Share

7. Menolak?

"Mama, suapin aku ya." Naya yang duduk di sebelah Renata merengek. Gadis kecil itu memegang lengannya dan digoyang-goyangkan.

"Naya, makan sendiri sarapanmu, kamu bukan lagi bayi." Titah Naren tegas pada Naya. Lelaki itu baru saja duduk dan langsung mendengar Naya merengek.

"Apasih, aku kan minta pada mama kenapa papa yang sewot?" Naya menatap sinis ke arah sang papa.

"Naya-"

"Tidak apa-apa, sini mama suapin."

Belum sempat Naren mengeluarkan kata-kata mutiara Renata lebih dulu menyela. Perempuan itu tidak ingin Naya dan Naren berdebat di depan makanan, tidak sopan.

Naren menghela napas kesal saat Naya menatapnya meremehkan, seolah berkata jika apapun yang ia inginkan pasti ia dapatkan termasuk perhatian dari Renata.

Di sebelahnya Aldeis hanya terkekeh melihat putranya tak lagi berkutik. Sudah tahu Naya adalah ratu di rumah ini masih saja di lawan.

"Pelan-pelan mengunyahnya, agar tidak tersedak." Ingat Renata. Sesekali perempuan itu mengusap sudut bibir Naya yang belepotan, tanpa risih dan jijik sama sekali.

Renata terlihat seperti seorang ibu yang tengah menyuapi putrinya. Ketelatenan perempuan itu saat menyuapi Naya sedikit membuat hati Naren terenyuh. Putrinya yang sangat tidak menyukai orang asing kini terlihat sangat nyaman di dekat Renata.

"Aku mau susu."

Bahkan saat Naya meminta susu dengan sigap Renata langsung meraih gelasnya, memberikan pada Naya yang kehausan.

Naya yang biasanya pemilih saat makan kini seolah tidak peduli dengan apa yang masuk ke dalam mulutnya. Aldeis dan Naren sampai terheran-heran sebab biasanya Naya selalu beralasan agar tidak sarapan. Tapi dengan Renata, Naya menurut tanpa protes sedikitpun.

"Pelan-pelan saja, Naya, kau masih memiliki sisa waktu yang cukup untuk berangkat ke sekolah."

Renata mengulas senyum saat melihat sikap Naya, gadis kecil ini mengingatkannya pada anak-anak panti yang selalu bersemangat setiap jam makan. Mereka akan duduk berjajar menunggu giliran hanya untuk seporsi nasi dengan lauk seadanya.

Mengingat itu membuat Renata menjadi rindu tempat di mana ia dibesarkan. Sudah satu bulan Renata belum berkunjung karena sibuk, mungkin jika ia memiliki waktu luang di akhir pekan nanti ia akan berkunjung ke panti.

"Mama, aku sudah kenyang." Ujar Naya sembari meletakkan gelasnya.

Renata mengangguk lalu segera menghabiskan sarapan miliknya yang tertunda. Selama hidupnya Renata tidak pernah mendapati banyak makanan di meja makan, baru kali ini. Saat ia sudah bekerja pun Renata tetap harus menghemat karena sebagian dari gajinya harus ia berikan pada ibu panti untuk membantu anak-anak lain.

Ternyata menjadi orang kaya itu enak sekali ya, sekali makan saja ada banyak pilihannya. Sedangkan ia setiap hari masih harus berpikir harus membeli lauk apa yang murah untuk dijadikan makan malam.

"Kalau kau sudah selesai segera ke mobil, jangan lama-lama." Ujar Naren yang beranjak dari duduknya.

Laki-laki itu meraih jas dan tas kerjanya, kemudian mendekat pada Naya untuk mencium pipi gadis kecil itu, baru ia beranjak dari ruang makan.

"Renata, nikmati saja sarapanmu dan tidak usah pedulikan Naren. Jika ditinggal pun masih ada banyak sopir di rumah ini." Sanggah Aldeis.

Wanita paruh baya itu mengerlingkan mata jengkel saat melihat kelakuan putranya angkuh.

"Terima kasih, tante, tapi saya sudah selesai. Saya akan bergegas agar pak Naren tidak menunggu terlalu lama, terima kasih untuk sarapannya." Papar Renata sendu.

Perempuan itu tersenyum menatap Aldeis, wanita paruh baya yang tulus menyambutnya. Satu hari berada di rumah ini Aldeis benar-benar memperlakukannya dengan baik.

"Baiklah kalau begitu, hati-hati ya."

Renata berjalan keluar rumah megah ini sembari menggandeng Naya, sedangkan tangan sebelah kiri menenteng tas ransel bergambar barbie milik Naya.

Gadis kecil itu berjalan riang, rambutnya yang dikuncir dua ikut bergoyang-goyang. Menambah kesan imut dan cantik dalam diri Naya.

"Aku mau duduk bersama mama, di depan." Pinta Naya.

Renata tanpa menolak menuruti permintaan Naya, menarik klop pintu penumpang di sebelah Naren seperti kemarin. Naya terlihat nyaman duduk dipangkuan Renata, sesekali bersandar pada tubuh Renata.

"Papa, nanti tidak usah menjemputku ya. Aku ingin mama yang menjemputku dan papa tidak boleh protes." Ujar Naya.

Suara kecil itu membelah sepi diantara Renata dan Naren, keduanya hanya saling melirik sesekali.

"Terserah Naya saja asal jangan merepotkan mama Renata."

"Aku tidak pernah merepotkan seseorang, huh." Sangkal Naya yang merasa tak terima selalu dikata merepotkan.

"Ya ya, terserah. Oh iya, mungkin papa akan pulang malam karena hari ini ada rapat pemegang saham. Kau diamlah di rumah dan jangan membuat onar dengan suster, Naya."

"Aku tidak pulang, aku akan bersama mama sampai malam. Aku akan pergi dari rumah karena papa tidak menyayangiku." Balas Naya terlalu dramatis.

Naren sudah terbiasa dengan sifat putrinya yang terkadang memang aneh, tapi bagaimanapun Naya tetaplah darah dagingnya.

"Turun lah, kita sudah sampai." Putus Naren saat mobil berhenti tepat di lingkungan sekolah Naya.

"Pak Naren, tolong tunggu sebentar saya akan mengantarkan Naya sampai gerbang."

Tanpa menunggu jawaban Naren, Renata lebih dulu keluar dari mobil bersama Naya. Perempuan itu menggandeng Naya, menuntun gadis kecil itu agar hati-hati dalam melangkah.

Naren menatap lamat pemandangan itu, sedikit tertampar sebab ia tidak pernah turun dari mobil untuk mengantar Naya hingga gerbang. Kedua sudut bibirnya teryarik ke atas saat melihat Naya memeluk Renata sembari tersenyum ceria, sebelum akhirnya mereka berpisah dengan lambaian.

Saat Renata kembali ke arah mobilnya, Naren terdiam. Perempuan itu entah mengapa terlihat mirip dengan mendiang istrinya, senyumnya yang terlukis indah, cara berjalannya yang anggun dan mata hitam yang bersinar. Yang membedakan mereka berdua hanya panjang rambut dan postur tubuh.

Renata memiliki rambut panjang lurus yang berkilau sedangkan Safala, mendiang istrinya berambut pendek sedikit bergelombang seperti Naya. Renata terlihat sedikit tinggi dan lebih kurus dari Safala.

Kenapa Naren baru menyadarinya setelah mereka bertemu untuk kesekian kali?

"Pak Naren, maaf karena terlalu lama."

Naren tidak menjawab, setelah perempuan itu duduk sempurna Naren segera melajukan mobil, membentang jalanan ramai penuh hiruk pikuk untuk menuju kantor.

Perjalanan keduanya dipenuhi keheningan, Renata tidak berani membuka suara sebab Naren terlihat dingin. Perempuan itu hanya mampu berdoa semoga saja Naren tidak melampiaskan kekesalannya pada pekerjaan Renata.

Jari-jari Renata memelintir rok yang ia kenakan, berusaha mengendalikan rasa tak nyaman yang bersarang pada hatinya, satu mobil bersama Naren entah mengapa membuat perjalanan terasa lebih lama.

"Apa keputusanmu untuk tawaran semalam?" tanya Naren tiba-tiba.

Lelaki itu bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan, tidak pula menoleh pada Renata yang terkejut karena pertanyaannya.

"Ah, maaf, pak. Saya tidak bisa melakukannya."

"Kenapa? Kau merasa kurang atas gaji yang ku tawarkan?"

"Bukan begitu."

Renata menegakkan duduknya, perempuan itu terlihat menggigit bibir bawahnya gamang. Lalu menatap Naren yang masih fokus pada jalanan.

"Lalu?"

"Saya hanya merasa itu tidak benar, suatu hari nanti saya akan melukai perasaan Naya, jika Naya tahu saya berpura-pura menjadi mamanya hanya demi uang."

"Saya memang butuh uang pak Naren, tapi saya tidak mau bekerja dengan cara seperti ini." Jelas Renata.

Ternyata kaca mata yang dipakai Aldeis memang tidak pernah salah dalam menilai seseorang. Dan Naren tidak bisa membuktikan pada sang mama jika Renata adalah perempuan yang menggilai harta.

Perempuan itu entah naif atau memang benar baik, Naren tidak bisa menilainya hanya dalam sekejap.

"Kau benar menolak awaranku? Aku tahu kau berusaha membantu panti asuhan tempatmu tinggal dulu, kau butuh uang Renata jangan naif."

Mencari latar belakang perempuan seperti Renata bukanlah hal yang susah bagi Naren. Itulan sebabnya lelaki itu tahu dari mana asal Renata.

"Benar, saya memang perempuan yang tidak punya apa-apa. Tapi saya bukanlah seseorang yang naif, saya memang besar di sebuah panti asuhan, tidak punya rumah yang layak, hidup seadanya, tapi kami diajarkan untuk menjadi orang yang tulus. Kami dibesarkan dengan cukup pengertian dan diajari untuk menjadi orang baik."

"Pak Narendra, semua orang memang membutuhkan uang, tapi tidak semua orang berusaha mendapatkan uang dengan cara yang sama. Mungkin anda bilang saya naif karena menolak tiga kali lipat dari gaji yang saya terima di perusahaan. Namun saya tidak menyukai cara untuk mendapatkan uang itu, sebab akan ada seseorang yang berdarah kesakitan karena ulah saya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status