Morgan memasangkan cincin berlian itu ke jari manis Sydney yang lentik.
Seketika, dunia terasa berhenti berputar bagi Sydney. Detak jantungnya sudah tidak terkontrol lagi “Aku belum memberikan jawaban,” ujar Sydney sambil mengangkat kedua alisnya. Morgan bangkit berdiri dan menatap lekat-lekat wajah Sydney. "Apa kau akan menolakku?" tanya Morgan sambil mendekatkan wajahnya. Sydney mengalihkan pandangan sebentar, lalu kembali menatap pria itu. Wanita itu perlahan tersenyum malu-malu, seperti seorang gadis yang baru pertama kali jatuh cinta. “Tentu tidak,” bisik Sydney pelan. Morgan membalas senyum itu. Dia melingkar tangannya di pinggang Sydney, lalu bibirnya menemukan bibir wanita itu. Sydney memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam ciuman Morgan yang membawa rasa tenang sekaligus berdebar hebat itu. Sydney tidak pernah menyangka akan sampai dBeberapa bulan kemudian. “Kau menaruh garam sebanyak itu ke dalam adonan pancake?” tanya Vienna curiga sambil menatap Lucas yang tengah memutar spatula dengan panik di dapur kecil apartemen mereka. “Astaga, tidak, Vienna,” sahut Lucas setengah kesal sambil meraih madu di rak atas. “Itu gula. Kau pikir aku sebodoh itu?” Vienna tidak menjawab. Dia hanya mendecak pelan dan kembali menatap kuku barunya yang berkilau, hasil dari kunjungan ke salon kemarin. Perut wanita itu sudah besar, usia kehamilan delapan bulan membuat setiap gerakannya jadi terbatas. Dia harus berkonsentrasi penuh hanya untuk duduk di kursi. Lucas menyusun dua piring pancake di atas nampan, lengkap dengan potongan pisang dan segelas susu hangat. Dia menghampiri Vienna lalu meletakkan salah satu piring di hadapan wanita itu. “Kita akan segera pulang ke Highvale,” ucap Lucas tanpa basa-basi sambil duduk di hadapan Vienna.
Air mata Vienna semakin deras. Wanita itu akhirnya pergi ke kamar dan mengunci pintu. Vienna benci keadaan ini. Dulu dia pikir dengan menikahi Lucas, Sydney akan berada di bawah kakinya. Namun kenyataannya, setiap hari Vienna tidak bisa tenang karena Sydney selalu ada dalam bayang-bayangnya. “Ya, masuklah ke kamar! Kau memang perlu introspeksi diri, Vienna!” seru Lucas dengan lantang dari depan pintu kamar. Brak! “Aaargh!” Vienna menjerit sambil melemparkan bantal ke arah pintu kamar yang kini tertutup rapat. Lalu menyusul remote TV, botol parfum, bahkan guling kecil yang tergeletak di dekat kakinya. “Suami bodoh!” teriak Vienna sambil menggertakkan giginya. Tidak ada suara balasan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu utama yang dibanting keras. Gema benturannya mengguncang dada Vienna lebih hebat dari sebelumnya. Vienna dia
“Sebentar!” Suara lantang Vienna menggema di ruangan dan menghentikan langkah staf yang baru saja memberi tahu Sydney soal rapat. Wanita itu mengangkat tangannya, seolah hendak menghentikan waktu. Sydney hanya melirik sekilas. Dengan anggukan tenang, dia memberi isyarat pada staf tersebut untuk pergi lebih dulu. Si pegawai mengangguk patuh dan segera keluar. Vienna berdiri membeku, masih berusaha mencerna pemandangan di depannya. Tatapannya tidak lepas dari Sydney yang tetap duduk tenang di balik meja besar itu. “Sydney,” desis Vienna sambil menyipitkan mata, “walaupun kau memakai blazer dan duduk di kursiku, kau tidak akan pernah pantas!” Vienna melangkah maju dengan dagu yang terangkat tinggi. “Kau mana tahu caranya bekerja? Seumur hidup kau dibesarkan sebagai anak manja dan dididik untuk jadi ibu rumah tangga. Minggir kau, Bisu!” Vienna mengusir Sydney untuk enyah dari kursi kebesarannya.
Sydney memiringkan kepala dan melipat tangan di depan dada, tampak tidak terlalu terganggu dengan sikap Vienna. Lagipula, dia bisa mempercayai Morgan. “Kesalahan?” ulang Morgan sambil menyipitkan mata. Vienna yang kini berdiri di sisi Morgan, menatap pria itu dengan percaya diri. “Pemegang saham terbesar adalah Anda, dan saya sebagai CEO serta pemegang saham terbesar kedua, lebih pantas mengikuti rapat dengan para Direktur. Nona Sydney bukan siapa-siapa, dan jika bicara profesionalisme, Anda tidak boleh membawa kekasih Anda ke ruang rapat, Tuan.” Vienna menjelaskan. Vienna terus meremehkan sepupunya, walaupun bibir wanita itu memanggil Sydney dengan sopan. Dia melirik tajam pada Sydney, lalu kembali berpindah ke wajah Morgan dengan senyum palsu. Sydney menghela napas pelan lalu melangkah mendekat. Wanita itu berdiri di sisi Morgan yang berlawanan dengan Vienna. Syd
“Bodoh! Pemegang saham terbesar itu Tuan Morgan, bukan si bisu!” bentak Vienna tiba-tiba, membuat seluruh ruangan terdiam. Beberapa Direktur menegang di kursinya, kaget mendengar kemarahan Vienna yang akhirnya meledak. Tidak ada lagi kesopanan semu atau senyum palsu. Vienna sudah tidak bisa berpura-pura bersikap lembut di depan Morgan. Dulu dia takut dan terlalu khawatir akan dipandang buruk oleh Morgan. Namun, sekarang sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi karena Morgan terus mengabaikan dirinya dan Lucas. Rahang Vienna mengeras. Matanya menyala penuh amarah saat menatap Sydney yang duduk tenang di samping Morgan. “Aku baru saja membaca laporan pemegang saham yang dikirimkan oleh sekretarisku saat perjalanan ke sini!” tambah Vienna sambil melipat tangan di depan dada. Sydney hanya menggeleng pelan. Wanita itu memijat batang hidungnya, bukan karena tersinggung, tetapi karena terlalu lelah menghadapi drama murahan sepupunya. “Nyonya Vienna membaca laporan pemegang saham tangg
Rapat dimulai kembali setengah jam setelah Vienna digiring keluar sebelumnya karena mengeluh sakit perut. Karena usia kandungannya sudah besar, Vienna mulai merasakan kontraksi palsu walaupun masih sangat jarang terasa. Kali ini, kursi CEO yang biasanya diduduki Vienna dibiarkan kosong. Tidak ada yang menempatinya, seolah membenarkan bahwa posisi wanita itu tengah terancam. Vienna duduk di kursi samping Lucas, tidak jauh dari tengah, tetapi jelas bukan posisi pemimpin. Meski begitu, wanita itu tetap duduk dengan dagu terangkat angkuh. “Wanita bisu sepertinya ingin menjadi CEO?!” desis Vienna setengah berbisik, cukup keras untuk didengar Lucas yang duduk di sampingnya. Lucas melirik Sydney yang duduk anggun beberapa kursi di depan mereka, lalu mencondongkan tubuh ke arah Vienna dan membalas dengan licik, “Kita bisa menggunakan kelemahannya itu untuk mencari dukungan. Aku sudah mengundang beberapa Dewan Direksi yang berpihak pada kita.” Vienna mengerling ke arah pintu rapat yang k
“Cih. Jangan bilang itu suara AI lagi,” desis Vienna sinis, meski suaranya mulai gemetar. Morgan melangkah maju tanpa berkata sepatah kata pun. Sepatu kulitnya bergema pelan menyusuri lantai ruang rapat yang mendadak hening. Tidak satu pun berani bersuara saat pria itu berdiri tepat di samping Sydney, lalu mengulurkan tangan. “Mari, Darling,” ucap Morgan penuh kasih. Sydney menatap Morgan sejenak. Dengan anggun, dia menyambut uluran tangan itu dan berdiri. Morgan tidak melepas genggamannya saat mengantar wanita itu ke kursi utama—kursi kosong yang sejak awal rapat menjadi simbol kejatuhan Vienna. Kursi paling tengah, tempat seorang CEO duduk di ruang rapat. Sydney duduk perlahan. Dia membetulkan setelan semi-formalnya. Lalu, wanita itu mengangkat kepala dan menatap satu per satu wajah yang memandangnya. “Kau sudah lihat sendiri bagaimana caraku menggunakan AI saat acara makan malam keluarga,” kata Sydney sambil menyapu pandang ke arah Vienna dan Lucas. “Seharusnya sebagai pem
Di hari ulang tahun putranya, bukan pesta atau kado yang Sydney siapkan, melainkan peti mati dan doa perpisahan.Isaac, putra Sydney yang seharusnya meniup lilin pertamanya, kini hanya nama di batu nisan setelah meninggal akibat penyakit imun yang dideritanya."Kudengar bocah itu bisa selamat kalau mendapatkan transplantasi sumsum. Dengan kekayaan keluarganya, kenapa operasi itu tidak dilakukan saja?" ujar salah satu kerabat yang menghadiri pemakaman. “Kamu tidak tahu? Kata dokter, satu-satunya yang bisa mendonorkan sumsum itu adalah sang ayah, tapi karena hubungan Sydney dan suaminya buruk, sampai anak itu mati, tidak ada transplantasi yang dilakukan.”“Astaga, malangnya. Karena ibu dan ayahnya yang tidak bertanggung jawab, jadi anak yang menjadi korban.”Sydney tersenyum pahit mendengar gosip kerabat di sekelilingnya.Orang-orang ini tidak tahu mengenai apa yang benar-benar terjadi, tapi dengan mudah memperbincangkan keluarganya.Seperti yang dikatakan, penyakit langka yang Isaac d
“Cih. Jangan bilang itu suara AI lagi,” desis Vienna sinis, meski suaranya mulai gemetar. Morgan melangkah maju tanpa berkata sepatah kata pun. Sepatu kulitnya bergema pelan menyusuri lantai ruang rapat yang mendadak hening. Tidak satu pun berani bersuara saat pria itu berdiri tepat di samping Sydney, lalu mengulurkan tangan. “Mari, Darling,” ucap Morgan penuh kasih. Sydney menatap Morgan sejenak. Dengan anggun, dia menyambut uluran tangan itu dan berdiri. Morgan tidak melepas genggamannya saat mengantar wanita itu ke kursi utama—kursi kosong yang sejak awal rapat menjadi simbol kejatuhan Vienna. Kursi paling tengah, tempat seorang CEO duduk di ruang rapat. Sydney duduk perlahan. Dia membetulkan setelan semi-formalnya. Lalu, wanita itu mengangkat kepala dan menatap satu per satu wajah yang memandangnya. “Kau sudah lihat sendiri bagaimana caraku menggunakan AI saat acara makan malam keluarga,” kata Sydney sambil menyapu pandang ke arah Vienna dan Lucas. “Seharusnya sebagai pem
Rapat dimulai kembali setengah jam setelah Vienna digiring keluar sebelumnya karena mengeluh sakit perut. Karena usia kandungannya sudah besar, Vienna mulai merasakan kontraksi palsu walaupun masih sangat jarang terasa. Kali ini, kursi CEO yang biasanya diduduki Vienna dibiarkan kosong. Tidak ada yang menempatinya, seolah membenarkan bahwa posisi wanita itu tengah terancam. Vienna duduk di kursi samping Lucas, tidak jauh dari tengah, tetapi jelas bukan posisi pemimpin. Meski begitu, wanita itu tetap duduk dengan dagu terangkat angkuh. “Wanita bisu sepertinya ingin menjadi CEO?!” desis Vienna setengah berbisik, cukup keras untuk didengar Lucas yang duduk di sampingnya. Lucas melirik Sydney yang duduk anggun beberapa kursi di depan mereka, lalu mencondongkan tubuh ke arah Vienna dan membalas dengan licik, “Kita bisa menggunakan kelemahannya itu untuk mencari dukungan. Aku sudah mengundang beberapa Dewan Direksi yang berpihak pada kita.” Vienna mengerling ke arah pintu rapat yang k
“Bodoh! Pemegang saham terbesar itu Tuan Morgan, bukan si bisu!” bentak Vienna tiba-tiba, membuat seluruh ruangan terdiam. Beberapa Direktur menegang di kursinya, kaget mendengar kemarahan Vienna yang akhirnya meledak. Tidak ada lagi kesopanan semu atau senyum palsu. Vienna sudah tidak bisa berpura-pura bersikap lembut di depan Morgan. Dulu dia takut dan terlalu khawatir akan dipandang buruk oleh Morgan. Namun, sekarang sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi karena Morgan terus mengabaikan dirinya dan Lucas. Rahang Vienna mengeras. Matanya menyala penuh amarah saat menatap Sydney yang duduk tenang di samping Morgan. “Aku baru saja membaca laporan pemegang saham yang dikirimkan oleh sekretarisku saat perjalanan ke sini!” tambah Vienna sambil melipat tangan di depan dada. Sydney hanya menggeleng pelan. Wanita itu memijat batang hidungnya, bukan karena tersinggung, tetapi karena terlalu lelah menghadapi drama murahan sepupunya. “Nyonya Vienna membaca laporan pemegang saham tangg
Sydney memiringkan kepala dan melipat tangan di depan dada, tampak tidak terlalu terganggu dengan sikap Vienna. Lagipula, dia bisa mempercayai Morgan. “Kesalahan?” ulang Morgan sambil menyipitkan mata. Vienna yang kini berdiri di sisi Morgan, menatap pria itu dengan percaya diri. “Pemegang saham terbesar adalah Anda, dan saya sebagai CEO serta pemegang saham terbesar kedua, lebih pantas mengikuti rapat dengan para Direktur. Nona Sydney bukan siapa-siapa, dan jika bicara profesionalisme, Anda tidak boleh membawa kekasih Anda ke ruang rapat, Tuan.” Vienna menjelaskan. Vienna terus meremehkan sepupunya, walaupun bibir wanita itu memanggil Sydney dengan sopan. Dia melirik tajam pada Sydney, lalu kembali berpindah ke wajah Morgan dengan senyum palsu. Sydney menghela napas pelan lalu melangkah mendekat. Wanita itu berdiri di sisi Morgan yang berlawanan dengan Vienna. Syd
“Sebentar!” Suara lantang Vienna menggema di ruangan dan menghentikan langkah staf yang baru saja memberi tahu Sydney soal rapat. Wanita itu mengangkat tangannya, seolah hendak menghentikan waktu. Sydney hanya melirik sekilas. Dengan anggukan tenang, dia memberi isyarat pada staf tersebut untuk pergi lebih dulu. Si pegawai mengangguk patuh dan segera keluar. Vienna berdiri membeku, masih berusaha mencerna pemandangan di depannya. Tatapannya tidak lepas dari Sydney yang tetap duduk tenang di balik meja besar itu. “Sydney,” desis Vienna sambil menyipitkan mata, “walaupun kau memakai blazer dan duduk di kursiku, kau tidak akan pernah pantas!” Vienna melangkah maju dengan dagu yang terangkat tinggi. “Kau mana tahu caranya bekerja? Seumur hidup kau dibesarkan sebagai anak manja dan dididik untuk jadi ibu rumah tangga. Minggir kau, Bisu!” Vienna mengusir Sydney untuk enyah dari kursi kebesarannya.
Air mata Vienna semakin deras. Wanita itu akhirnya pergi ke kamar dan mengunci pintu. Vienna benci keadaan ini. Dulu dia pikir dengan menikahi Lucas, Sydney akan berada di bawah kakinya. Namun kenyataannya, setiap hari Vienna tidak bisa tenang karena Sydney selalu ada dalam bayang-bayangnya. “Ya, masuklah ke kamar! Kau memang perlu introspeksi diri, Vienna!” seru Lucas dengan lantang dari depan pintu kamar. Brak! “Aaargh!” Vienna menjerit sambil melemparkan bantal ke arah pintu kamar yang kini tertutup rapat. Lalu menyusul remote TV, botol parfum, bahkan guling kecil yang tergeletak di dekat kakinya. “Suami bodoh!” teriak Vienna sambil menggertakkan giginya. Tidak ada suara balasan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu utama yang dibanting keras. Gema benturannya mengguncang dada Vienna lebih hebat dari sebelumnya. Vienna dia
Beberapa bulan kemudian. “Kau menaruh garam sebanyak itu ke dalam adonan pancake?” tanya Vienna curiga sambil menatap Lucas yang tengah memutar spatula dengan panik di dapur kecil apartemen mereka. “Astaga, tidak, Vienna,” sahut Lucas setengah kesal sambil meraih madu di rak atas. “Itu gula. Kau pikir aku sebodoh itu?” Vienna tidak menjawab. Dia hanya mendecak pelan dan kembali menatap kuku barunya yang berkilau, hasil dari kunjungan ke salon kemarin. Perut wanita itu sudah besar, usia kehamilan delapan bulan membuat setiap gerakannya jadi terbatas. Dia harus berkonsentrasi penuh hanya untuk duduk di kursi. Lucas menyusun dua piring pancake di atas nampan, lengkap dengan potongan pisang dan segelas susu hangat. Dia menghampiri Vienna lalu meletakkan salah satu piring di hadapan wanita itu. “Kita akan segera pulang ke Highvale,” ucap Lucas tanpa basa-basi sambil duduk di hadapan Vienna.
Morgan memasangkan cincin berlian itu ke jari manis Sydney yang lentik. Seketika, dunia terasa berhenti berputar bagi Sydney. Detak jantungnya sudah tidak terkontrol lagi “Aku belum memberikan jawaban,” ujar Sydney sambil mengangkat kedua alisnya. Morgan bangkit berdiri dan menatap lekat-lekat wajah Sydney. "Apa kau akan menolakku?" tanya Morgan sambil mendekatkan wajahnya. Sydney mengalihkan pandangan sebentar, lalu kembali menatap pria itu. Wanita itu perlahan tersenyum malu-malu, seperti seorang gadis yang baru pertama kali jatuh cinta. “Tentu tidak,” bisik Sydney pelan. Morgan membalas senyum itu. Dia melingkar tangannya di pinggang Sydney, lalu bibirnya menemukan bibir wanita itu. Sydney memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam ciuman Morgan yang membawa rasa tenang sekaligus berdebar hebat itu. Sydney tidak pernah menyangka akan sampai d
“Aku tidak bisa bernapas. Serius, Morgan … kau itu seperti berusaha menanamkan dirimu ke dalam paru-paruku,” keluh Sydney terdengar menggemaskan di telinga Morgan. “Aku menanamkan diriku ke tempat lain di tubuhmu,” sahut Morgan sambil mengangkat tubuhnya dari tubuh Sydney. Sydney menepuk pelan dada pria itu sambil terengah. Rambut Sydney menjadi kusut dan bibirnya masih sedikit bengkak. Morgan tertawa pendek, lalu merapikan kancing bajunya sebelum membuka pintu mobil. “Maafkan aku, kau yang membuatku kehilangan kendali,” tambah Morgan santai. Lalu pria itu melingkarkan lengannya di bahu Sydney saat mereka keluar dari mobil hitam mengilap itu. Langit di atas Zahlee Entertainment tampak cerah, tetapi pipi Sydney justru terasa panas. Belum sempat Sydney melangkah masuk ke gedung, Morgan meraih pergelangan tangannya. “Orang akan segera tahu aku menciummu dengan brutal, jika kita tidak membersihkan ini,” ujar Morgan sambil mengelap bibir bawah Sydney yang terkena noda lipstik. Syd