kau tidak akan menyesali keputusanmu," bisik Carl yang kini duduk bersebelahan dengan Aleena di ruang tamu rumah mewah itu.
"Ya," balas Aleena singkat.
Dapat Aleena lihat betapa berseri-serinya wajah Carl saat ini, seolah tak sabar mendapatkan keuntungan besar dengan memanfaatkan dirinya.
Tapi hal itu tak akan terjadi. Aleena akan memastikan Carl tidak mendapat keuntungan sepeser pun darinya!
"Aku berharap setelah ini Papa cepat sembuh," ujar Carl menoleh pada Aleena dan tersenyum lembut. "Dan kita akan segera menikah."
Aleena hanya tersenyum kecut dan merasa jijik mendengar ungkapan penuh kebohongan dari Carl. Kata-kata manisnya benar-benar membuat Aleena muak.
Tak ingin meladeni pria itu, Aleena mengalihkan pandangannya pada rumah bak istana yang ia kunjungi sekarang ini.
Keluarga Benedict benar-benar kaya raya hingga membuatnya terkagum-kagum dalam diamnya.
Beberapa menit kemudian, muncullah seorang wanita cantik berpakaian glamor dan berkelas dengan rambut hitam sepunggung. Ia berjalan dengan sangat anggun menuju ruang tamu di mana Aleena dan Carl menunggu.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Carl tersenyum lebar.
Wanita cantik berbalut gaun berwarna navy itu tersenyum formal. "Selamat pagi," balasnya. "Apakah dia…?"
"Benar Nyonya, saya datang bersama dengan gadis yang tadi saya bicarakan dengan Nyonya," ujar Carl tak sabaran.
Manik cokelat wanita itu pun bergerak melirik gadis cantik yang berada di samping Carl.
Aleena langsung membungkukkan badannya memberi hormat. "Senang bertemu dengan Nyonya Benedict. Perkenalkan saya Aleena Pandora," ucapnya dengan sopan.
"Senang juga bertemu denganmu, Aleena. Panggil aku Nyonya Marsha Benedict," ujar wanita itu.
Dengan posisi duduknya yang tegap, Marsha menatap Aleena dengan pandangan yang menelisik jeli seolah tengah menilai.
Tentu saja tatapan Marsha membuat Aleena tidak nyaman.
"Carl sudah menjelaskan padamu tentang tawaran yang aku berikan, Aleena?" tanya Marsha kemudian.
"Sudah, Nyonya."
Marsha meraih secangkir teh di hadapannya. Bahkan gerakan sederhana itu tampak sangat anggun di mata Aleena.
"Apa yang membuatmu menerima tawaran ini?" tanya Marsha, usai menyeruput teh di dalam cangkir yang ia pegang.
Jemari tangan Aleena meremas kuat rok hitam yang ia pakai, menunjukkan betapa gugupnya ia dengan pertanyaan yang Marsha berikan padanya.
"Karena saya … butuh uang untuk biaya pengobatan Papa saya yang sedang sakit, Nyonya," jawab Aleena jujur.
Senyuman tipis terukir di bibir Marsha, seolah tampak puas. Ia lantas menatap Aleena lamat-lamat.
“Aku membutuhkanmu untuk melahirkan keturunan bagi Keluarga Benedict. Jadi, kau akan tidur bersama suamiku sampai kau berhasil mengandung anak untuk kami. Tidak lebih dari itu.”
Aleena tampak gugup dan cemas. Ia tidak bisa membayangkan dirinya harus tidur bersama pria yang sudah beristri!
"Kalau kau tidak siap, kau bisa mundur sekarang juga," sahut Marsha lagi. “Aku tidak butuh wanita yang tidak punya pendirian.”
Aleena menggigit bibir dalamnya untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia sudah bertekad akan melakukan apapun untuk Papanya, dan membalaskan kemarahannya pada Carl.
Kemudian, Aleena menatap Marsha dengan penuh keyakinan.
"Saya siap, Nyonya. Apapun akan saya lakukan untuk memenuhi permintaan Nyonya Marsha."
Mendengar jawaban Aleena, Marsha tersenyum miring. Ekspresinya menunjukkan bahwa ia menikmati keputusasaan gadis di hadapannya ini.
Marsha mengangguk. "Bagus. Kalau begitu, apa satu miliar cukup untuk membayar kesepakatan kita, Aleena?"
Kedua mata Aleena membola mendengar jumlah yang Marsha tawarkan. Uang itu lebih dari cukup untuknya.
"Sa-saya rasa cukup, Nyonya—"
"Apa kau yakin, Aleena? Bukannya itu kurang?" sahut Carl di samping Aleena.
Marsha beralih pada Carl sambil menaikkan kedua alisnya. "Jadi ... kurang ya?" tanya wanita itu sambil tersenyum.
Bagi Aleena, senyuman itu tampak merendahkan.
Aleena yang sadar kalau Carl hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan uang dari Marsha, lantas langsung menggelengkan kepalanya cepat dan menyangkal apa yang Carl katakan.
"Tidak, tidak kurang, Nyonya. Itu sudah lebih dari cukup untuk biaya operasi Papa saya," sela Aleena.
“Tapi—”
Aleena langsung menatap Carl sengit, memintanya untuk diam. Meski tampak tidak senang, Carl akhirnya pasrah.
"Baiklah. Aku akan mengurus biaya pengobatan Ayahmu. Kau fokuslah pada kesepakatan kita," ujar Marsha dengan tegas.
Aleena mengangguk. "Baik, Nyonya."
Sedangkan Carl terlihat kesal. Padahal ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendapatkan uang lebih banyak, tapi Aleena justru membuang kesempatan itu dengan bodohnya!
Marsha lantas mengajukan beberapa pertanyaan terkait kehidupan pribadi Aleena. Gadis itu menjawab dengan jujur tanpa ada yang ia sembunyikan. Ia tahu, meski nantinya akan melakukan tes kesehatan, Marsha bertanya untuk memastikan bahwa dirinya layak menjadi ibu pengganti.
Di tengah perbincangan, tiba-tiba muncul sesosok pria berparas tampan dengan balutan tuxedo hitam rapi yang kini berjalan masuk ke dalam rumah. Tatapan tajamnya menatap ke arah Aleena dan Carl yang tengah bersama dengan Marsha.
Melihat kedatangan laki-laki tampan itu, Marsha langsung beranjak dari duduknya dan menatap Aleena yang terlihat gugup.
"Aleena, suamiku sudah datang. Dia Asher Benedict," ujar Marsha.
Aleena tampak mematung di tempatnya. Jemarinya mencengkeram erat tas yang ia bawa saat tatapannya bertemu dengan sepasang manik hitam yang menatapnya tajam itu.
Laki-laki itu mendekati Marsha dan menatap Carl penuh selidik, lalu beralih pada Aleena.
Tatapannya tampak tidak suka, raut wajahnya masam. Suaranya terdengar dingin ketika bertanya pada sang istri.
"Siapa mereka, Marsha? Apa yang mereka lakukan di rumah kita?"
Dua hari terasa cepat di depan mata. Hari pertunangan Theo dan Arabelle pun telah datang hari ini. Acara pertunangan itu dilaksanakan di sebuah gedung hotel bintang lima milik Keluarga Benedict. Semua tamu-tamu penting dari kedua keluarga itu pun datang. Arabelle tampak sangat cantik malam ini dengan balutan dress panjang berwarna biru muda. Arabelle berdiri di samping Theo dan kedua orang tua Theo setelah acara inti dimulai beberapa menit yang lalu. Theo meraih tangan Arabelle dan menatap cincin berlian bermata putih bening itu tersemat cantik di jari manis Arabelle. "Cantik sekali cincin ini ada di jari manismu," ucap Theo berbisik. Arabelle langsung menoleh dan gadis itu tersenyum manis sambil mengangguk. "Karena kau yang memilihkannya untukku." Kekeham pelan terdengar dari bibir Theo, ia merangkul Arabelle sambil menyapa beberapa tamu yang kini memberikan ucapan selamat pada mereka. "Ini baru pertunangan, sudah sebanyak ini tamu Papa," ucap Theo. "Bagaimana kalau
Beberapa bulan berlalu, hari-hari yang dilalui oleh Theo semakin berubah. Dari yang semula hidupnya serba tenang-tenang saja, kini menjadi sibuk layaknya ia dulu melihat sang Papa.Apalagi Theo merasakan tentang jatuh cinta, memiliki kekasih, dan menyayanginya. Arabelle adalah alasan bagi Theo untuk selalu bersemangat setiap hari. Seperti sore ini, Theo berkumpul bersama orang tuanya dan juga keluarga Arabelle di kediaman Jordan. "Kenapa Tuan Asher dan Nyonya Aleena tidak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini," ujar Hani pada mereka berdua."Memangnya kalau kami bilang-bilang apakah ada sambutan yang sangat meriah?" tanya Asher dengan nada bergurau. Kakek dan Nenek Arabelle itu pun tertawa. Bahkan Arabelle dan Theo yang duduk di sofa seberang ikut tertawa mendengarnya jawaban Asher. "Kami bertiga ke sini karena ada tujuan tertentu, Nyonya Hani," ujar Aleena. "Ada apa?" tanyanya. "Pasti ingin membahas tentang anak-anak, kan?" tanya Julian—Kakek Arabelle. "Benar Tuan." Asher menga
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut