Sementara itu beberapa menit sebelumnya.
[Bagian depan sudah aman. Nona bisa masuk, mereka ada di taman sebelah gerbang.] Pesan dari Ronald itu muncul di layar ponsel Bella tepat saat sopirnya menghentikan mobil di balik dinding gerbang utama mansion. “Sempurna!” puji Bella atas pekerjaan salah satu orang kepercayaannya itu. Bibir wanita berambut hitam legam itu melengkung, memperlihatkan senyum licik yang bahkan membuat pengemudinya diam-diam merinding. Bella turun dari mobil tanpa banyak bicara. Dia melangkah masuk ke dalam mansion, tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Saat kakinya menapaki jalan setapak menuju taman, mata Bella langsung menangkap sosok Sydney yang duduk di atas alas piknik. Rambut panjang bergelombang warna cokelat milik wanita itu terlihat sangat mencolok. Namun langkah Bella terhenti ketika jarak di antara mereka kian dekat. “Mamiii!”<“A-aku … aku penasaran,” jawab Sydney pelan, setelah beberapa detik memandangi mata Morgan bergantian antara yang kanan lalu kiri, seakan mencoba membaca isi kepala suaminya melalui sorot mata pria itu. Morgan mendengkus pelan, seolah ingin mengatakan bahwa alasan itu terlalu sederhana. Namun sebelum bibir pria itu terbuka, Sydney sudah bergerak lebih dulu, memanfaatkan momen tersebut untuk melihat pria yang semula duduk satu meja dengan Morgan. Pria itu menoleh dan mengangguk sopan pada Sydney. Sikapnya kalem dan penuh wibawa. Namun alih-alih membalas, Sydney justru memutus tatapan mereka. Ada sesuatu yang membuat tengkuk Sydney terasa dingin. Entah karena aura pria itu, atau karena Sydney menyadari bahwa Morgan mungkin saja telah lebih dulu membuat keputusan tanpa bicara padanya. “Apa dia Pak Varel?” serbu Sydney dengan suara setengah berbisik yang tajam. “Kau sudah bicara apa saja?” Morgan menurunkan tangan yang semula menggenggam bahu Sydney, lalu dengan refleks menggengga
“Nomor ini terus mencoba menghubungiku beberapa kali selama satu minggu terakhir. Mungkin hanya orang iseng atau orang media, abaikan saja.” Morgan berkata datar sembari menatap layar ponsel di tangannya. Nada suara pria itu terdengar tenang, tetapi ada kekesalan samar di ujung kata-katanya. Morgan menatap angka-angka yang tertera di layar, tanpa sadar sudah menghafalnya karena terlalu sering muncul. Sydney berdiri tidak jauh darinya sambil terus menatap Morgan sambil mengernyitkan dahi. Tatapan wanita itu tidak lepas dari wajah suaminya. Morgan mengangkat ibu jari, siap menekan ikon telepon merah untuk menolak panggilan, tetapi tangan lain yang hangat tiba-tiba menyentuh lengannya. “Jika dia sudah mencoba menghubungimu beberapa kali,” ucap Sydney lembut, “coba angkat saja.” Morgan menoleh dan menatap mata istrinya. Untuk beberapa detik, Morgan menimbang-nimbang keputusan yang akan dia ambil. Antara mengikuti kata hatinya atau saran wanita yang dia cintai. Walaupun sering me
“Baiklah. Kali ini aku serius,” tukas Ken, lalu menghela napas. Ken mencondongkan tubuh ke depan, menaruh kedua siku di lutut, dan menatap Morgan lurus-lurus. “Echelon Vanguard sudah bubar,” lanjut Ken lebih serius. Morgan mengangkat alis, tetapi hanya sebentar. Sebuah senyum puas langsung mengembang di bibir pria itu. “Itu bagus,” sahut Morgan dengan tenang. Sorot mata Morgan memancarkan aura penuh kemenangan. Namun, Ken tidak ikut tersenyum. Pandangannya tidak lepas dari mata Morgan. “Kau mengancam Jerry dengan apa hingga dia menurutimu?” tanya Ken menelisik sambil menyipitkan mata. Morgan hanya diam dan menyesap wine tanpa tergesa. Dia tahu Ken tidak asal bertanya. Pria itu cukup tajam untuk menyadari bahwa bubarnya organisasi sebrutal Echelon Vanguard tidak mungkin tanpa tekanan yang ekstrem.
“Darling,” bisik Morgan sembari menggenggam tangan Sydney dan menariknya ke dalam pelukan hangat. Napas pria itu terasa di telinga Sydney, membuat jantung wanita itu berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Lengan Morgan mengerat, seolah tidak ingin melepaskan, seolah pelukan itu adalah satu-satunya hal yang bisa menjamin dunia tetap aman untuk mereka berdua. “Setiap hari bersamamu itu istimewa bagiku, Darling,” lanjut Morgan, suaranya berat dan tenang. “Sekarang mari habiskan waktu dengan kegiatan yang hanya bisa kita lakukan berdua selama satu minggu ke depan.” Nada suara Morgan terdengar seperti sedang menggoda Sydney. Dan benar saja, detik berikutnya, Morgan menyeringai nakal. Jemari pria itu mulai menelusuri punggung Sydney dan dengan tenang menurunkan ritsleting gaun tipis bermotif bunga yang masih membalut tubuh sang istri. Sydney meremas lengan suaminya pelan, tetapi tawa wanita itu pecah begitu Morgan menciumi tengkuknya seperti pria lapar yang baru menemukan
Pulau pribadi Morgan tidak terlalu besar, tetapi letaknya menyajikan pemandangan yang sangat indah. Sydney berdiri di bibir dermaga kayu yang mengarah langsung ke hamparan pasir putih dan air laut sebening kristal. Wanita itu tidak bisa berhenti memandang kagum pemandangan dari sekitarnya. Angin mengibaskan helaian gaun tipis bermotif bunga yang membalut tubuhnya. Langit begitu cerah, dan bayangan gunung di seberang lautan menambah keindahan panorama yang terasa seperti lukisan hidup. Morgan berdiri di sampingnya, juga dengan pakaian santai yang serasi. Kemeja putih tipisnya tertiup angin, dan rambut cokelatnya tampak sedikit berantakan, membuat pria itu terlihat jauh lebih memikat. “Sejak kapan kau memiliki pulau pribadi ini?” tanya Sydney akhirnya, menoleh dengan pandangan campur aduk antara kagum dan heran. Morgan menyerin
“Kau harus bersedia. Masih ada kejutan lain yang aku siapkan sebagai permintaan maaf,” sambung Morgan terdengar lembut, tetapi tidak memberi celah untuk penolakan. Pria itu masih menggenggam lengan Sydney penuh kasih sayang. Sydney terkekeh tanpa suara. Mata wanita itu kembali menatap kapal pesiar yang kini mulai terlihat lebih megah daripada sebelumnya. “Tapi kita tidak bawa pakaian ganti, Morgan.” Bibir Sydney mengerucut terdengar ragu, tetapi matanya masih berbinar. Morgan tersenyum miring, lalu menangkup rahang Sydney dengan satu tangan. Jari pria itu mengusap perlahan kulit wajah Sydney, dan matanya menatap lekat penuh hasrat. “Semuanya sudah aku siapkan, termasuk pakaian. Tapi, Darling …” Bisikan Morgan merambat seperti bara di balik telinga Sydney. “Aku rasa, kita tidak membutuhkan pakaian di tempat di mana hanya ada kita berdua.” Pipi Sydney spontan merona. Napas wanita itu tercekat, dan belum sempat dia membalas, bibir Morgan sudah menempel di bibirnya denga