Share

3. Pulang bersama

Aвтор: Reaa Hamida
last update Последнее обновление: 2023-05-26 11:39:18

Pukul empat sore tepat, Renata menutup laptop serta merapikan berkas-berkas penting yang harus ia lanjutkan besok. Perempuan itu meregangkan badan karena terlalu lama duduk, dilihatnya Naya yang tertidur di atas sofa dengan ponsel miliknya yang menyala digenggaman.

Renata meminjamkannya sebab Naya merengek kebosanan, tidak ada buku gambar, tidak ada buku cerita maka Naya meminjam ponsel untuk menonton kartun.

Renata beranjak menghampiri Naya, melihat balita itu yang tidur nyenyak membuat Renata tidak tega membangunkannya. Anak manis yang sangat berbeda saat terbangun, terlihat begitu polos dengan wajah cantik jelita, Renata baru sadar jika Naya mirip dengan Narendra. Seperti Narendra versi perempuan.

Renata meraih ponselnya untuk disimpan, lalu tanpa berpikir panjang menarik Naya agar anak itu tertidur dalam gendongannya. Renata tidak mungkin meninggalkan Naya sendirian di ruangan sebesar ini hingga Naren menjemputnya.

"Mama...." Gumam Naya saat tidurnya terusik, balita itu tanpa ragu mengalungkan tangannya pada leher Renata, menumpukan kepalanya pada bahu Renata lalu kembali memejamkan mata.

Renata tanpa ragu megusap punggung Naya agar balita itu lebih nyaman saat tertidur dalam gendongannya.

"Renata!" Panggilan itu membuat Renata berbalik, dalam jarak lima langkah berdiri sosok Naren yang kini menatapnya.

Lelaki itu dengan segera berjalan ke arah Renata, "saya baru saja ingin ke ruangan kamu." Kata Naren.

"Oh, maaf pak, baru saja saya ingin mengantar Naya ke ruangan bapak." Renata mendekat, lalu dengan tatapannya ia mengkode Naren agar mengambil alih Naya dari gendongannya.

"Ah, sini biar saya yang gendong Naya." Naren merengkuh daksa putrinya, menggendong seperti biasa saat Naya tertidur.

"Renata, terima kasih sudah menjaga Naya hari ini." Naren cukup tahu diri untuk berterima kasih sebab pekerjaan Renata di perusahaannya adalah sebagai kepala devisi, bukan sebagai baby sitter putrinya.

"Sama-sama, pak, kalau begitu saya pamit." Renata sedikit membungkuk untuk pamit, dia tidak mungkin pergi begitu saja terlebih yang berdiri di hadapannya adalah Narendra.

"Renata, tunggu." Panggil Naren yang kini berjalan menghampiri Renata.

"Ya?"

"Kalau boleh, biar saya antarkan kamu pulang, hanya sebagai tanda terima kasih karena sudah menjaga Naya." Ajak Naren tulus. Lelaki itu memang tidak mengenal Renata, tapi ia tahu Renata adalah perempuan yang baik. Maka tanpa ragu Naren menawarinya untuk pulang bersama.

"Terima kasih atas tawarannya, pak Naren, tapi saya bisa pulang sendiri." Renata membungkuk sekali lagi sebagai salam perpisahan, lalu berjalan menjauhi Naren yang masih menatapnya.

Renata masih waras untuk tidak menerima tawaran pulang bersama Naren, ia tidak ingin besok muncul gosip tentangnya yang menyebar. Mungkin gosip murahan tidak akan mempan bagi Naren, tapi cukup membuatnya ditatap dengki oleh beberapa teman divisinya yang justru membuatnya tidak nyaman. Renata hanya ingin bekerja dengan tenang dan nyaman, ia tidak mau dirugikan.

Naren menatap langkah Renata yang semakin menjauh, perempuan itu berbeda dari perempuan lain yang justru sering modus untuk di antar pulang.

"Papa...." Naren menunduk untuk melihat putrinya, "kenapa?" Naya yang mulai terbangun kini menegakkan tubuhnya, menguap dan mengusap matanya yang lengket.

Balita itu melihat sekelilingnya dengan tatapan bingung, "kamu mencari apa Naya?" Naren bertanya.

"Mana mamaku, papa? Aku ingin pulang bersama mama." Naya yang belum sepenuhnya sadar dari rasa kantuk langsung berubah panik. Bibirnya melengkung ke bawah karena tidak menemukan keberadaan Renata di dekatnya, padahal Naya ingat beberapa menit lalu ia berada dalam gendongan perempuan itu.

"Tante Renata sudah pulang, Naya. Jika ingin bertemu besok ikutlah dengan papa ke kantor." Naren merayu putrinya agar tidak menangis. Namun itu percuma, sebab mata Naya langsung berkaca-kaca.

"Mau mama...." Dan tangisnya pecah, Naya memeluk leher sang papa, menangis keras karena ingin bersama Renata.

"Naya, tante Renata sudah pulang, kita temui besok ya?" Naya tetap menggeleng, "Aku mau mama! Jangan panggil tante, itu mamaku!"

"Baiklah, kita cari mama Renata, sudah jangan menangis sayang." Naren berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya yang telah terparkir rapi di lobby. Segera meletakkan Naya pada kursi penumpang saat pintu dibukakan oleh petugas valet.

Naren memutar, duduk di kursi kemudi karena jika dia pergi bersama Naya, Naren tidak akan meminta supir. Lelaki itu melajukan mobil pelan, berharap menemukan sosok Renata yang seharusnya belum terlalu jauh.

Naren tidak mungkin membiarkan putrinya terus menangis hingga kelelahan hanya karena ingin pulang bersama Renata. Beruntungnya Naren menemukan sosok perempuan itu tengah duduk di halte, mungkin sedang menunggu bus.

"MAMA." Panggil Naya keras saat Naren membuka kaca jendela, Renata tampak jelas terkejut dengan panggilan Naya. Menatap khawatir sebab wajah Naya yang terlihat memerah serta tangisan yang belum berhenti.

Renata beranjak untuk menghampiri mobil itu, "kenapa Naya?" Tanyanya begitu tepat di hadapan Naya yang menangis.

"Aku ingin pulang bersama mama hikss..." Mohon Naya yang kini mencoba meraih tubuh Renata.

"Renata, ayo pulang bersama kami, Naya menangis saat sadar tidak ada kamu di sisinya."

Renata tampak terdiam sejenak, ia bimbang untuk menerima tawaran itu. Renata takut ada seseorang yang mengenalnya lalu akan membuat gosip yang tidak-tidak.

"Mama...." Namun rengekan itu kembali membuat Renata melunak, dengan berat hati ia mengangguk. Saat Renata setuju untuk pulang bersamanya Naya tersenyum lebar dengan sisa-sisa tangisan.

"Ayo duduk bersamaku, mama. Naya ingin memeluk mama." Tanpa berpikir lama Renata segera duduk di kursi penumpang sebelah Naren dengan Naya di atas pangkuannya.

Balita itu duduk menghadap dirinya dan menyandarkan kepala di dadanya, memeluk erat seolah takut Renata akan meninggalkannya lagi. Renata hanya berharap semoga Naya tidak sadar dengan detak jantungnya yang begitu cepat, jujur saja satu mobil dengan Naren bukanlah sesuatu yang pernah ia duga.

"Kau tinggal di mana, Renata?" Tanya Naren setelah hening yang lumayan lama. Lelaki itu melajukan mobil dengan kecepatan stabil.

"Saya tinggal di gedung Aster di jalan Pandjaitan, pak." Naren mengangguk paham.

Sesekali Naren melirik putrinya yang duduk di atas pangkuan dengan sangat nyaman. Bibirnya tersenyum lebar saat melihat Naya yang begitu bahagia, apalagi saat matanya tidak sengaja menangkap Renata yang mengusap punggung putrinya agar tenang.

"Mama, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku? Aku kesepian setiap malam karena papa selalu sibuk dengan pekerjaannya, mau ya?" Pinta Naya yang membuat Naren serta Renata sama terkejutnya.

"Naya, kau tidak boleh seperti itu." Sanggah Naren mencoba menghentikan Naya yang semakin menjadi-jadi.

"Kenapa? Apa mama tidak boleh tinggal bersamaku? Papa tidak mau melihatku bahagia?" Ucap Naya dramatis. Balita itu langsung duduk tegak dan menatap tajam sang papa.

"Buka begitu Naya, kau tidak bisa membawa seseorang untuk tinggal bersama dengan paksa." Ujar Naren memberi pengertian. Naren hanya tidak ingin Renata menjadi tak nyaman karena sikap putrinya.

"Aku tidak memaksa, aku menawari mama. Mama mau kan tinggal bersamaku? Jangan pikirkan papa, papa tidak akan berani melukaimu. Aku akan menjagamu ma, jadi ayo tinggallah bersamaku." Rayu Naya lagi, Naren menghela napas saat putrinya mendesak orang lain tanpa memikirkannperasaannya. Naya selalu mendapatkan apa yang ia mau, semua ucapan Naya adalah mutlak bagi Narendra.

"Eh? Maaf Naya, tante-"

"Mama!" Sela Naya saat Renata memanggil dirinya sendiri dengan sebutan tante.

"Iya, mama, maaf ya Naya mama tidak bisa tinggal bersamamu."

"Kenapa? Mama tidak menyayangiku?" Renata semakin bingung, ia rasa Naya sudah tidak tertolong. Pertama, memanggilnya mama tanpa persetujuan, kedua memaksanya untuk tinggal bersama, lalu sekarang dengan tiba-tiba bertanya apakah ia menyayanginya atau tidak.

"Naya, papa sudah bilang jangan memaksa." Naren dengan lembut mencekal tangan Naya, mencoba memberi pengertian jika apa yang Naya mau tidak selalu bisa di dapat.

"Kalian tidak menyayangiku!"

Renata menatap Naren tak enak, seolah berkata, "bagaimana ini, pak?" Di satu sisi Renata tidak mungkin menuruti permintaan Naya kali ini, ia tidak mungkin serumah dengan bosnya sendiri. Tapi melihat Naya yang kembali bersedih, Renata tidak tega.

"Baiklah, papa tidak masalah mama Renata tinggal bersama kita, asal mama tidak terpaksa melakukannya." Di luar dugaan justru Naren menyetujui rencana putrinya.

Renata melotot dengan spontan ke arah Naren, menuntut penjelasan sebab alasannya semakin mendesaknya untuk tinggal bersama. Renata tidak mungkin melakukannya, dia hanya orang asing yang kebetulan bertemu Naya di cafetaria bukan seseorang yang telah lama kenal dengan mereka.

"Yeay!! Ayo mama kita tidur bersama!" Renata tersenyum paksa saat melihat Naya bersorak bahagia.

Apa dia benar-benar harus melakukannya?

Bersambung~

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   42. Ayuna

    Walau Renata tahu Ayuna hanya bercanda dia tetap memberi tatapan kesal. Di otaknya hanya terisi oleh bekerja-bekerja dan bekerja, di jam berapa dia terpikir untuk mem-pelet lelaki yang justru menghabiskan uang untuk membayar dukun. Mulut Ayuna memang kurang ajar! "Kalau aku membenarkan pertanyaanmu itu, apa kamu percaya?" "Tidak, kamu bukan tipe yang akan menghabiskan uang untuk pergi ke dukun." Ayuna duduk di sofa, tepat di sebelah Renata. "Kamu berhutang cerita padaku, padahal aku hanya dinas ke luar kota selama dua minggu. Pulang-pulang sudah diberi kejutan." "Maaf, aku tidak sempat menelponmu karena suasanya tidak bersahabat." jujur Renata. "Kenapa? Apa ada masalah?" Ayuna adalah satu-satunya teman Renata yang paling dekat. Mereka mengenal satu sama lain saat masuk secara bersamaan di perusahaan. Mereka sudah seperti saudara sedarah yang sangat-sangat dekat, selalu berbagi apapun entah itu hal membahagiakan atau kesengsaraan. "Kamu tahu tidak kalau pak Naren memiliki satu

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   41. Kabar pernikahan

    "Baiklah, aku pikirkan nanti sembari berbelanja." Mobil berhenti tepat di depan gedung kantor. Sebelum turun Naren meraih dompetnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu dari sana. Kartu itu ia julurkan di hadapan Renata, memberi kode agar perempuan itu menerimanya. "Seterusnya pakai ini untuk berbelanja. Belilah beberapa barang seperti baju, tas atau heels untukmu, kamu bisa pakai sesukamu, tidak ada limit." Renata tertegun. Dia sempat ragu apakah harus menerima kartu itu dengan suka rela, terlebih dia belum sah menjadi istri Narendra. Belum saatnya bagi Naren mencukupi kebutuhannya selama mereka belum resmi menikah. "Ambil saja, mulai sekarang aku yang akan menanggung hidupmu. Simpan uangmu sebagai tabungan, mulai hari ini aku akan menafkahimu." Renata menerima kartu itu dengan penuh kehati-hatian. Dia bukan tipe perempuan yang suka membelanjakan uang untuk barang-barang seperti baju, sepatu atau tas dari brand ternama. Mungkin ke depannya dia akan membeli sebuah buku dengan kartu in

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   40. Ke sekolah bersama Mama

    "Naya senang karena mulai hari ini akan berangkat bersama Mama." wajah Naya berseri-seri, matanya berbinar karena terlalu senang sebab mulai sekarang bisa berangkat bersama Renata. "Mama juga senang karena bisa mengantar Naya ke sekolah." Naren yang berada di kemudi tersenyum lebar, dia menyukai interaksi-interaksi kecil putrinya itu dengan Renata. Kedua perempuan beda usia itu sudah dekat, nyaman satu sama lain dan terlihat cocok sebagai ibu da anak. Ia berharap interaksi pagi ini akan terus terjadi hingga nanti, hingga ia tua bersama keluarga kecilnya. "Hihihi, Naya bisa pamerkan ke teman-teman kalau Naya sudah punya Mama. Mama mau tidak antar Naya sampai ke kelas?" Pertanyaan sederhana itu mendapat perhatian dari kedua orang dewasa, terutama Naren yang fokus menyetir. Lelaki itu memelankan laju mobil, lalu berdaham kecil sampai kedua perempuannya mengalihkan atensi. "Naya, bukannya Papa ingin melarang. Tapi, Naya bisa kenalkan Mama pada teman-teman Naya nanti setelah Papa

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   39. Sarapan bersama seperti keluarga

    "Kalian sedang membicarakan apa?" Tanpa di undang Naren datang, lelaki itu turun dengan kemeja yang belum dikancingkan. Dasi dan jas ditenteng, datang dengan raut penuh penasaran. Suara bariton lelaki itu cukup mengejutkan Naya yang masih serius mendengarkan jawaban Renata. Begitu juga Renata yang sama sekali tidak menyadari kedatangan Narendra. "Membicarakan filosofi nasi goreng." Jawab Renata sembarang. Kedua alis Naren menukik tidak percaya, menatap intens pada Renata yang terlihat gugup. Perempuan itu terburu menyelesaikan bekal Naya dan mengalihkan pendangan ke sembarang arah. Naren tidak percaya jika kedua perempuannya membicarakan tentang filosofi nasi goreng dengan wajah yang serius, memangnya apa? "Iya, Papa. Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan kita." Beruntungnya Naya yang tidak terlalu mengerti bisa berkompromi tanpa diberi tahu. Dan Beruntung Renata memang membuat nasi goreng pagi ini. "Memangnya apa filosofinya?" Naren bertanya sembari mendekat, dud

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   38. Bercakap dengan Mama

    Mereka berpindah menuju wardrop, Renata yang lihai dan sudah terbiasa mengurus anak kecil dengan cekatan memakaian Naya seragamnya yang lucu. Lalu seperti permintaan anak itu, Renata menyisir rambutnya yang halus secara perlahan dan membaginya menjadi dua. Naya memiliki banyak sekali jepit rambut dan kunciran, juga pita-pita yang dibelikan oleh nenek. Perempuan itu dengan lihai menguncir rambut Naya menjadi dua, mengikatnya tanpa menimbulkan rasa sakit di kulit kepala, berbeda dengan nenek yang suka mengikat dengan kencang sehingga kulit kepala gadis kecil itu tertarik dan menimbulkan rasa sakit. Setelah mengikatnua dengan karet, Renata meraih dua buah pita berwarna merah muda. Lantas menalikan pita itu ke dua kunciran sebelumnya. Perempuan itu juga menambahkan dua jepit berbentuk lidi secara sejajar di sebelah kanan. Membuat Naya terlihat lebih manis dengan penampilannya. "Nah, sudah. Coba Naya berkaca." Renata memutar tubuh calon putrinya agar menghadap kaca. "WAHHH, CANTIK SE

  • Ibu Sambung Untuk Anak CEO   37. Pagi yang membahagiakan

    "Mama sudah tidak marah kan pada Naya?" Mendengar itu Renata dengan cepat beralih, merapikan anak rambut milik Naya dengan senyuman kecil. "Tidak, Mama tidak pernah marah dengan Naya. Mama minta maaf ya sudah membuat Naya ketakutan." "Mama, Naya senang sekali. Mama tidak akan pergi lagi kan? Mama akan selalu berada di dekat Naya kan? Mama sayang Naya kan?" Pertanyaan ber-rantai itu membuat Renata terkekeh sekaligus sedih. Dia merasa lucu dengan bagaimana wajah Naya ketika bertanya padanya, namun juga merasa sedih sebab ternyata Naya menaruh begitu banyak harapan padanya. Harapan agar dia selalu menyanyanginya dan mencintainya, serta untuk tetap tinggal bersamanya. "Mama tidak akan pergi lagi, apapun yang terjadi, Mama juga akan selalu berada di sisi Naya dan Mama sangat-sangat sayang dengan Naya, Mama mencintai Naya seperti hidup Mama sendiri." "Benarkah? Kalau begitu Naya sangat bahagia mendengarnya. Mama mau janji kelingking dengan Naya?" Gadis kecil itu berbinar s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status