Melihat kursi di sampingnya kosong dan pandangannya langsung tertuju pada Bagas, membuat Barra diliputi gelisah. Pria itu memang tidak fokus sejak awal. Kini, matanya terus mengarah ke pintu auditorium, setiap kali terbuka, bukan Yasmin yang masuk.
Barra menduga toilet sedang penuh, mengingat ini seminar terbuka. Dia menghubungi Yasmin. Tersambung, tetapi tidak diangkat.
"Yasmin … kenapa lama," desah Barra sambil menggoyangkan kaki dengan gelisah.
Tepat pada menit ke-15, dia berdiri. Bagas mengikuti, dari tatapannya terlihat pria itu juga merasa ada sesuatu yang janggal. Barra tidak membantah, yang terpenting sekarang adalah Yasmin.
Dengan langkah tertatih karena masih menggunakan tongkat, Barra menerobos kerumunan mahasiswa kedokteran yang sibuk bercanda, kontras dengan gundah dalam hatinya.
Toilet memang penuh. Barra dan Bagas saling berpandangan.
"Kita tunggu saja sampai sepi," saran Bagas.
Barra menggeleng dan sorot matanya
Mendengar pertanyaan menjijikkan yang baru saja terlontar dari mulut Bram, Barra hanya terkekeh pelan. Jika bukan karena mulutnya ini pernah mencicipi bangku pendidikan dan diajarkan pengendalian diri, sudah pasti dia akan memuntahkan semua sumpah serapah yang tertahan di kerongkongan.Akan tetapi, dia sadar benar kalau kekerasan tidak akan berguna sekarang. Yang dia inginkan hanya satu : mengetahui di mana putri kandungnya berada."Bu?" panggil Bram dengan alis berkerut, melihat ibunya hanya mengatupkan bibir rapat-rapat.Barra mengamati keduanya. Dalam benaknya, Ibu dan Anak itu sedang bersandiwara. Sebagai aktor yang pernah naik daun dan meraih berbagai penghargaan, tentu saja akting Bram tidak bisa diremehkan, meskipun pada akhirnya pria itu tetap saja seorang bajingan."Aku ulang sekali lagi." Barra menghirup napas dalam-dalam, mencoba menahan gelombang amarah yang sudah mencapai ubun-ubun. "Katakan di mana putri kandungku?! Atau kalian lebih suka kalau aku gunakan cara kekerasan
Melihat Airin hanya terdiam dan membeku, bahkan tidak berkedip sama sekali, Barra sudah mendapatkan jawabannya. Apalagi, dia bukanlah orang awam yang sulit membaca gelagat seperti itu. Dia sudah bertemu banyak klien dan tersangka kasus berat.Sebelah sudut bibir Barra terangkat, seringai getir menyiratkan amarah yang ditahan. Rahangnya mengeras, gigi-giginya saling bergemeretak hingga tampak jelas otot-otot di wajahnya menegang. Sorot mata cokelat pria itu berubah tajam dan berkilat bak bara api yang siap menyambar.Ingin rasanya dia mengobrak-abrik isi rumah kontrakan itu, membalaskan semua amarah yang mengendap di dadanya. Namun, akal sehat menahan Barra. Jika dia membuat keributan, warga akan berdatangan dan masalah bisa makin rumit.Sebelum berbalik badan, Barra sempat berkata pada Airin dengan nada tajam, “Tunggu surat panggilan dari polisi.”Sontak, Airin yang sebelumnya hanya terpaku, kini tersadar dan segera menahan langkah Barra. Bukan dengan tangan, tetapi menarik kaki pria
Restoran di pinggiran kota itu sudah mulai sepi. Para pengunjung mulai pergi dan tidak ada yang datang lagi. Namun, Samantha juga Barra maish betah duduk di sana.Beberapa gelas minuman telah kosong, bahkan piring-piring pun hanya menyisakan sisa saus dan remah roti. Kotak bekal yang tadi dibawakan Yasmin juga telah dibuka dan isinya habis disantap Barra dengan lahap, meskipun dalam diam.Samantha meletakkan garpunya, lalu menatap ke arah keponakannya yang duduk bersandar dengan wajah kosong."Kamu kayaknya ada rasa sama Yasmin," ucap Samanta pelan, membuat Bara hanya tersenyum tipis."Cuma senyum doang?" Samantha mengangkat alis. "Kalau memang suka, kasih tahu saja. Lamar dia. Atau kalau perlu, langsung nikah. Kamu juga duda, Bar. Hampir setahun. Memang, kamu tahan tinggal serumah terus pura-pura tidak ada apa-apa?"Bara terkekeh ringan, lalu menggeleng. Ya, bagaimanapun dia pria normal. Seringkali nalurinya sebagai lelaki bangkit, meskipun hanya melihat dari kejauhan. Seperti Yasmin
Yasmin sedang duduk di ruang keluarga bersama anak-anak. Dua bocah itu searang tidak bisa diam. Bahkan sudah empat orang yang menjaga tetap kewalahan. Terutama Boy sangat aktif, berusaha naik kursi, lalu turun lagi.“Dulu Barra kayak begini, Yasmin. Persis Boy, tidak bisa diam. Mami sampai stress. Aapalagi semua anak Mami laki-laki, kalau berantem, main pukul-pukulan.”Ibu susu itu terkekeh mendengarnya. Dahulu dia memang ingin sekali melihat buah cintanya tumbuh dengan baik. Sekarang, dia hanya bisa menyaksikan anak susunya tumbuh sehat. Miris, tetapi Yasmin tetap senang.“Tapi Cleo agak kalem, Mi. Mirip siapa, ya?” tanya Yasmin.Kezia memicingkan mata, mengamati cucu cantiknya itu yang sedang sibuk meraih camilan dari toples.“Siapa, ya? Mungkin Berliana,” ujar Kezia, “tapi makin besar mukanya dia lebih mirip … umm ….” Kezia pun tersenyum pada akhirnya, sebab menilai Cleo tidaklah sama dengan anak-anak dahulu.Kezia tidak pernah menaruh curiga apa pun. Keinginannya untuk memiliki cu
Yasmin berdiri di balkon lantai dua, bukan di kamar bayi, tetapi bagian di sisi timur rumah yang langsung menghadap ke arah gerbang. Malam makin larut, meskipun bintang menggantung di langit gelap.Pikiran wanita itu masih dipenuhi oleh tanda tanya. Bara belum kunjung pulang. Tidak ada kabar atau pesan singat. Ppanggilan suaranya pun masih tidak diterima oleh pria itu. Ini bukan pertama kalinya Bara seperti ini.Pascahubungan mereka membaik, sesibuk apa pun, pasti Barra akan mengabarinya. Walaupun hanya satu kata. Namun, kali ini ... rasanya beda. Terlalu janggal bukan?Sore tadi, Yasmin menunggu lebih dari satu jam, dia pikir Barra terjebak macet mengingat lalu linta pulang kerja. Namun, tidak adanya kabar, dan suanan kampus yang makin sepi, serta gerimis mulai turun membuat wanita manis itu memutuskan pulang tanpa Barra.Yasmin meraih ponselnya. Jemarinya dengan lincah mengetik pesan pada Bahtiar.[Pak Batiar, apa Mas Barra masih di kantor?]Balasan datang tak lama kemudian. [Pak Ba
Bara duduk membeku di depan meja, iris cokelatnya terpaku pada selembar kertas hasil tes DNA yang baru saja dibuka dari amplop putih. Wajah tampannya menjadi pucat seakan darah tak pernah mengalir di sana.Tangan pria itu masih gemetar, bagai kehilangan daya cengkeram. Kini matanya perlahan mengabur, karena air mata dan pikiran yang mendadak kacau balau.Tanpa banyak bicara, Samantha menunduk, lalu memungut kertas itu dengan hati-hati. Dia membaca pelan-pelan, dan kemudian menelan saliva ketika membaca hasil tes itu."99,9% ... hasil DNA cocok dengan Yasmin," gumam Samantha sangat pelan, lalu dia menatap Bara dalam-dalam. "Itu berarti Cleo ... benar-benar anak kandung Yasmin."Sedangkan Bara tetap diam. Dengan rahang mengeras dan matanya tertuju pada lantai, kepalanya menyusun kembali kepingan-kepingan fakta yang baru saja menamparnya."Bagaimana bisa ...," gumamnya pria itu, "Selama ini ...,"Kepalanya masih terasa berat. Bahkan aura dingin menguar dari tubuhnya."Lalu ... Boy?" bis
“Sebenarnya … apa yang Mas selidiki?”Pertanyaan Yasmin itu seakan menggantung di udara. Meskipun intonasinya terdengar lembut, tetapi mata bulatnya menatap Bara dengan penuh selidik. Bahkan udara terasa bergerak perlahan di tengah cahaya terang lampu, dan keheningan sejenak mengisi ruang di antara mereka.Bara mengalihkan pandang ke depan. "Bukan sesuatu yang penting," jawabnya pria itu, “kamu ‘kan tahu aku banyak menyelidiki kasus.”Bibir agak penuh pria itu mengukir senyum tipis yang menghiasi wajahnya. Hangat, tetapi kaku. Bahkan tidak membuat dada Yasmin tenang.Yasmin mengangguk perlahan, meskipun hati tak sepenuhnya percaya. Ada sesuatu yang mengganjal, yang memita wanita itu untuk bersabar sebentar. Ya, dia memilih diam. Baginya cepat atau lambat, pasti hal mencurigakan itu terkuak.Sedangkan Bara harus berusaha bersikap hangat pada Yasmin. Keduanya memilih mengikuti permainan untuk saat ini.Kemudian mereka pulang. Rubicon putih Barra memasuki rumah bergaya tropis yang sudah
Yasmin pernah berharap putri kecilnya yang telah meninggal bisa hidup kembali lewat sebuah keajaiban. Nahas, harapan itu sudah lama dia kubur dalam-dalam. Itu mustahil.Dia masih ingat jelas betapa dinginnya kulit anaknya saat itu. Sarah bahkan langsung membawanya pergi untuk dimakamkan. Tidak masuk akal … bayinya bangkit dari kubur?Dia menggeleng pelan, menolak membuka luka lama. Matanya berkaca-kaca.“Tidak mungkin, dia masih hidup,” gumamnya, “saya sendiri yang lihat … bayi itu dikubur.”Suara Yasmin terdengar serak. Dia berusaha terlihat tegar, tetapi napasnya saja tersengal. Dia harus realistis, dan ini sudah hampir setahun berlalu.Barra masih menatap Yasmin lekat-lekat. Pria itu menyadari pertanyaannya barusan mungkin menyentuh luka yang belum sembuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia merangkul Yasmin dan mengusap pelan bahunya.“Maaf. Aku cuma tanya…,” bisiknya pelan, tulus.“Tolong jangan diungkit lagi, Mas.” Yasmin menahan senyum kecil, berusaha memperbaiki suasana. Dia tidak
"Ada apa? Aku melewatkan sesuatu?" Suara Barra terdengar tegas dan serius. Aura tegang terpancar dari wajahnya, dan dia tidak berusaha menutupi dari Samantha. Tatapan pria itu dingin, menciptakan suasana mencekam di dalam ruangan.Bagi Barra, Samantha bukan sekadar dokter kenalan keluarga. Dia menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri, dan kelak—dokter cantik inilah yang dipercaya akan membantunya mengungkap semua kejanggalan."Sebelumnya ... Tante tidak tahu kalau wanita itu ibunya Bram," ucap Samantha perlahan. "Tapi belakangan ini, setelah foto dan videonya viral di media sosial, Tante jadi sadar."Barra masih menyimak. Dahi pria itu berkerut dalam, mencoba mencocokkan potongan informasi yang diberikan oleh Samantha. Namun belum ada yang benar-benar menjawab rasa curiganya.Samantha melanjutkan dengan nada lebih hati-hati, "Pagi itu, setelah Berliana melahirkan dan ... koma, mamanya Bram bertemu dengan Airin. Mereka berbincang cukup lama. Tapi Tante tidak tahu apa yang mereka ba