Asher masih di rumah Mamanya, kini ia tengah duduk bersama Mamanya dan Camelia menasihati Asher banyak hal untuk menjaga Aleena yang tengah hamil. "Kau jangan bekerja hingga larut malam, Asher. Temani Aleena dulu, dia bilang pada Mama kalau dia sering sakit pinggang dan kram, itu sangat sakit. Kau laki-laki, jadi tidak akan bisa merasakannya." Nasihat Camelia didengarkan baik-baik oleh Asher. Mamanya itu kini tengah memasukkan beberapa buah-buahan kering ke dalam sebuah wadah. "Bawakan ini untuk Aleena, seingat Mama ... saat dia dulu hamil Theo, Aleena sangat suka buah-buahan kering," ujar Camelia. "Tidak perlu, Ma. Biar nanti aku sendiri yang akan membelikannya," tolak Asher. "Asher ... Mama ingin memberikan ini untuk Aleena, apa salahnya kalau Mama memberikan makanan untuk menantu Mama? Kau ini, benar-benar..." Asher menghela napasnya pelan, ia membiarkan Mamanya yang kini sibuk sendiri. Seperti yang Asher duga kalau Mamanya akan heboh sendiri lantaran dia sangat senang karen
Beberapa Minggu Kemudian..."Mama ... Papa nakal! Theo tidak mau sekolah! Papa marahin Theo, Ma!"Suara teriakan melengking keras beserta tangisan itu terdengar jelas di telinga Aleena yang kini duduk di ruang tamu di lantai satu. Aleena yang tengah menunggu anak dan suaminya, tampak bosan dan lelah. Jelas saja, Asher mengurus Theo seorang diri, sedangkan anaknya super aktif dan ada saja tingkahnya. Sejak semalam anak itu menolak pergi ke sekolah, tapi sebagai Papa yang tegas, Asher mewajibkan Theo berangkat ke sekolah tanpa alasan selain sakit dan bepergian. "Huwaa ... Papa bad! Theo tidak sayang!" teriak Theo kini bersedekap dengan wajah kesal. Tampak Asher mengangkat bagian belakang tas punggung berwarna merah milik putranya, hingga Theo sampai tidak menapaki lantai. "Papa tidak mau mendengar alasan apapun dari Theo, berapa kali Papa bilang, kalau saatnya sekolah ya sekolah!" seru Asher menurunkan Theo di samping Aleena. Anak itu langsung memeluk sang Mama dengan erat. Asher
Asher tak sudah-sudah tersenyum. Dia sangat bahagia, mungkin dalam keluarganya baru kali ini memiliki keturunan kembar. Dan Asher yang memilikinya. Selama perjalanan pulang, di dalam mobil ia terus menggenggam tangan Aleena dan mengecup punggung tangan milik istrinya."Kira-kira, mereka berdua laki-laki atau perempuan, Sayang?" tanya Asher dengan wajah berseri-seri. "Kau bilang laki-laki atau perempuan sama saja, kan? Mereka kejutan dari Tuhan," ujar Alrena menoleh pada suaminya. "Heem, tapi kalau mereka laki-laki semua dan mempunyai karakter seperti Theo, hemmm ... aku bisa pusing setiap hari," jawab Asher mendecakkan lidahnya. Aleena tersenyum. "Theo jadi begitu juga karena kau terlalu memanjakannya, kau juga kurang mendukung apapun yang Theo lakukan, jadi dia gampang kesal padamu. Karena dia kurang bisa mengekspresikan dirinya, hanya sisi emosinya saja yang bisa kita lihat dan rasakan." Asher diam dan mengemudi dengan satu tangannya. "Aku pikir juga begitu," jawab Asher. "Akh
Kebahagiaan yang dirasakan Asher dan Aleena seolah tertularkan pada Camelia. Mama mertuanya itu tampak sangat antusias. Berbeda dengan Darren yang kini masih diam dan melanjutkan makannya. "Nanti, kalau mereka sudah lahir, Mama ingin ikut merawat dan mengasuh mereka ya, Nak," pinta Camelia. Aleena mengangguk. "Iya, Ma. Aleena pasti akan sering-sering mengajak anak-anak ke sini." Camelia tersenyum penuh arti. Wanita itu menatap suaminya yang diam tak bersuara. Bahkan ekspresi bahagia di wajah Darren pun tidak ada saat ini. Sekali lagi, Camelia merasa jengah dengan sikap Darren yang begini. Tetapi diam-diam, sebagai seorang belahan jiwa arah istri, Camelia juga tidak setega itu melihat suaminya diabaikan oleh anaknya dan juga ia sendiri. "Pa, kita akan punya Cucu kembar. Pasti mereka akan lucu-lucu ya, Pa. Kita dulu pernah punya cita-cita Cucu kembar kan, Pa?" ujar Camelia menatap suaminya."Hm," jawab Darren sebelum laki-laki itu menoleh pada Asher di sampingnya. "Kau tidak usah
Perasaan bahagia membuat Asher merasa terharu. Siang ini ia sudah di rumahnya kembali, bahkan Theo juga sudah dijemput oleh Asher. Laki-laki itu duduk di ruang keluarga sendirian. Di luar sedang turun hujan cukup deras, situasi ini membuat Asher semakin dalam larut dalam lamunannya. 'Mama mengajak Papa bercerai hanya karena Papa tidak mau berdamai denganku dan Aleena,' batin Asher dengan penuh terkaan. "Aku tidak menyangka Mama akan melakukan ini," lirih Asher. "Tetapi sekarang, semuanya sudah baik-baik saja. Semuanya sudah lebih baik dan rasanya begitu damai." Asher menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa. Kedua matanya terpejam pelan dan ia merasakan sejuknya udara di ruangan tempat ia berada. Semuanya seolah-olah sudah ada dalam genggamannya. Keluarga hangat hangat dan harmonis, damai dengan orang tuanya, dan memiliki anak juga istri yang baik dan selalu ada untuknya. Asher merasa ia sudah merdeka. "Papa..." Suara keras Theo membuyarkan lamunan Asher. Laki-laki itu menole
Keesokan harinya...Sejak pagi hingga siang, Aleena masih mendekam di dalam rumah. Asher tidak mengizinkannya pergi ke manapun, menemani Aleena ke mall pun juga tidak. Hingga selama dua bulanan ini Aleena tidak pernah keluar rumah sama sekali selain pergi mengecekan kandungnya saja. Wanita cantik berambut panjang itu tampak duduk di sofa di dekat jendela, sendirian di rumah. "Asher katanya akan makan siang di rumah, tapi kenapa belum kembali juga?" gumam Aleena diam menyandarkan punggungnya. Aleena diam memeluk bantal. "Bosan sekali selalu diam di rumah, Asher datang pun dia tidak pernah mengajakku ke mana-mana, ke rumah Papa juga tidak pernah. Aku sangat merindukan Papa..." Wajah Aleena tertekuk sedih, tak bohong bila ia sangat merindukan Papanya. Aleena sangat ingin bertemu dengan Papanya dan bercerita banyak hal. Tetapi, jangankan pergi ke tempat Papanya, pergi keluar rumah saja Asher pasti sudah akan uring-uringan pada Aleena. Saat Aleena sibuk larut dalam kesedihannya, ti
Melihat Theo tampak bersedih, putranya itu tidak mau makan siang. Bahkan Theo mogok makan sampai malam hari. Aleena sudah membujuk susah payah, tapi upayanya masih juga ditolak oleh sang buah hati. Anak itu masih terus menerus marah. "Sayang ... ayo, Nak, makan dulu sedikit saja," bujuk Aleena dengan lembut. "Tidak mau, Theo tidak lapar," jawab anak itu sambil berbaring dan memeluk bonekanya. Aleena menarik napasnya panjang dan mengusap pucuk kepala si kecil. "Mama sedih sekali kalau Theo tidak mau makan, Theo mau melihat Mama sedih ya?" tanya Aleena. Alih-alih rayuan Aleena mempan, anaknya itu justru menarik selimut dan menutup kepalanya. Mengabaikan bujukan Mamanya. Dengan gerakan pelan Aleena mengelus pucuk kepala Theo. "Mama bilang ke Papa dulu ya, Nak. Kalau sama Papa diizinkan, Theo makan ya," ujar Aleena. Anaknya itu langsung mengangguk setuju. Barulah Aleena beranjak dari duduknya saat itu juga. Aleena berjalan keluar dan melangkah menuruni anak tangga. Ia membawa s
Jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam, Asher baru saja keluar dari dalam ruang kerjanya. Asher tampak sangat lelah karena ada beberapa berkas yang perusahaan Papanya yang harus ia selesaikan malam ini juga. Setelah semuanya selesai, laki-laki itu kini berjalan naik ke lantai dua. Asher membuka pintu kamarnya dan ia menemukan kekosongan di dalam sana, Aleena tidak ada di dalam kamarnya, wanita yang biasanya selalu menunggunya itu, kini tidak ada. Kening Asher mengerut. "Ke mana Aleena?" gumam Asher lirih. Laki-laki itu melangkah ke arah kamar Theo, perlahan-lahan Asher membuka pintu kamar putranya dan ia melihat Aleena tertidur memeluk Theo yang meringkuk dalam dekapan sang Mama. Melihat mereka, Asher merasa sedih. Lebih tepatnya, ia menyalahkan dirinya sendiri. 'Seberapa sibuknya aku sampai tidak memiliki waktu untuk mereka,' batin Asher. 'Termasuk untuk Aleena...' Asher melangkah mendekat tanpa suara, laki-laki itu duduk di tepi ranjang dan mengusap pucuk kepala Theo
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang