Share

2. Naya punya mama baru

“Mama, jangan lepas pelukanku!” Naya masih terus memeluk Renata bahkan setelah mereka keluar dari cafetaria, gadis kecil itu sama sekali tidak memberinya celah untuk berpisah. Cekalan tangannya pada lengannya sangat kuat, Renata jadi kualahan sendiri karena Naya yang terus mengikuti kemanapun ia pergi.

"Mama, pelan-pelan dong kakiku kan kecil." Protes Naya karena Renata yang berjalan cepat. Perempuan itu menunduk hanya untuk mendapati bibir Naya yang merengut.

"Tolong lepaskan tanganmu, Naya, aku ingin kembali bekerja."

"Tidak, aku mau ikut mama. Ayo ke ruangan mama, aku akan beristirahat disana." Renata menghela napas pasrah saat Naya menariknya agar kembali berjalan.

Perempuan itu bahkan belum setuju untuk menjadi mama Naya tapi, balita itu seolah tidak peduli.

Jujur saja Renata takut pada Naren, bagaimana nasibnya jika Naren tahu putri kesayangannya ikut dengannya. Renata takut dimarahi, sebab Naren selalu mengintimidasi siapapun yang sedang berhadapan dengannya.

"Naya, apa kamu tidak khawatir dengan papamu? Bagaimana jika dia mencarimu?" Tanya Renata yang berusaha mengusir halus Naya dari ruangannya.

Renata tidak ingin mendapatkan masalah dalam pekerjaan, Renata ingin bekerja dengan tenang.

"Tidak, papa bisa menemukanku di manapun dan mungkin saja sekarang papa sudah mengetahuinya."

"Tapi kan tetap saja, kau harus kembali." Naya melirik Renata dengan mata memincing, "mama ingin mengusirku ya? Apa mama terganggu denganku?"

Renata yang terkejut langsung menggelengkan kepala. Perempuan itu langsung mendekat pada Naya, dia takut Naya marah padanya.

"Bukan begitu, aku hanya takut papamu mencari lalu saat dia menemukanmu bisa saja papamu menuduhku yang memaksamu untuk ikut, maaf Naya aku tidak bermaksud mengusirmu, singgahlah lebih lama jika kau mau." Renata mengusap surai Naya yang begitu lembut.

Renata tidak keberatan dengan keberadaan Naya, hanya saja dia memang setakut itu dengan Naren.

"Mama, papa tidak akan memarahimu, kalaupun papa memarahimu aku akan berada di depanmu, papa takut padaku." Tenang Naya sembari menggenggam tangan Renata.

"Baiklah, duduklah dengan nyaman di sini, aku akan mengerjakan pekerjaanku, jika kamu bosan atau ingin memakan sesuatu ambillah di rak itu ya, aku meletakkan banyak snack di sana." Renata menunjuk sebuah rak dengan empat keranjang yang hanya diisi snack dan minuman berkaleng.

"Semangat mama, saat kamu menikah dengan papa nanti kamu tidak perlu bekerja, kamu hanya perlu menghabiskan uangnya denganku." Ujar Naya dengan kedua tangan terkepal ke atas.

Renata terkekeh mendengarnya, Naya sungguh pandai berbicara. Tapi dia tidak akan membawa serius ucapan Naya, memangnya seorang CEO mau dengan perempuan sepertinya? Dia hanya seorang perempuan miskin yang tidak memiliki keluarga. Latar belakangnya saja tidak jelas, tumbuh besar di panti asuhan kumuh yang terletak di pinggiran kota, bukankah dia sangat memalukan.

Di sisi lain Naren yang telah menyelesaikan rapatnya kini berjalan menuju ruangannya, sudah tidak sabar ingin melihat Naya yang memiliki magnet rindu begitu kuat. Bibirnya bersenandung kecil dan langkahnya berubah menjadi cepat, Stea, sekertarisnya yang mengikuti dari belakang pun kuwalahan mengejar langkah Naren yang cepat.

"Nayaaa papa kembali." Naren membuka pintu ruangannya dengan senyum lebar, namun lelaki itu langsung mengernyit saat tidak menemukan siapapun di ruangannya. Naya tidak ada di sana, hanya sepi yang menyambutnya.

"Naya, sayang jangan bercanda, kamu di mana Naya?" Tidak ada jawaban dan Naren memutuskan untuk putar balik. Membuat Stea yang baru sampai di mejanya menatap bingung.

"Ada yang bisa saya bantu pak?" Tanya Stea saat Naren menatapnya gusar.

"Saya kehilangan Naya, Stea tolong bantu cek cctv ya lalu jika sudah menemukannya segera beri tahu saya. Anak tengil itu suka sekali pergi seenaknya." Naren segera pergi menuju lift, walau begitu Naren tidak akan pernah bisa marah pada putrinya.

Lelaki itu menuju cafetaria karena teringat Naya sempat meminta ijin untuk pergi ke sana. Tapi saat lelaki itu mengendarkan pandangannya tidak ada sosok Naya di cafetaria. Naren mendengus dan memilih untuk singgah sejenak sembari menunggu kabar dari Stea.

Naren tidak khawatir putrinya akan hilang atau tersesat di gedung tinggi miliknya, sebab Naya sudah terlalu hafal letak ruang apa saja di gedung ini. Naren hanya khawatir jika putrinya yang tengil itu justru merepotkan seseorang atau mengganggu pekerjaan seseorang.

Sepertinya di manapun lelaki itu berada akan selalu menjadi pusat perhatian. Lelaki dengan postur tubuh sempurnya, tinggi tegap, wajah yang rupawan dan tatapan yang selalu mengintimidasi lawan bicaranya. Naren terlihat begitu mempesona di mata setiap orang yang menatapnya.

Lelaki itu menjabat sebagai CEO di perusahan milik keluarganya, Nars company, perusahaan yang diwariskan padanya dari sang ayah yang sekarang menjabat sebagai pemilik saham tertinggi.

Perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata itu telah menjadi kepercayaan para wisatawan lokal serta mancanegara karena pelayanannya yang juara.

"Halo, pak, saya sudah menemukan di mana nona Naya berada, menurut rekaman cctv saat ini nona Naya berada di ruangan ibu Renata kepala devisi personalia di lantai 7." Naren mengangguk walaupun Stea tidak dapat melihatnya, "terima kasih, Stea silahkan lanjutkan pekerjaanmu."

Setelah menutup panggilan Naren segera beranjak dari tempat duduknya, Pasti Naya sudah berulah dengan perempuan itu. Dalam perjalanan menuju lantai 7 Naren dipenuhi banyak kebingungan lantaran Naya yang tidak mudah akrab dengan seseorang kini justru bersama dengan seorang perempuan asing.

Naren tentu mengenal Renata namun hanya sebatas pekerjaan, lelaki itu tidak tahu banyak tentang Renata. Mereka cukup sering rapat bersama karena Retana adalah kepala personalia sedangkan ia adalah petinggi di perusahaan.

Dalam langkahnya menuju ruangan Renata, Naren sudah menyiapkan banyak ceramah untuk putrinya yang memang menyebalkan sampai langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruangan Renata karena suara putrinya yang nyaring.

"Mama, lihat aku buka satu jajan milikmu." Naren mengernyit saat Naya tanpa beban memanggil Renata dengan sebutan mama.

"Mama, kau tidak marah kan jika aku membawa pulang semua snackmu? Aku tidak punya di rumah, aku menginginkannya."

"Ambillah, Naya."

Naren mendengus saat Naya kembali memanggil Renata dengan sebutan mama, lelaki itu tahu putrinya menginginkan seorang mama tapi bukankah tidak sopan memanggil orang asing yang bahkan baru ditemuinya dengan sebutan itu?

"Papa!" Pekik Naya saat Naren membuka pintu ruangan Renata tanpa mengetuk terlebih dahulu. Lelaki itu menatap tajam Naya yang duduk santai di atas sofa.

Renata berdiri spontan saat Naren menerobos masuk ke dalam ruangannya. Perempuan itu sangat terkejut terlebih takut saat Naren menatapnya tajam.

"Papa lihat aku dapat banyak snack." Lanjut Naya yang kini memamerkan snack miliknya. Balita itu sama sekali tidak menunjukkan raut takut pada Naren.

"Siapa yang menyuruhmu menganggu staff papa, Naya?" Tanya Naren dengan nada serius, lelaki itu sempat melirik Renata yang menunduk.

"Tidak ada, Naya kan cuma mau sama mama." Naya beranjak dengan santai, menghampiri Renata yang masih menunduk seolah siap dimarahi.

"Papa tidak pernah mengajarimu untuk bersikap sembarangan, ayo kembali ke ruangan papa." Lelaki itu terlihat angkuh dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celananya.

"Ih papa, aku mau di sini sama mama, jangan paksa aku!" Naya justru menjauhi Naren dan mendekat pada Renata.

Gadis kecil itu bersembunyi di belakang Renata, memegang ujung blazer yang Renata pakai dengan erat.

"Naya, kamu tidak boleh mengganggu orang saat bekerja, bermainlah di ruangan papa." Naren menghela napas saat Naya menggeleng cepat.

"Apa mama terganggu dengan kehadiranku?" Naya mendongak menatap Renata, pupil matanya mengecil mencoba mencari kejujuran pada Renata.

Dengan sisa keberanian Renata mendongak, menatap Naren yang terlihat mengintimidasinya.

"Sebelumnya saya minta maaf pak Naren, mungkin anda bisa menjemput Naya saat pulang nanti? Saya tidak keberatan sama sekali jika Naya memang nyaman di ruangan saya." Jelas Renata pada Naren hati-hati, takut lelaki itu marah padanya.

Naya tersenyum menang ke arah papanya, lalu memeluk kaki Renata sangat erat.

"Tuh kan apa Naya bilang, mama baik tidak akan keberatan, sana papa pergi kerja lagi!" Usir Naya.

"Naya itu menyusahkan, jangan pernah berkata kau tidak masalah jika Naya bersamamu atau Naya akan terus menganggumu, Renata." Naren menatap perempuan itu lamat, kemudian beralih pada putrinya.

"Naya, papa tidak pernah mengajarimu untuk sembarangan memanggil seseorang dengan sebutan mama, jaga sikapmu."

"Apasih, tante Renata ini mama baru Naya, jangan larang Naya mencari mama, papa tidak pernah menepati janji selama ini jadi Naya akan mencari sendiri."

Renata yang tidak mengerti hanya diam melihat pertengkaran kecil Naya dan sang papa sebelum akhirnya Naren kembali menatapnya.

"Kalau begitu tolong jagakan Naya untuk saya, Renata." Final Naren sebab putrinya yang mulai mendramatis keadaan.

"Baik, pak." Naren menghela napas panjang melihat tingkat putrinya yang selalu menjengkelkan, sayangnya Naren terlalu mencintai Naya hingga ingin marah pun ia tak bisa.

"Papa akan meninggalkanmu di sini, ingat untuk bersikap sopan, Naya." Ingat Naren yang langsung mendapat cibiran dari Naya.

Renata menunduk begitu Naren menatapnya dalam, lelaki itu terlalu mendominasi suasana sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah berdoa agar Naren segera pergi dari ruangannya.

Narendra terlalu tampan dan berkharisma saat ini, jas yang berantakan, lengan kemeja yang digulung sebatas siku lalu rambutnya yang acak-acakan karena sempat berlari, Renata takut jatuh pada pesona lelaki itu.

"Sana papa pergi! Naya mau sama mama baru."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status