“Kalian mendiskriminasiku,” protes Timothy, satu-satunya orang di antara mereka yang tidak bisa berbahasa isyarat.
Timothy mencondongkan tubuh dan berbisik, “Apa yang kalian bicarakan? Sudah 10 menit kalian terus berinteraksi memakai bahasa isyarat. Aku merasa seperti patung.”Sydney tersenyum sambil menoleh. Dia mengetik sesuatu di ponselnya.“Maaf, Tim. Chester sedang membahas tentang kehadiran Vienna sebagai saksi, dan—tentu saja—tentang rasa jengkelnya pada Lucas.”Rasanya, Timothy masih seperti adik kecilnya yang dulu. Hanya sekarang pria itu lebih tinggi darinya.Timothy mengangkat kedua alis. Kemudian dia mengangguk-angguk pelan.Sementara Chester mengedikkan bahu dan melihat ke depan sambil menyilangkan tangan di depan dada.“Aku berniat meninju Lucas,” tukas Chester tanpa menoleh. “Kau akan melakukan apa padanya, Tim?”Timothy terkekeh. “Melihatmu. Aku tidak jago bela diri, Kak.”Chester sempat“Tentu tidak, Tim,” jawab Sydney lembut sekaligus tegas.Mata wanita itu tidak lepas dari wajah adik sepupunya yang kini mulai memucat karena menahan emosi.“Aku tidak menggunakan kekuasaan siapa pun untuk membawanya ke sini,” lanjut Sydney, tetap menjaga nada suaranya agar tetap datar dan tidak menyinggung. “Rumah Sakit Jiwa Highvale tiba-tiba meneleponku dan memintaku menjemput Tante Ghina. Katanya namaku tercatat sebagai wali. Padahal aku tidak pernah berhubungan lagi dengan Tante Ghina sejak aku masih bisu.”Timothy masih belum bergeming, tetapi sorot matanya tetap menajam ke arah Ghina yang masih terbaring.“Jadi aku membawanya ke sini,” ucap Sydney pelan, berusaha membuat Timothy mengerti.Tanpa sepatah kata pun, Timothy memutar tubuh.Timothy melangkah lebar, seolah ingin menjauh dari segala kenyataan yang terasa busuk dan menjijikkan.Sydney hanya bisa menatap punggung pria itu yang perlahan menghilang di balik lorong.Dengan napas panjang, Sydney menoleh kembali ke arah ranja
“Dia bahkan tidak berkedip waktu pecahan kaca itu kena pelipisnya,” gumam Morgan, masih dengan napas belum teratur. “Darling, kita harus cari dokter lain. Ini sudah keterlaluan.”Sydney mengangguk cepat sambil menekan luka kecil di lengan Ghina dengan handuk dingin.Tangan wanita cantik itu gemetar, bukan karena takut, tetapi karena ngeri melihat kenyataan yang tidak bisa lagi dihindari.Morgan berdiri dan langsung mengeluarkan ponsel dari saku. “Kuhubungi Ken, dia sudah sadar sejak tadi pagi. Ken pasti kenal seseorang yang bisa dipercaya.”Setengah jam kemudian, seorang dokter pria paruh baya dengan janggut tipis dan mata tenang muncul di rumah.Dia memperkenalkan diri sebagai Reinaldi, psikiater senior dari rumah sakit jiwa swasta ternama.Morgan menyambutnya sendiri, sementara Sydney tetap di kamar menemani Ghina yang kini tertidur karena efek obat penenang.Setelah pemeriksaan dilakukan dan Ghina tertidur pulas di bawah pengaruh obat, Reinaldi mengajak Sydney dan Morgan duduk di r
“Akting yang bagus,” gumam Morgan dengan senyum miring. “Coba lihat wajahku dari dekat!”Tanpa menunggu jawaban, Morgan melangkah maju, menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan wajah Ghina.Sorot mata Morgan tajam, seperti sedang menembus lapisan kulit untuk mencari kebenaran yang tersembunyi di balik topeng Ghina.Jika Ghina hanya berpura-pura, seharusnya sedikit saja wanita paruh baya itu merasa terintimidasi.Namun yang terjadi justru sebaliknya.Ghina menatap balik tanpa gentar.Lalu, dengan gerakan tenang, Ghina mendorong dada Morgan pelan hingga pria itu menjauh sedikit.Senyum Ghina tipis, tetapi caranya bicara sangat serius.“Sopan sedikit, Anak Muda,” tegur Ghina. “Matamu sangat mengintimidasi. Tapi kau tidak boleh seperti itu padaku jika serius dengan Sydney. Karena orang tua Sydney sudah tidak ada, maka kau butuh restuku untuk menikahinya.”Morgan menarik diri sepenuhnya dan berdiri tegak, lalu mengerutkan dahi.Betapa keras kepalanya wanita ini.Sementara itu, Sydney
Ingatan orang sakit jiwa bisa bercampur aduk atau bahkan mengarah ke halusinasi yang parah. Dan bagi Morgan, mengetahui hal itu sangatlah penting untuk melindungi Sydney. Terutama jika ingatan Ghina adalah rasa bencinya pada Sydney, Morgan tidak segan kembali mengirim wanita paruh baya itu ke negara antah berantah. Morgan menatap pelayan penuh tanya. Namun, sebelum pelayan itu sempat menjawab, terdengar suara lantang dan riang dari ranjang Ghina. “Sydney! Keponakanku, Sayang! Kemari!” panggil Ghina penuh antusias dengan mata berkaca-kaca. Sydney tertegun. Napasnya tercekat. Morgan ikut menoleh dan langsung menegakkan tubuh dengan waspada. Di depan mereka, Ghina sudah berdiri di tepi tempat tidur dengan senyum lebar, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Untuk sesaat, Sydney merasa seperti kembali ke masa lalu. Saat pertemuan-pertemuan rutin Keluarga Zahlee, ketika Ghina selalu datang terlambat, tetapi menyapa semua orang dengan senyum paling manis.
Sesampainya di mansion, Sydney langsung menggantikan baju si kembar pertama dan menyuapi mereka makan siang.“Aduh, tanganmu basah semua, Jane. Jangan usap ke pipi Mami dulu, ya.”Sydney tertawa kecil sambil mengangkat kedua tangan mungil putrinya yang lengket oleh saus nugget.Sydney sedang menyuapi Jade dan Jane yang kini sudah berganti pakaian rumah santai.Mereka duduk manis di kursi makan khusus anak-anak dan menatap Sydney penuh kagum.“Mami, aku bisa suap sendili!” protes Jane sambil mencoba merebut sendok dari tangan Sydney.Namun protes Jane justru membuat Jade ikut menyahut, “Tapi kamu tumpah-tumpah telus. Bial Mami saja!”Sydney tersenyum dan mencium puncak kepala keduanya satu per satu.“Sekali ini saja, ya. Biar cepat selesai makannya. Mami masih harus ke kamar adik-adik kalian,” bujuk Sydney penuh kesabaran.Dan seperti biasa, kedua bocah itu mengangguk patuh meski dengan ekspresi tidak puas.Setelah menyeka tangan mereka dengan lap basah, Sydney mengantar keduanya ke ka
Beberapa saat kemudian."Ayo, kita duduk di sana," ajak Sydney pelan sambil menarik lengan Anna dan menunjuk dua kursi kosong di deretan kursi orang tua.Anna mengangguk tenang dan melangkah bersamanya.Mama Carlo baru saja bergegas ke arah toilet dengan langkah kaku dan pipi masih merah bekas tamparan.Suasana aula masih belum sepenuhnya cair.Ada yang pura-pura mengajak orang tua di sebelahnya bicara, ada yang mengusap layar ponsel padahal tidak membuka apa pun.Saat Sydney dan Anna duduk, bisikan langsung merayap ke udara seperti kabut tipis.“Sydney benar-benar kenal Anna Laurens?”“Pakaian itu buatan khusus? Astaga, pantes saja harganya ....”Namun sebelum suara-suara itu tumbuh menjadi gelombang gosip baru, Anna menoleh tajam ke barisan ibu-ibu yang tadinya lantang tertawa bersama Mama Carlo.“Fokuslah pada anak kalian,” tegur Anna dengan tajam sekaligus elegan. “Ini komunitas batita, acara ini diadakan untuk anak-anak. Jangan merebut momen mereka dengan membuat keributan!”Sala