"Mama akan menginap lagi kan? Semalam aku tidur sangat nyenyak karena Mama yang menemani."Naya mendongak untuk menatap Renata yang berjalan di sebelahnya. Sepulang dari kedai es krim keduanya hanya berdiam diri di apartemen Renata. Tidak pergi ke sesuatu tempat karena hari ini cuaca sangat panas, Renata takut Naya akan ruam-ruam jika terkena panas.Tetapi berdiam diri di apartemen tidak terlalu buruk, justru lebih menyenangkan ketimbang berdiam diri di ruangan papa dan menunggu papa menyelesaikan pekerjaan. Naya tidak mati kebosanan karena Renata selalu mengajaknya mengobrol, dan Naya dengan senang hati menceritakan tentang Aruni yang alergi kacang lalu Jarvis yang takut belalang padahal laki-laki. Kemudian saat jam makan siang, Naya dihadiahi sepiring spaghetti carbonara buatan Renata yang rasanya sangat lezat, melebihi rasa spagetti di restoran favorit papa. Naya tidak bisa lagi membendung rasa bahagianya, sebab hari ini ia benar-benar merasa telah memiliki seorang mama. "Hai Naya
"Kau baik-baik saja, Renata?" Perempuan berkemeja putih itu mendongak kala bu Mirna, salah satu pengurus panti menepuk pelan bahunya. Bibirnya spontan tersenyum tipis, seolah berkata bahwa ia baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi pada dirinya. Padahal bekas sayatan yang ia terima satu jam lalu masih begitu membekas."Iya, Bu, aku baik-baik saja." Jawab Renata lembut.Kemudian wanita paruh baya itu menghela napas panjang, lalu duduk tepat di sebelah Renata. Angin malam berhembus kencang, membuat rasa dinginnya menusuk hingga ke tulang. Keduanya duduk di serambi rumah sederhana ditemani langit yang menghitam.Bu Mirna sudah mengenal Renata sejak bayi, sejak perempuan itu ditinggalkan sendirian di depan pintu rumah oleh seseorang. Tanpa surat, tanpa kejelasan. Renata memang telah dewasa, mampu menghidupi dirinya sendiri dan membantu membiayai kebutuhan anak-anak panti. Namun, bu Mirna jelas tahu, Renata hanya perempuan kesepian yang penuh dengan kerapuhan.Senyumnya adalah topeng
"Mamaaa, aku mau mamaaa!""Papa! Aku mau mama!"Sejak sore Naya tidak berhenti menangis, gadis kecil itu terus memekik mencari Renata yang tiba-tiba meninggalkannya saat mandi. Padahal sudah hampir tengah malam, namun Naya sama sekali belum terlihat kelelahan menyuarakan kesedihannya. Membuat semua orang yang berada di mansion khawatir padanya, terutama Naren yang sama sekali tidak melepaskan Naya dari gendongannya."Iya, sayang, besok Papa akan membawa Naya pada mama ya? Sekarang kita istirahat dulu ya."Rayuan Naren lagi-lagi hanya dibalas gelengan, Naya tetap menangis dan semakin erat memeluk leher lelaki itu. Kakinya berayun kuat karena merasa kesal telah ditinggalkan Renata, suara tangisnya yang parau semakin keras membuat hati Naren sakit setengah mati, sebab sebelumnya Naya tidak pernah sesedih ini. Naya memang kerap menangis saat ia tinggal terlalu lama saat bekerja, namun suara tangisnya tak pernah seputus asa ini. Tangannya perlahan mengusap punggung putrinya lembut, meniman
Hari ini matahari terlihat bersinar terang, terasa hangat setelah hujan mengguyur semalaman. Bau tanah yang masih basah bisa dengan jelas tercium, rumput-rumput mengkilau karena basah dan terkena pantulan sinar mentari. Narendra tersenyum begitu putrinya mengerjap beberapa kali karena membiasakan cahaya yang mengganggu penglihatannya. "Selamat pagi, cantiknya Papa." Sapa Naren begitu Naya membuka mata sempurna.Bola matanya yang seperti kacang almond berbinar begitu menyadari hari telah pagi. Tanpa disadari bibir kecil itu tersenyum lebar, kemudian tanpa dikomando melingkarkan kedua tangannya di leher sang papa. Membuat Naren terkekeh dan segera membawa tubuh putrinya itu ke atas pangkuan."Papa sudah janji untuk membawa Naya pada mama, Papa tidak lupa, kan?" Todong Naya. Wajahnya terlihat berseri-seri sekalipun masih jelas terlihat mengantuk."Tidak, sayang. Papa tentu mengingatnya.""Kalau begitu apa boleh Naya tidak ke sekolah hari ini? Naya ingin bersama mama dari pagi." Naren m
"Renata!" Perempuan berkemeja hitam itu memberhentikan langkahnya saat menyadari ada seseorang yang memanggilnya. Saat tubuhnya berbalik dan melihat Naren berdiri tak jauh darinya Renata terdiam. Wajahnya berubah panik ketika Naren mulai melangkah mendekatinya."Kau mau ke mana?" Tanya Naren saat sudah berdiri tepat di hadapan Renata.Laki-laki itu menunduk saat menatap Renata, tak seperti biasanya yang selalu menatap lawan bicaranya dengan tajam dan angkuh, kali ini Naren menatap dengan lembut. Tetapi yang ditatap justru menunduk takut, Naren semakin merasa bersalah kala mengingat semua perkataan Nawes pada perempuan tak bersalah ini. "Saya mau ke cafetaria, Pak." Jawab Renata pelan. Dari gelagatnya saja Naren tahu jika perempuan ini tak nyaman berdiri di dekatnya."Ikutlah denganku." Ajak Naren yang langsung membuat Renata mendongak.Matanya melotot karena terkejut dengan tindakan laki-laki itu. Sebelum tangan Naren menyentuh tangannya Renata sudah lebih dulu mundur, membuat lelak
"Mama!" Panggil Naya yang berlari dari dalam sekolah.Gadis kecil itu memeluk kaki Renata erat, seolah ingin menyalurkan rasa rindunya yang teramat. Wajahnya berseri begitu kepalanya mendongak hanya untuk melihat wajah Renata. Bibirnya tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi."Mama, Naya kangen sekali." Ujar Naya lagi.Renata tak bisa jika tak tersenyum, dengan lembut ia melepas pelukan Naya pada kakinya. Kemudian mensejajarkan tingginya dengan Naya, tangannya mengusap kepala gadis kecil itu sayang. Mengatakan bahwa ia juga rindu pada Naya dan merasa bersalah karena kemarin pergi tanpa berpamitan."Mama juga rindu Naya. Kok matanya sembab, Naya habis menangis?" Tanya Renata.Saat menyadari mata Naya sedikit sembab dan wajahnya yang sayu. Perempuan itu tanpa menunggu jawaban Naya berangsur menarik tubuh kecil itu, merengkuhnya dalam pelukan hangat. Tanpa ia sadari, Naren yang berdiri tepat di sebelahnya tersenyum tulus melihat interaksinya dengan Naya. "Naya menang
"Naya tunggu di sini saja ya, biar Mama yang memasak." Setelah kurang dari satu jam berbelanja, mereka segera pulang ke apartemen Renata. Ini kali pertama bagi Naren masuk ke dalam tempat tinggal kecil Renata. Jelas sangat berbeda dengan tempat tinggalnya yang besar luar biasa. Matanya tak lepas dari seisi penjuru tempat ini, sedikit tidak percaya jika perempuan itu benar-benar hidup secukupnya. Tidak ada banyak perabotan di dalamnya, dapurnya terlihat dari ruang tamu, hanya ada satu kamar tidur dengan kamar mandi di luar. Namun, Naren akui tempat tinggal Renata terasa begitu hangat dan nyaman, semua barangnya ditata rapi membuat sepetak tempat tinggal ini tidak terlihat sempit."Aku mau lihat Mama masak, pliss." Lamunan Naren terpecah begitu mendengar rengekan putrinya, gadis kecil itu berjalan membuntunti Renata yang berangsur menuju dapur membawa semua bahan masakan. Gadis kecilnya terlihat sangat manja, terlihat sangat antusias mengikuti Renata ke dapur untuk melihat perempuan i
Siang telah berganti malam, itu artinya Naya dan Naren sudah seharusnya pulang. Tapi pasangan ayah dan anak itu justru masih berdiam diri di apartemen Renata dengan nyaman. Tanpa rasa peduli jika si pemilik tidak nyaman dengan keberadaan mereka, lebih tepatnya keberadaan Naren.Laki-laki itu terus menatap Renata tanpa jeda, semua aktivitas perempuan itu tak luput dari pandangan Naren. Interaksi-interaksi Renata dengan Naya jelas membuat Naren tak mampu bicara, kedua perempuan beda generasi itu terlihat sangat cocok menjadi ibu dan anak. Keduanya sedikit mirip dan Renata mampu mengimbangi semua kelakuan putrinya."Naya, browniesnya Mama letakkan di dalam paper bag ya." Kata Renata.Perempuan itu memasukkan sekotak wadah berisi brownies buatannya tadi sore ke dalam paper bag. Lalu membawa paper bag itu untuk diberikan kepada Naren. Agar lelaki itu tidak lupa membawanya saat akan pulang, dan Renata berharap lelaki itu segera membawa Naya untuk pulang. "Iya, Mama, terima kasih, ya." Jawab