Share

3. Pulang bersama

Pukul empat sore tepat, Renata menutup laptop serta merapikan berkas-berkas penting yang harus ia lanjutkan besok. Perempuan itu meregangkan badan karena terlalu lama duduk, dilihatnya Naya yang tertidur di atas sofa dengan ponsel miliknya yang menyala digenggaman.

Renata meminjamkannya sebab Naya merengek kebosanan, tidak ada buku gambar, tidak ada buku cerita maka Naya meminjam ponsel untuk menonton kartun.

Renata beranjak menghampiri Naya, melihat balita itu yang tidur nyenyak membuat Renata tidak tega membangunkannya. Anak manis yang sangat berbeda saat terbangun, terlihat begitu polos dengan wajah cantik jelita, Renata baru sadar jika Naya mirip dengan Narendra. Seperti Narendra versi perempuan.

Renata meraih ponselnya untuk disimpan, lalu tanpa berpikir panjang menarik Naya agar anak itu tertidur dalam gendongannya. Renata tidak mungkin meninggalkan Naya sendirian di ruangan sebesar ini hingga Naren menjemputnya.

"Mama...." Gumam Naya saat tidurnya terusik, balita itu tanpa ragu mengalungkan tangannya pada leher Renata, menumpukan kepalanya pada bahu Renata lalu kembali memejamkan mata.

Renata tanpa ragu megusap punggung Naya agar balita itu lebih nyaman saat tertidur dalam gendongannya.

"Renata!" Panggilan itu membuat Renata berbalik, dalam jarak lima langkah berdiri sosok Naren yang kini menatapnya.

Lelaki itu dengan segera berjalan ke arah Renata, "saya baru saja ingin ke ruangan kamu." Kata Naren.

"Oh, maaf pak, baru saja saya ingin mengantar Naya ke ruangan bapak." Renata mendekat, lalu dengan tatapannya ia mengkode Naren agar mengambil alih Naya dari gendongannya.

"Ah, sini biar saya yang gendong Naya." Naren merengkuh daksa putrinya, menggendong seperti biasa saat Naya tertidur.

"Renata, terima kasih sudah menjaga Naya hari ini." Naren cukup tahu diri untuk berterima kasih sebab pekerjaan Renata di perusahaannya adalah sebagai kepala devisi, bukan sebagai baby sitter putrinya.

"Sama-sama, pak, kalau begitu saya pamit." Renata sedikit membungkuk untuk pamit, dia tidak mungkin pergi begitu saja terlebih yang berdiri di hadapannya adalah Narendra.

"Renata, tunggu." Panggil Naren yang kini berjalan menghampiri Renata.

"Ya?"

"Kalau boleh, biar saya antarkan kamu pulang, hanya sebagai tanda terima kasih karena sudah menjaga Naya." Ajak Naren tulus. Lelaki itu memang tidak mengenal Renata, tapi ia tahu Renata adalah perempuan yang baik. Maka tanpa ragu Naren menawarinya untuk pulang bersama.

"Terima kasih atas tawarannya, pak Naren, tapi saya bisa pulang sendiri." Renata membungkuk sekali lagi sebagai salam perpisahan, lalu berjalan menjauhi Naren yang masih menatapnya.

Renata masih waras untuk tidak menerima tawaran pulang bersama Naren, ia tidak ingin besok muncul gosip tentangnya yang menyebar. Mungkin gosip murahan tidak akan mempan bagi Naren, tapi cukup membuatnya ditatap dengki oleh beberapa teman divisinya yang justru membuatnya tidak nyaman. Renata hanya ingin bekerja dengan tenang dan nyaman, ia tidak mau dirugikan.

Naren menatap langkah Renata yang semakin menjauh, perempuan itu berbeda dari perempuan lain yang justru sering modus untuk di antar pulang.

"Papa...." Naren menunduk untuk melihat putrinya, "kenapa?" Naya yang mulai terbangun kini menegakkan tubuhnya, menguap dan mengusap matanya yang lengket.

Balita itu melihat sekelilingnya dengan tatapan bingung, "kamu mencari apa Naya?" Naren bertanya.

"Mana mamaku, papa? Aku ingin pulang bersama mama." Naya yang belum sepenuhnya sadar dari rasa kantuk langsung berubah panik. Bibirnya melengkung ke bawah karena tidak menemukan keberadaan Renata di dekatnya, padahal Naya ingat beberapa menit lalu ia berada dalam gendongan perempuan itu.

"Tante Renata sudah pulang, Naya. Jika ingin bertemu besok ikutlah dengan papa ke kantor." Naren merayu putrinya agar tidak menangis. Namun itu percuma, sebab mata Naya langsung berkaca-kaca.

"Mau mama...." Dan tangisnya pecah, Naya memeluk leher sang papa, menangis keras karena ingin bersama Renata.

"Naya, tante Renata sudah pulang, kita temui besok ya?" Naya tetap menggeleng, "Aku mau mama! Jangan panggil tante, itu mamaku!"

"Baiklah, kita cari mama Renata, sudah jangan menangis sayang." Naren berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya yang telah terparkir rapi di lobby. Segera meletakkan Naya pada kursi penumpang saat pintu dibukakan oleh petugas valet.

Naren memutar, duduk di kursi kemudi karena jika dia pergi bersama Naya, Naren tidak akan meminta supir. Lelaki itu melajukan mobil pelan, berharap menemukan sosok Renata yang seharusnya belum terlalu jauh.

Naren tidak mungkin membiarkan putrinya terus menangis hingga kelelahan hanya karena ingin pulang bersama Renata. Beruntungnya Naren menemukan sosok perempuan itu tengah duduk di halte, mungkin sedang menunggu bus.

"MAMA." Panggil Naya keras saat Naren membuka kaca jendela, Renata tampak jelas terkejut dengan panggilan Naya. Menatap khawatir sebab wajah Naya yang terlihat memerah serta tangisan yang belum berhenti.

Renata beranjak untuk menghampiri mobil itu, "kenapa Naya?" Tanyanya begitu tepat di hadapan Naya yang menangis.

"Aku ingin pulang bersama mama hikss..." Mohon Naya yang kini mencoba meraih tubuh Renata.

"Renata, ayo pulang bersama kami, Naya menangis saat sadar tidak ada kamu di sisinya."

Renata tampak terdiam sejenak, ia bimbang untuk menerima tawaran itu. Renata takut ada seseorang yang mengenalnya lalu akan membuat gosip yang tidak-tidak.

"Mama...." Namun rengekan itu kembali membuat Renata melunak, dengan berat hati ia mengangguk. Saat Renata setuju untuk pulang bersamanya Naya tersenyum lebar dengan sisa-sisa tangisan.

"Ayo duduk bersamaku, mama. Naya ingin memeluk mama." Tanpa berpikir lama Renata segera duduk di kursi penumpang sebelah Naren dengan Naya di atas pangkuannya.

Balita itu duduk menghadap dirinya dan menyandarkan kepala di dadanya, memeluk erat seolah takut Renata akan meninggalkannya lagi. Renata hanya berharap semoga Naya tidak sadar dengan detak jantungnya yang begitu cepat, jujur saja satu mobil dengan Naren bukanlah sesuatu yang pernah ia duga.

"Kau tinggal di mana, Renata?" Tanya Naren setelah hening yang lumayan lama. Lelaki itu melajukan mobil dengan kecepatan stabil.

"Saya tinggal di gedung Aster di jalan Pandjaitan, pak." Naren mengangguk paham.

Sesekali Naren melirik putrinya yang duduk di atas pangkuan dengan sangat nyaman. Bibirnya tersenyum lebar saat melihat Naya yang begitu bahagia, apalagi saat matanya tidak sengaja menangkap Renata yang mengusap punggung putrinya agar tenang.

"Mama, bagaimana kalau kau tinggal bersamaku? Aku kesepian setiap malam karena papa selalu sibuk dengan pekerjaannya, mau ya?" Pinta Naya yang membuat Naren serta Renata sama terkejutnya.

"Naya, kau tidak boleh seperti itu." Sanggah Naren mencoba menghentikan Naya yang semakin menjadi-jadi.

"Kenapa? Apa mama tidak boleh tinggal bersamaku? Papa tidak mau melihatku bahagia?" Ucap Naya dramatis. Balita itu langsung duduk tegak dan menatap tajam sang papa.

"Buka begitu Naya, kau tidak bisa membawa seseorang untuk tinggal bersama dengan paksa." Ujar Naren memberi pengertian. Naren hanya tidak ingin Renata menjadi tak nyaman karena sikap putrinya.

"Aku tidak memaksa, aku menawari mama. Mama mau kan tinggal bersamaku? Jangan pikirkan papa, papa tidak akan berani melukaimu. Aku akan menjagamu ma, jadi ayo tinggallah bersamaku." Rayu Naya lagi, Naren menghela napas saat putrinya mendesak orang lain tanpa memikirkannperasaannya. Naya selalu mendapatkan apa yang ia mau, semua ucapan Naya adalah mutlak bagi Narendra.

"Eh? Maaf Naya, tante-"

"Mama!" Sela Naya saat Renata memanggil dirinya sendiri dengan sebutan tante.

"Iya, mama, maaf ya Naya mama tidak bisa tinggal bersamamu."

"Kenapa? Mama tidak menyayangiku?" Renata semakin bingung, ia rasa Naya sudah tidak tertolong. Pertama, memanggilnya mama tanpa persetujuan, kedua memaksanya untuk tinggal bersama, lalu sekarang dengan tiba-tiba bertanya apakah ia menyayanginya atau tidak.

"Naya, papa sudah bilang jangan memaksa." Naren dengan lembut mencekal tangan Naya, mencoba memberi pengertian jika apa yang Naya mau tidak selalu bisa di dapat.

"Kalian tidak menyayangiku!"

Renata menatap Naren tak enak, seolah berkata, "bagaimana ini, pak?" Di satu sisi Renata tidak mungkin menuruti permintaan Naya kali ini, ia tidak mungkin serumah dengan bosnya sendiri. Tapi melihat Naya yang kembali bersedih, Renata tidak tega.

"Baiklah, papa tidak masalah mama Renata tinggal bersama kita, asal mama tidak terpaksa melakukannya." Di luar dugaan justru Naren menyetujui rencana putrinya.

Renata melotot dengan spontan ke arah Naren, menuntut penjelasan sebab alasannya semakin mendesaknya untuk tinggal bersama. Renata tidak mungkin melakukannya, dia hanya orang asing yang kebetulan bertemu Naya di cafetaria bukan seseorang yang telah lama kenal dengan mereka.

"Yeay!! Ayo mama kita tidur bersama!" Renata tersenyum paksa saat melihat Naya bersorak bahagia.

Apa dia benar-benar harus melakukannya?

Bersambung~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status