Asher menepati janjinya pada Aleena. Laki-laki itu datang lebih awal menjemput Aleena sore ini, bahkan ia menunggunya tak jauh dari sekolah tempat gadis itu mengajar. Sepuluh menit Asher menunggu, muncullah gadis cantik dengan balutan dress panjang berwarna cokelat dan mantel senada yang kini berjalan cepat ke arah mobilnya. "Tuan!" Aleena membuka pintu mobil itu dan tersenyum riang. "Tuan sudah lama menunggu saya?" "Belum. Ayo cepat masuk, di luar sangat dingin," ujar Asher. Aleena pun segera masuk ke dalam mobil milik Asher. Gadis itu meletakkan beberapa buku yang ia bawa di bangku belakang. Asher memperhatikan Aleena yang kini duduk nyaman menatapnya dengan hangat."Ada apa, Aleena? Kenapa kau menatapku begitu?" tanya Asher menaikkan salah satu alisnya. "Tidak apa-apa," jawab gadis itu tertunduk. Padahal Aleena ingin mengatakan pada Asher dan bercerita tentang perasaan senangnya saat Asher menjemputnya sekarang, tapi rasanya sangat canggung. Asher pun melajukan mobilnya. Se
Keesokan paginya, Aleena kembali dengan kondisi lemas dan tidak bertenaga seperti beberapa hari terakhir. Selain mual dan pusing, ia merasa sangat sulit beranjak dari ranjang. Sampai Bibi Julien harus masuk ke dalam kamar untuk membangunkannya. Wanita setengah baya itu terlihat kaget melihat Aleena duduk lemas di atas ranjang. "Nona ... Nona Aleena tidak apa-apa?" Bibi Julien mendekat dan menangkup kedua pipi Aleena dengan wajah cemas. Aleena menggeleng lemas menyandarkan kepalanya di pundak Bibi Julien. "Perutku, Bi. Aku mual sejak pagi tadi ... tidak enak sekali," rintih Aleena sampai pucat dan wajahnya berkeringat. "Tidak biasanya aku begini, semua aroma wangi-wangian membuat perutku semakin mual." Bibi Julien terdiam sejenak, wanita itu menatap dalam-dalam wajah Aleena dan mengusap punggungnya. "Bibi buatkan minuman hangat dan sarapan ya, setelah itu Nona istirahat saja," ujarnya. "Ini tandanya Nona Aleena tidak boleh kelelahan." Hanya anggukan patuh yang Aleena berikan. Di
Asher memutuskan untuk tidak meninggalkan Aleena sampai gadis itu tenang. Bahkan kini, Aleena masih memeluknya dan menyandarkan kepalanya, tanpa ada suara tangis lagi. Sesekali Asher melirik wajah cantik gadis yang kini menahannya untuk duduk di sofa bersamanya. "Kenapa kau tadi menangis kencang seperti itu?" tanya Asher terkekeh. Aleena mendongak dan menyeka sisa air matanya. "Pancake saya, Tuan...," ujarnya. Kedua mata Asher melebar seketika. Apakah telinganya tidak salah dengar?"Pancake?" tanya Asher memastikan. Aleena mengangguk. "Hmm. Hanya makanan itu yang membuat saya tidak mual. Tapi ... tadi Nyonya datang, marah-marah dan merampas piring saya, lalu Nyonya berteriak dan membuang pancake saya. Saat saya hendak mengambilnya, Nyonya malah menginjaknya." Wajah sedih gadis itu benar-benar tidak bisa berbohong. "Kenapa Nyonya jahat pada saya? Saya hanya ingin makan dengan tenang, sudah ... itu saja." Asher menarik pundak Aleena dan memeluknya. "Sudah, tenanglah. Biar Bibi Ju
Malam ini, di kediaman orang tua Asher tengah diadakan sebuah pesta tahunan seperti tahun-tahun yang lalu. Berada di tengah-tengah para tamu di dalam pesta yang meriah itu, tak sedikitpun Asher menunjukkan keromantisannya dengan Marsha. Meskipun wanita itu selalu berdiri di sampingnya dan menyapa pada tamu dengan ramah. Ekspresi datar dan jengah yang Asher tunjukkan hanya terbaca oleh Papanya. Darren berusaha mendekati Asher. "Ada apa, Asher? Kenapa Papa perhatikan kau tidak seperti biasanya?" tanya Darren menatap sang putra. "Kau bertengkar dengan istrimu?" Asher hanya tersenyum tipis. "Jangan membahasnya di sini, Pa." Mereka berdua kini berada di teras samping. Usai menyapa beberapa tamu, Asher pun memilih untuk menjauh dari pesta. Ia menghindari semua keluarganya yang bertanya kapan ia akan memiliki keturunan, dan itu membuatnya bosan. Darren bersedekap sembari menatap ikan-ikan koi di dalam kolam di hadapan mereka. "Papa tahu, pasti lelah sekali menjadi dirimu," ujar Darren
Sesampainya di rumah sakit, Aleena pun segera ditangani oleh dokter untuk diperiksa. Asher berkali-kali mengusap wajahnya gelisah, berdiri lama menunggu di depan pintu ruangan pemeriksaan. "Ck! Kenapa lama sekali?" gerutu Asher sembari menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jordan memperhatikan tuannya yang tak henti-hentinya cemas sejak tadi. "Sebentar lagi pasti pemeriksaannya akan selesai, Tuan," ujarnya. "Semoga," jawab Asher. Apa yang Jordan katakan ternyata benar, pintu kaca buram di hadapan Asher pun terbuka. Tampak seorang suster menatap ke arah Asher dan Jordan. "Maaf, apa salah satu dari Tuan adalah suami pasien?" tanya suster itu. "Ya, sus. Saya suaminya," jawab Asher cepat. "Baik, kalau begitu silakan masuk. Dokter ingin bertemu dengan Tuan untuk menjelaskan hasil pemeriksaan," ujar suster itu. Asher pun ikut masuk ke dalam ruangan itu. Di sana, ia melihat Aleena yang tampak berbaring di atas ranjang lengkap dengan baju rumah sakit yang ia pakai. N
Semalaman Asher menjaga Aleena di rumah sakit. Saat malam berganti pagi, laki-laki itu memutuskan untuk pulang saat Aleena sedang tidur. Asher sudah memerintahkan Jordan untuk berjaga sementara ia pulang ke rumah.Tepat pukul enam pagi Asher tiba dan masuk ke dalam rumah. Ia melihat istrinya duduk di ruang tamu. "Sampai pulang pagi, ternyata kau bisa melebihi aku," ujar Marsha tiba-tiba. Asher meliriknya tanpa selera, tidak ada jawaban apapun yang keluar dari bibirnya. Ia tetap melangkah dan tak menghiraukannya sama sekali.Merasa diabaikan oleh Asher, Marsha mengepalkan tangannya kesal. "Semalam kau pergi ke mana, Asher? Kenapa kau meninggalkan aku di pesta keluargamu?!" tanya Marsha beranjak dari duduknya. Langkah Asher terhenti di pertengahan anak tangga. Laki-laki itu menoleh dan menatapnya dingin. "Apa penting, aku mengatakannya padamu ke mana aku pergi?" Asher justru bertanya balik padanya. "Apa kau pergi dengan gadis itu? Atau ... jangan-jangan sekarang kau menyembunyika
Aleena berdiam seorang diri di dalam kamar inapnya. Gadis itu baru saja meminum vitamin yang telah dokter berikan padanya. Tampak Aleena duduk di atas ranjang dan bersandar, kedua mata indahnya menatap lurus ke arah jendela. Di luar, salju masih turun dengan cukup tebal. "Sudah tiga hari aku tidak menjenguk Papa, pasti Papa kepikiran," gumamnya tanpa sadar.Aleena tertunduk menatap baju rumah sakit yang kini ia pakai dan kembali menyandarkan kepalanya dengan perasaan gelisah. "Tidak mungkin juga aku menemui Papa dengan pakaian rumah sakit seperti ini, Papa pasti akan khawatir dan cemas. Lalu aku harus menjawab apa kalau Papa bertanya soal keadaanku?" Perlahan, Aleena mengusap perutnya yang masih rata. Ia teringat saat Asher berbisik di telinganya dan mengatakan kalau saat ini ia tengah hamil. Antara bahagia dan sedih menjadi satu dalam hatinya. Aleena bahagia karena ia berhasil mengandung anak untuk Asher dan Marsha. Tetapi sedihnya ... Aleena tidak bisa menemui Papanya bila kand
Setelah kondisi Aleena membaik, dokter pun menyarankan Aleena pulang hari ini. Bersama dengan Asher yang selalu mendampinginya, laki-laki itu sangat posesif, banyak melarang Aleena untuk melakukan hal ini dan itu. Mereka berdua kini tengah berjalan di lorong rumah sakit. Asher merangkulnya dengan sangat posesif. "Sesampainya di rumah nanti, kau harus beristirahat dan tidak usah mengerjakan apapun," ujar Asher meliriknya. "Tapi Tuan, saya masih ada tanggungan tugas anak-anak di sekolah. Mereka pasti menunggu saya," ujar Aleena. "Lupakan soal itu. Yang terpenting saat ini adalah kondisimu dan kehamilanmu, Aleena." Asher begitu tegas. Aleena hanya bisa diam cemberut. Apapun yang ia lakukan, bisa-bisa akan terus dilarang. Begini dan begitu akan salah dan mendapatkan tentangan dari Asher. Aleena harus mencari cara.Mereka berdua segera masuk ke dalam mobil. Cuaca masih dingin dan Aleena tetap hangat terjaga dengan balutan mantel hitam milik Asher yang dipinjamkan padanya. Gadis itu
Hari sudah gelap, rumah Asher tampak sepi di saat semua anak-anaknya sudah beristirahat di dalam kamar masing-masing. Aleena dan Asher kini duduk di dalam ruangan keluarga. Berdua, dan ditemani oleh cahaya yang temaram. "Tidak terasa ya, Sayang. Sekarang anak kita sudah besar-besar. Theo sudah dewasa, si kembar juga sudah besar. Rasanya baru kemarin kita menjadi orang tua," ujar Aleena menatap ke luar dari jendela di ruang keluarga. Asher tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Waktu berjalan dengan cepat tanpa kita sadari," jawab Asher. Aleena menyandarkan kepalanya di pundak sang suami dan wanita itu mengangguk kecil. "Dan aku tidak percaya menghabiskan seumur hidupku bersamamu, Asher. Padahal, dulu kita dipertemukan karena hal-hal yang tidak diinginkan, dan kita—""Jangan diingat lagi!" Asher menjentikkan jari telunjuknya dengan pelan di kening Aleena hingga membuat sang istri cemberut menatapnya. Wanita cantik itu mengusap keningnya dan mengeratkan pelukannya di lengan
Kedekatan Arabelle dan Theo sudah sangat dekat, bahkan semua orang juga sudah tahu dengan hubungan mereka. Seperti teman-teman kampus Arabelle saat ini yang melihat Theo yang tengah menjemput Arabelle pulang dari kampus. "Wah, tampan sekali, siapa dia?" "Dia kekasihny Arabelle, anak kedokteran." "Kekasihnya sangat tampan, ya, sepertinya aku tidak asing dengan wajahnya." Suara bisikan-bisikan itu terdengar di telinga Arabelle saat gadis cantik itu sampai di depan. Ia melihat semua kakak tingkatnya tampak memperhatikan Theo yang berdiri di samping mobilnya tampak menunggu-nunggu. Arabelle tidak banyak bicara, ia langsung berjalan mendekati Theo saat itu juga dan mengabaikan semua Kakak tingkatnya yang masih asik membicarakan Theo. "Kak Theo!" pekik Arabelle melambaikan tangannya dan berlari kecil mendekatinya. Theo tersenyum manis padanya seperti biasa, sampai begitu mendekat, Arabelle langsung memeluk pemuda itu. Kedua alis Theo terangkat. Tumben sekali Arabelle melakukan ha
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk ikut bersamanya lebih dulu. Mereka berdua pergi ke suatu tempat malam ini. Theo mengajak Arabelle ke taman tempat mereka dulu melihat kembang api saat tahun baru. Di sebuah taman yang indah, dan tepat di cuaca yang cukup dingin seperti malam ini. "Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Arabelle tersenyum menatap Theo. "Ingin saja," jawab Theo, ia menggenggam hangat tangan Arabelle dan diajaknya berjalan menaiki banyak anak tangga. Arabelle tersenyum gemas, gadis itu membalas genggaman tangan Theo sebelum mereka kini akhirnya sampai di taman bagian atas. Arabelle menatap sekitar, semua bunga-bunga bermekaran di sana. Dari bunga Hydrangea hingga bunga-bunga lainnya. "Wahh ... cantik sekali bunga-bunganya," ujar Arabelle tersenyum senang. "Sebelum musim dingin, mereka semua bermekaran," ujar Theo menarik pelan lengan Arabelle dan mengajaknya duduk. "Di rumah Mama yang ada di Palonia, semua tamannya dipenuhi oleh bunga Hyd
Segala macam persiapan sudah diselesaikan. Arabelle lolos masuk ke universitas impiannya, gadis itu mendalami ilmu kedokteran seperti yang ia inginkan. Berkat dukungan dan juga perhatian penuh yang Jordan berikan, anak gadisnya bisa berdiri sampai di titik ini.Malam ini, Jordan mengadakan makan malam. Ia mengundang juga Asher dan Aleena, juga Theo, bersama di kembar di sebuah rumah makan di restoran mewah. Tak hanya mereka, bahkan kedua orang tua Jordan pun juga ikut. "Terima kasih Tuan dan Nyonya sudah menyempatkan datang malam ini," ucap Jordan pada Asher dan Aleena. Asher terkekeh mendengarnya, ia menepuk pundak Jordan. "Masih formal saja kau dengan calon besanmu ini," ucap Asher. Jordan pun tertawa. "Masih perlu beradaptasi, Tuan Asher," jawabnya.Sedangkan Aleena kini duduk bersama dengan Hani, mereka berbincang-bincang. Theo bersama Julian dan juga Arabelle. Leo dan Lea melihat ikan-ikan hias di akuarium besar yang berada di tempat itu. Lea berlari mendekati Aleena, anak
Hari berlalu musim pun berganti. Hari demi hari terlewati seperti embusan angin yang cepat dan lembut. Tak terasa, dua setengah tahun terlewati dengan mudahnya. Dua tahun menjadi perjalan yang sangat hebat untuk Theo. Pemuda itu, kini sudah meninggalkan bangku sekolah sejak satu tahun yang lalu. Theo meneruskan perusahaan milik Asher. Bahkan selepas lulus dari bangku sekolah, Theo sangat gila-gilaan mendalami pekerjaan yang ia impikan di dunia bisnis, dia tidak melanjutkan pendidikannya hanya sekejap, lalu fokus pada pekerjaannya. Seperti saat ini, pemuda itu duduk di dalam ruangan kerjanya, di kantor milik sang Papa. Theo tampak sibuk, menyiapkan beberapa berkas untuk persiapan meeting sore nanti. "Berkas yang semalam sudah kau bawa, kan, Theo?" tanya Asher pada sang putra. Theo menoleh dan mengangguk. "Sudah, Pa. Semuanya sudah beres," jawab pemuda itu. "Bagus. Sebagai asisten Papa, kau harus bisa segalanya. Paman Jordan sudah ada di divisinya sendiri, jadi ... kau harus bisa
Setelah acara makan malam selesai, Theo mengajak Arabelle untuk pergi bersamanya. Malam ini adalah malam yang sangat dinanti-nantikan oleh Arabelle. Perayaan tahun baru yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu. Meskipun rencana Arabelle dari awal gagal total, dari ingin menemani Theo bertanding basket, sampai kini mereka pergi ingin melihat pesta kembang api, tapi Arabelle berharap kali ini tidak boleh gagal. "Hemmm ... sepertinya bahagia sekali," tanya Theo melirik Arabelle, sebelum kambali fokus mengemudikan mobilnya. Gadis cantik itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. "Tentu saja," jawab Arabelle. "Aku hampir berpikir tidak ada harapan lagi untuk melihat perayaan pesta kembang api malam ini, Kak. Tapi ternyata, Tuhan berkata lain..." Theo tersenyum. "Aku selalu berdoa sepanjang hari agar apapun yang kau harapkan bisa Tuhan kabulkan, Arabelle," ucap Theo. "Benarkah?" Arabelle tersenyum menatapnya. Theo terkekeh gemas tanpa menjawabnya, ia mengulurkan satu tangannya dan mengu
Theo datang seperti biasa. Kedatangannya kali ini disambut oleh Jordan, laki-laki yang selalu ia panggil Paman sejak kecil itu kini menjadi lebih dekat dengan Theo. Mereka berdua duduk di ruang tamu, menunggu Arabelle yang tengah bersiap, karena Theo bilang kalau Arabelle diminta oleh Aleena datang untuk makan malam bersama. "Beberapa hari ini Paman jadi jarang melihatmu, Theo," ujar Jordan sambil menyalakan sebatang cerutu di tangannya. Theo tersenyum tipis. "Iya, Paman. Paman terlalu sibuk, aku juga sibuk," jawab Theo. "Heem. Paman membantu Papamu mengurus proyek yang ada di Palonia," jawab Jordan. "Paman yakin, dengan kepintaranmu, kau bisa ikut campur dalam proyek itu andai kau tidak sibuk dengan sekolahmu. Paman selalu mengajarimu nanyak hal, bukan?" Mendengar ucapan Jordan, Theo hanya terkekeh saja dan mengangguk. "Untuk beberapa bulan ini aku akan fokus pada pendidikanku dulu, Paman. Setelah itu, aku akan fokus membantu Papa," jawabnya. "Aku mungkin tidak akan mau lanjut
Puas berputar-putar mengelilingi kota dengan bus kota sambil menikmati hujan salju yang turun malam ini. Arabelle dan Theo bernostalgia mengenang masa kecil mereka saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak saat bus melewati sekolah mereka. "Kau sudah pamit pada Ayahmu kalau akan pulang terlambat?" tanya Theo menatap Arabelle. Gadis cantik itu mengangguk. "Iya, Kak. Aku sudah pamit," jawabnya. "Baguslah." Theo mengusap pucuk kepala Arabelle. Arabelle duduk diam menatap salju yang turun, gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Theo. Sedangkan Theo merangkulnya dengan satu lengannya. Mereka sama-sama menatap hujan salju di luar yang sangat indah malam ini. "Kak Theo, aku ingin mengatakan sesuatu," ujar Arabelle menoleh menatap Theo. "Sesuatu apa?" Theo menaikkan kedua alisnya. "Emm ... besok Kak Theo tanding basket, kan?" cicitnya. "Hm." Theo bergumam, ia masih terus menatap wajah cantik Arabelle. "Kenapa?" "Mungkin aku tidak bisa datang," ucap Arabelle jujur. "Besok pagi
Satu Minggu kemudian.Arabelle tampak murung siang ini di sekolah. Gadis itu menatap ke arah jendela luar di sekolahnya. Pandangan mata Arabelle sudah pulih, meskipun ia tidak bisa memandang jarak jauh, namun setidaknya Arabelle sudah bisa menatap sesuatu di dekatnya. "Arabelle, hmm ... kau kenapa diam saja? Ayo, kita ke super market di depan, kita beli cemil," ajak Vivian menarik lengan Arabelle. "Uang sakuku tertinggal di kamar, Vian," jawab Arabelle menatap Vivian. "Yahh, bagaimana bisa?" Vivian mengerjapkan kedua matanya. "Pakai uangku saja, ayolah..." Arabelle mendengus pelan. Mau tidak mau Vivian sudah menarik lengannya lebih dulu. Arabelle pun ikut beranjak dari duduknya. Gadis itu merapatkan kembali jaket seragam berwarna biru dan putih yang ia pakai kini. Kedua gadis itu berjalan di taman sekolah. "Huhh ... hari ini sangat dingin, Arabelle. Semoga malam ini saljunya turun, besok ada pertandingan basket anak-anak kelas sebelas. Aku akan berangkat dan membawa banner yang