"Semua biaya rumah sakit Papamu sudah aku urus Aleena. Hasil pemeriksaan kesuburanmu pun sangat baik. Kemungkinan besar, sekali berhubungan saja kau bisa segera hamil.”
Aleena hanya mengangguk kecil mendengar apa yang Marsha katakan.
Siang ini, Marsha mendatangi rumah sakit bersama Asher. Mereka berdua mengurus semua administrasi pengobatan Papanya dan ia juga melakukan tes kesehatan.
"Sekarang semua sudah selesai, ayo kita pergi," sahut Asher meraih tangan Marsha.
"Tunggu, Sayang—"
Marsha menghentikan langkahnya saat ponsel miliknya di dalam tas berdering.
Wanita berambut cokelat sebahu itu menoleh seolah meminta izin, lalu berjalan menjauh saat menjawab panggilan tersebut.
Kini hanya ada Aleena dan Asher berdua di sana. Asher melirik gadis bertubuh kurus di sampingnya yang tengah memeluk sebuah tas besar.
"Apa kau membawa semua pakaianmu?" tanya Asher menoleh.
Aleena menatapnya gugup. "Nyo-Nyonya yang meminta pada saya, Tuan," jawabnya.
Hari ini Aleena akan tinggal bersama Marsha dan Asher di kediaman mewahnya. Ia akan ditempatkan di paviliun yang berada di dekat kediaman utama.
Tentu saja, permintaan itu juga atas dasar keinginan Marsha.
Asher kembali menatap Aleena dengan dingin. "Dengar, semua ini terjadi karena permintaan istriku. Kau harus tahu batasan," ujarnya penuh penekanan.
Aleena terpaku sejenak, sebelum ia tertunduk dan mengangguk. "Saya mengerti, Tuan. Saya hanya akan menjalankan tugas saya. Tuan tidak perlu khawatir."
Tidak ada jawaban dari Asher, seolah tidak peduli dengan apapun yang Aleena katakan.
Sampai akhirnya Marsha kembali.
"Ayo kita pulang," ajaknya. Marsha melirik Aleena yang terdiam. "Kau jangan khawatir, Aleena. Aku sudah meminta seseorang untuk menjaga Papamu di sini."
"Baik, Nyonya Marsha, terima kasih banyak."
Marsha pun kembali mendekati Asher, menggenggam tangan suaminya dan berjalan berdua di hadapan Aleena.
Menatap punggung dua orang di depannya sekarang membuat Aleena sedih. Bahkan tak terpikirkan oleh Aleena apa yang harus ia lakukan nanti kedepannya.
Gadis itu berhenti melangkah di depan ruang inap ayahnya dan menatap pria yang berbaring di ranjang itu lewat jendela kaca.
"Pa ... segeralah sembuh. Aleena harap, setelah Papa bangun nanti, Papa tidak marah dengan keputusan Aleena."
Melihat Marsha dan Asher yang sudah tak terlihat, Aleena pun segera bergegas pergi menyusul mereka.
Mulai sekarang, Aleena akan tinggal bersama mereka berdua, sebagai seorang ibu pengganti yang akan mengandung keturunan untuk Asher dan Marsha.
**
Sesampainya di kediaman Keluarga Benedict yang megah, Aleena pun langsung diajak ke dalam rumah mereka lebih dahulu.
"Duduklah, Aleena," ujar Marsha.
Aleena meletakkan tasnya di lantai dan duduk di sebuah sofa, memperhatikan seorang laki-laki dengan pakaian formal mendekati Asher dan memberikan sebuah dokumen.
"Tandatangani perjanjian ini, sebagai kesepakatan," ujar Asher membuka berkas itu.
"Hmm? Kesepakatan?” Marsha mengerutkan keningnya bingung. Sejak kapan Asher menyiapkannya?
"Aku membuat aturan untuk memenuhi permintaanmu, Marsha," jawab Asher ringan.
Meski tampak bingung, Marsha hanya mengangguk setuju dengan suaminya.
Sedangkan Asher kini menatap Aleena yang meraih bolpoin di atas meja, air muka Aleena terlihat begitu bingung.
Gadis itu terdiam membaca isi surat perjanjian itu. Matanya melebar saat ia membaca salah satu satu poin yang tertulis di sana. Tangannya seketika gemetar.
Aleena mendongak menatap Asher dengan seribu tanda tanya. “Pe-pernikahan?”
"Aku akan menikahimu hingga batas waktu tertentu. Aku tidak ingin nama baikku tercoreng dan membuat publik berasumsi aku menghamili gadis tanpa tanggung jawab," jelas Asher masih dengan nada dingin. Seolah apa yang ia katakan hanyalah angin lewat tak berarti.
Napas Aleena seperti tercekik ketika ia membaca semua isi perjanjian itu. Banyak sekali larangan-larangan di dalamnya.
Salah satunya, Aleena dilarang jatuh cinta pada Asher atau memiliki perasaan tertentu. Dan setelah Aleena melahirkan anak untuk mereka, Aleena harus pergi sejauh mungkin meninggalkan anaknya, dan pernikahan pun berakhir.
Aleena menyetujui hal itu, karena tugasnya hanya mengandung anak untuk Asher dan Marsha. Aleena tidak akan lancang sampai memiliki perasaan pada Asher. Dia cukup tahu diri.
Tapi pernikahan? Aleena merasa berat menerimanya.
“Tunggu apa lagi?”
Bariton yang terdengar tak sabaran itu membuat Aleena berjengit. Setelah meyakinkan diri, ia lantas menandatangani perjanjian itu dan menyerahkannya pada Asher.
"Mulai sekarang kau menjadi bagian dari kami, Aleena. Aku akan mengurus persiapan pernikahanmu dengan suamiku," ujar Marsha duduk bersedekap. "Dan sekarang, bawa semua pakaianmu ke paviliun. Kau akan tinggal di sana, ada satu pelayan yang akan membantumu setiap hari."
Aleena mengangguk. "Baik Nyonya Marsha, terima kasih. Saya permisi."
Gadis itu berjalan keluar dari rumah utama. Ia berjalan melewati taman dan melihat sebuah paviliun tak jauh dari sana.
Bangunan klasik bernuansa warna putih, tempat Aleena tinggal selama beberapa bulan kedepan, lebih megah daripada rumah Aleena.
"Permisi, Nona, mari saya bawakan tasnya."
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian pelayan mendekati Aleena tiba-tiba. Wanita itu tersenyum saat melihat ekspresi Aleena yang terkejut dan bertanya-tanya.
"Perkenalkan, saya Julien. Nyonya memerintahkan saya untuk menjadi pelayan Nona Aleena selama di sini," ujar wanita itu.
Aleena membalas senyuman Pelayan Julien. "Salam kenal, Bibi Julien..."
"Nyonya Marsha meminta saya untuk melayani dan menemani Nona setiap hari, jadi kalau ada sesuatu yang Nona Aleena butuhkan, jangan sungkan-sungkan, ya," ujar wanita itu ramah.
"Terima kasih, Bi," jawab Aleena.
Bibi Julien pun membuka pintu paviliun dan mengajak Aleena masuk ke dalam.
Kedua mata Aleena mengerjap kagum menatap isi paviliun yang begitu mewah. Tempat itu memiliki dua lantai dan dinding kaca yang tinggi, tepat seperti rumah impian Aleena dulu.
"Nona Aleena, kamar Nona ada di lantai dua. Silakan berisitirahat ... biar saya yang merapikan pakaian Nona."
Meski sungkan, tapi Aleena tidak memprotes. "Baik, Bi, terima kasih," ucap Aleena tulus.
"Sama-sama, Nona."
Aleena pun masuk ke dalam kamar dan menutup pintu tersebut.
Langkahnya yang ragu mengantarkan Aleena mendekati sebuah ranjang besar, ia menelisik kamarnya yang tampak rapi dan nyaman. Aleena mengusap permukaan kasur dan duduk di tepinya.
"Dalam waktu dekat, aku akan menikah dengan Tuan Asher dan tinggal di tempat ini."
Aleena termenung, tenggelam dalam pikirannya yang terombang-ambing.
Meskipun pernikahan ini bukan hal yang Aleena impikan, tapi ia akan berusaha melakukan yang terbaik, demi sang Papa.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba terdengar ponsel Aleena berdering. Gadis itu meraih benda pipih tersebut dari dalam tas dan melihat nama Carl di sana.
Seketika rasa marah dan kesal Aleena kembali membuncah.
Namun, Aleena segera menjawab panggilan itu.
"Halo," sahutnya datar.
"Halo, Sayang. Bagaimana kemarin? Maaf ya, aku tidak bisa menunggumu sampai kau selesai berbincang dengan mereka. Jadi, bagaimana? Mereka jadi memberikan uang satu miliarnya padamu, kan?" tanya Carl terdengar tak sabaran.
"Mereka sudah mengurus biaya pengobatan Papa, kau tidak perlu khawatir,” jawab Aleena. “Sekarang aku tinggal bersama mereka. Uang sisanya akan segera diberikan oleh Nyonya Marsha," jawab Aleena.
"Baguslah kalau begitu. Aku akan menghubungimu nanti lagi ya, pekerjaanku masih menumpuk," ujar Carl. “Sampai nanti, Sayang.”
"Hmm, sampai nanti."
Aleena memutus panggilan itu dengan cepat. Ia muak harus berpura-pura mengikuti permainan busuk lelaki brengsek itu.
Aleena mengepalkan kedua tangannya dan menghela napas panjang.
Seulas senyum getir terbit di wajah cantiknya yang mengeras.
"Kau terlalu besar kepala, Carl Malvine. Laki-laki brengsek sepertimu, jangan harap bisa memanfaatkan aku lagi!"
Dua hari terasa cepat di depan mata. Hari pertunangan Theo dan Arabelle pun telah datang hari ini. Acara pertunangan itu dilaksanakan di sebuah gedung hotel bintang lima milik Keluarga Benedict. Semua tamu-tamu penting dari kedua keluarga itu pun datang. Arabelle tampak sangat cantik malam ini dengan balutan dress panjang berwarna biru muda. Arabelle berdiri di samping Theo dan kedua orang tua Theo setelah acara inti dimulai beberapa menit yang lalu. Theo meraih tangan Arabelle dan menatap cincin berlian bermata putih bening itu tersemat cantik di jari manis Arabelle. "Cantik sekali cincin ini ada di jari manismu," ucap Theo berbisik. Arabelle langsung menoleh dan gadis itu tersenyum manis sambil mengangguk. "Karena kau yang memilihkannya untukku." Kekeham pelan terdengar dari bibir Theo, ia merangkul Arabelle sambil menyapa beberapa tamu yang kini memberikan ucapan selamat pada mereka. "Ini baru pertunangan, sudah sebanyak ini tamu Papa," ucap Theo. "Bagaimana kalau
Beberapa bulan berlalu, hari-hari yang dilalui oleh Theo semakin berubah. Dari yang semula hidupnya serba tenang-tenang saja, kini menjadi sibuk layaknya ia dulu melihat sang Papa.Apalagi Theo merasakan tentang jatuh cinta, memiliki kekasih, dan menyayanginya. Arabelle adalah alasan bagi Theo untuk selalu bersemangat setiap hari. Seperti sore ini, Theo berkumpul bersama orang tuanya dan juga keluarga Arabelle di kediaman Jordan. "Kenapa Tuan Asher dan Nyonya Aleena tidak bilang-bilang dulu kalau mau ke sini," ujar Hani pada mereka berdua."Memangnya kalau kami bilang-bilang apakah ada sambutan yang sangat meriah?" tanya Asher dengan nada bergurau. Kakek dan Nenek Arabelle itu pun tertawa. Bahkan Arabelle dan Theo yang duduk di sofa seberang ikut tertawa mendengarnya jawaban Asher. "Kami bertiga ke sini karena ada tujuan tertentu, Nyonya Hani," ujar Aleena. "Ada apa?" tanyanya. "Pasti ingin membahas tentang anak-anak, kan?" tanya Julian—Kakek Arabelle. "Benar Tuan." Asher menga
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut