Morgan langsung berdiri di antara mereka untuk melindungi Sydney. Pria itu mengulurkan tangan ke belakang dan menutupi tubuh istrinya dari dua sosok di hadapannya. Vienna dan Lucas berhenti di jarak lima meter. Mereka tidak berani lebih dekat karena aura siaga dari Morgan begitu kentara. Sydney tetap berdiri diam di belakang suaminya, meskipun tubuhnya sedikit menegang. Tatapan Lucas menelusuri wajah Sydney, tetapi ekspresi pria itu berubah saat pandangannya terhalang oleh tubuh Morgan. Akhirnya dengan berat hati, Lucas mengalihkan tatapan ke mata Morgan. "Apa benar Nyonya Sydney hamil?" tanya Lucas pelan, suara pria itu terdengar seperti tercekik oleh sesuatu yang tidak kasat mata. “Berapa usia kandungannya?” Morgan menyipitkan mata, tidak percaya pria itu masih punya keberanian untuk bertanya. “Sedang masuk bulan keempat,” jawab Morgan tajam. “Haruskah aku memper
“Ayo, ikut Papi,” tukas Morgan pada kedua bayi kembarnya yang malam itu terlihat lebih tampan dan cantik. Dengan langkah mantap, Morgan berjalan ke arah Celia dan Miran. Lalu pria itu mengulurkan kedua tangannya untuk menyambut si kembar. Celia menyerahkan Jade ke pelukan kiri Morgan, dan Miran menyerahkan Jane ke sisi kanannya. Morgan memeluk erat keduanya, lalu kembali ke arah panggung dan berdiri di belakang mikrofon. “Perkenalkan,” ujar Morgan mendominasi, “mereka adalah Jade dan Jane, anak kandungku yang dirawat sejak lahir oleh Sydney.” Bisik-bisik langsung terdengar dari bangku tamu. Beberapa tangan refleks menutup mulut karena terkejut. Yang lain justru semakin mendekatkan ponsel mereka untuk merekam. Namun, perhatian mereka teralih ketika Jade yang digendong Morgan mulai memperhatikan mikrofon besar di depan ayahnya. Bocah laki-laki kecil itu mengernyit, lalu dengan kedua tangannya yang mungil, dia mencoba meraih alat pengeras suara itu. Morgan menahan tawanya, lalu
“Kalian sudah menikah?!” Suara Vienna dari barisan belakang itu menggelegar, cukup untuk membuat sebagian tamu di barisan depan refleks menoleh. Namun suara itu lenyap seketika, karena pada saat bersamaan ada dua tamu lain yang bersorak kegirangan sambil melompat-lompat. “Ya ampun, Tim!” seru Nirina dengan penuh semangat sambil menepuk dada Timothy cukup keras hingga pria itu sedikit mundur untuk batuk. “Ternyata Tuan Morgan tidak berkata ingin menikahi Sydney karena mereka sudah menikah diam-diam, Tim!” lanjut Nirina mengabaikan keadaan Timothy. Mata Timothy berbinar-binar dan emosinya tidak terkendali. Kegembiraan yang membuncah dan rasa dikhianati karena merasa tertinggal dalam cerita penting Sydney berhasil mengaduk perasaan pria itu. Timothy yang masih memegangi dada sambil tertawa, ikut berseru, “Aku tidak pernah tahu ada perasaan terluka dan bahagia di saat yang sama seperti ini. Aku senang Kak Sydney dan Tuan Morgan sudah menikah, tapi kenapa aku sama sekali tidak d
Morgan tidak pernah mempekerjakan orang asal-asalan, bahkan MC acara itu dipilih dengan cermat. Terbukti dari cara MC yang sengaja mengganti caranya memanggil Sydney dari Nona menjadi Nyonya, saat mereka akan masuk ke agenda selanjutnya. Sydney menahan napas. “Aku akan memanggil Celia dan Miran untuk bersiap membawa si kembar,” tukas Zya dengan mantap, kembali berperan sebagai asisten Sydney, meskipun tadi wanita itu sempat panik luar biasa. Tanpa menunggu jawaban Sydney maupun Morgan, Zya melepaskan genggaman tangan Ken dan berjalan cepat menuju rumah. Gaun yang dikenakan Zya berkibar ringan seiring langkahnya yang bergegas, meninggalkan aroma lavender samar yang sempat menyelinap di antara angin malam. Melihat Zya pergi, MC kembali berpamitan untuk kembali ke depan panggung. Sydney menelan ludah. Jantung wanita itu tiba-tiba berdegup begitu kencang, seolah tubuhnya sedang bersiap menghadapi lonjakan adrenalin. Bahkan tangan Sydney sedikit bergetar. “Aku akan berjaga d
Karena suasana menjadi tegang, Morgan meminta MC untuk kembali mengambil alih acara dan menghibur para tamu.“Ayo semua, jangan tegang begitu dong! Ini pesta bahagia, mari abaikan energi-energi negatif yang datang tanpa diundang!” seru MC dengan suara lantang yang memecah keheningan.Suara tawa palsu terdengar dari beberapa sisi taman. Para tamu tampak saling melirik, bingung antara ikut tertawa atau tetap menatap ke arah Vienna yang baru saja diseret mundur oleh suaminya.“Bagaimana kalau kita main game kecil-kecilan? Tapi jangan anggap remeh hadiahnya, ya!” MC mulai memancing supaya para tamu berhenti memperhatikan Vienna.Sejumlah tamu mulai bersorak pelan.“Sepuluh pemenang dengan jawaban tercepat dan tepat akan membawa pulang … emas batangan satu kilogram! Yes, emas sungguhan! Bukan hadiah diskon atau voucher makan!” seru MC penuh semangat. “Persembahan dari Nona Sydney dan Tuan Morgan, tentu saja!”Kerumunan sontak heboh. F
“Maaf aku datang terlambat, Sydney. Ah, kita memakai warna gaun yang sama!” cibir Vienna penuh kelembutan yang palsu. Vienna berdiri tegak di hadapan Sydney, seolah tidak sadar bahwa seluruh tamu pesta kini menatapnya dalam diam yang menegangkan. Sydney menatap sepupunya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Lalu, wanita itu tertawa kecil dan lirih, hampir tidak terdengar oleh siapa pun selain Vienna dan Morgan. Lucu sekali. Bahkan sekarang pun, di hari yang seharusnya menjadi kejutan bahagia untuk dirinya, Vienna masih berusaha mencuri perhatian. Gaun putih dengan potongan serupa. Rambut gelombang terurai dengan aksen jepit perak di sisi kanan. Riasan tipis dengan highlight dan eyeliner persis seperti yang Sydney gunakan malam itu. Padahal sudah beberapa bulan Sydney mengganti teknik riasannya. Vienna pasti diam-diam mengamatinya. Sejak kecil, Vienna selalu ingin menjadi Sydney. Awalnya, Sy