Beberapa bulan kemudian.
“Kau menaruh garam sebanyak itu ke dalam adonan pancake?” tanya Vienna curiga sambil menatap Lucas yang tengah memutar spatula dengan panik di dapur kecil apartemen mereka. “Astaga, tidak, Vienna,” sahut Lucas setengah kesal sambil meraih madu di rak atas. “Itu gula. Kau pikir aku sebodoh itu?” Vienna tidak menjawab. Dia hanya mendecak pelan dan kembali menatap kuku barunya yang berkilau, hasil dari kunjungan ke salon kemarin. Perut wanita itu sudah besar, usia kehamilan delapan bulan membuat setiap gerakannya jadi terbatas. Dia harus berkonsentrasi penuh hanya untuk duduk di kursi. Lucas menyusun dua piring pancake di atas nampan, lengkap dengan potongan pisang dan segelas susu hangat. Dia menghampiri Vienna lalu meletakkan salah satu piring di hadapan wanita itu. “Kita akan segera pulang ke Highvale,” ucap Lucas tanpa basa-basi sambil duduk di hadapan Vienna.Air mata Vienna semakin deras. Wanita itu akhirnya pergi ke kamar dan mengunci pintu. Vienna benci keadaan ini. Dulu dia pikir dengan menikahi Lucas, Sydney akan berada di bawah kakinya. Namun kenyataannya, setiap hari Vienna tidak bisa tenang karena Sydney selalu ada dalam bayang-bayangnya. “Ya, masuklah ke kamar! Kau memang perlu introspeksi diri, Vienna!” seru Lucas dengan lantang dari depan pintu kamar. Brak! “Aaargh!” Vienna menjerit sambil melemparkan bantal ke arah pintu kamar yang kini tertutup rapat. Lalu menyusul remote TV, botol parfum, bahkan guling kecil yang tergeletak di dekat kakinya. “Suami bodoh!” teriak Vienna sambil menggertakkan giginya. Tidak ada suara balasan. Beberapa detik kemudian, terdengar suara pintu utama yang dibanting keras. Gema benturannya mengguncang dada Vienna lebih hebat dari sebelumnya. Vienna dia
“Sebentar!” Suara lantang Vienna menggema di ruangan dan menghentikan langkah staf yang baru saja memberi tahu Sydney soal rapat. Wanita itu mengangkat tangannya, seolah hendak menghentikan waktu. Sydney hanya melirik sekilas. Dengan anggukan tenang, dia memberi isyarat pada staf tersebut untuk pergi lebih dulu. Si pegawai mengangguk patuh dan segera keluar. Vienna berdiri membeku, masih berusaha mencerna pemandangan di depannya. Tatapannya tidak lepas dari Sydney yang tetap duduk tenang di balik meja besar itu. “Sydney,” desis Vienna sambil menyipitkan mata, “walaupun kau memakai blazer dan duduk di kursiku, kau tidak akan pernah pantas!” Vienna melangkah maju dengan dagu yang terangkat tinggi. “Kau mana tahu caranya bekerja? Seumur hidup kau dibesarkan sebagai anak manja dan dididik untuk jadi ibu rumah tangga. Minggir kau, Bisu!” Vienna mengusir Sydney untuk enyah dari kursi kebesarannya.
Sydney memiringkan kepala dan melipat tangan di depan dada, tampak tidak terlalu terganggu dengan sikap Vienna. Lagipula, dia bisa mempercayai Morgan. “Kesalahan?” ulang Morgan sambil menyipitkan mata. Vienna yang kini berdiri di sisi Morgan, menatap pria itu dengan percaya diri. “Pemegang saham terbesar adalah Anda, dan saya sebagai CEO serta pemegang saham terbesar kedua, lebih pantas mengikuti rapat dengan para Direktur. Nona Sydney bukan siapa-siapa, dan jika bicara profesionalisme, Anda tidak boleh membawa kekasih Anda ke ruang rapat, Tuan.” Vienna menjelaskan. Vienna terus meremehkan sepupunya, walaupun bibir wanita itu memanggil Sydney dengan sopan. Dia melirik tajam pada Sydney, lalu kembali berpindah ke wajah Morgan dengan senyum palsu. Sydney menghela napas pelan lalu melangkah mendekat. Wanita itu berdiri di sisi Morgan yang berlawanan dengan Vienna. Syd
“Bodoh! Pemegang saham terbesar itu Tuan Morgan, bukan si bisu!” bentak Vienna tiba-tiba, membuat seluruh ruangan terdiam. Beberapa Direktur menegang di kursinya, kaget mendengar kemarahan Vienna yang akhirnya meledak. Tidak ada lagi kesopanan semu atau senyum palsu. Vienna sudah tidak bisa berpura-pura bersikap lembut di depan Morgan. Dulu dia takut dan terlalu khawatir akan dipandang buruk oleh Morgan. Namun, sekarang sudah tidak ada yang perlu ditutupi lagi karena Morgan terus mengabaikan dirinya dan Lucas. Rahang Vienna mengeras. Matanya menyala penuh amarah saat menatap Sydney yang duduk tenang di samping Morgan. “Aku baru saja membaca laporan pemegang saham yang dikirimkan oleh sekretarisku saat perjalanan ke sini!” tambah Vienna sambil melipat tangan di depan dada. Sydney hanya menggeleng pelan. Wanita itu memijat batang hidungnya, bukan karena tersinggung, tetapi karena terlalu lelah menghadapi drama murahan sepupunya. “Nyonya Vienna membaca laporan pemegang saham tangg
Rapat dimulai kembali setengah jam setelah Vienna digiring keluar sebelumnya karena mengeluh sakit perut. Karena usia kandungannya sudah besar, Vienna mulai merasakan kontraksi palsu walaupun masih sangat jarang terasa. Kali ini, kursi CEO yang biasanya diduduki Vienna dibiarkan kosong. Tidak ada yang menempatinya, seolah membenarkan bahwa posisi wanita itu tengah terancam. Vienna duduk di kursi samping Lucas, tidak jauh dari tengah, tetapi jelas bukan posisi pemimpin. Meski begitu, wanita itu tetap duduk dengan dagu terangkat angkuh. “Wanita bisu sepertinya ingin menjadi CEO?!” desis Vienna setengah berbisik, cukup keras untuk didengar Lucas yang duduk di sampingnya. Lucas melirik Sydney yang duduk anggun beberapa kursi di depan mereka, lalu mencondongkan tubuh ke arah Vienna dan membalas dengan licik, “Kita bisa menggunakan kelemahannya itu untuk mencari dukungan. Aku sudah mengundang beberapa Dewan Direksi yang berpihak pada kita.” Vienna mengerling ke arah pintu rapat y
“Cih. Jangan bilang itu suara AI lagi,” desis Vienna sinis, meski suaranya mulai gemetar. Morgan melangkah maju tanpa berkata sepatah kata pun. Sepatu kulitnya bergema pelan menyusuri lantai ruang rapat yang mendadak hening. Tidak satu pun berani bersuara saat pria itu berdiri tepat di samping Sydney, lalu mengulurkan tangan. “Mari, Darling,” ucap Morgan penuh kasih. Sydney menatap Morgan sejenak. Dengan anggun, dia menyambut uluran tangan itu dan berdiri. Morgan tidak melepas genggamannya saat mengantar wanita itu ke kursi utama—kursi kosong yang sejak awal rapat menjadi simbol kejatuhan Vienna. Kursi paling tengah, tempat seorang CEO duduk di ruang rapat. Sydney duduk perlahan. Dia membetulkan setelan semi-formalnya. Lalu, wanita itu mengangkat kepala dan menatap satu per satu wajah yang memandangnya. “Kau sudah lihat sendiri bagaimana caraku menggunakan AI saat acara makan malam keluarga,” kata Sydney sambil menyapu pandang ke arah Vienna dan Lucas. “Seharusnya sebagai pem
“Aku ingin menghancurkan pernikahannya dan membuat Vienna merasakan apa yang pernah kurasakan,” jawab Sydney. Ada bara yang menyala tenang di balik tatapan manik cokelat itu. Bara yang selama ini ditutupi oleh sikap lemah lembut Sydney. Selama ini Sydney sibuk membesarkan si kembar. Saat kemampuan bicaranya sudah kembali dan si kembar sudah tidak terlalu bergantung padanya, inilah waktu yang tepat bagi Sydney untuk beraksi. Morgan menatap wanita di sampingnya. Pria itu mengangguk pelan dan mengusap kepala Sydney dengan penuh kasih sayang. “Aku akan mendukungmu,” ucap Morgan. “Katakan saja apa yang perlu kulakukan.” Sydney menoleh perlahan. Dia menggenggam tangan Morgan, lalu meremasnya erat. “Aku akan sangat senang jika kau bisa mempercayai aku,” kata Sydney sambil menatap Morgan penuh harap. “Mengapa aku tidak percaya padamu, hmm?” Morgan tersenyum tipis dan mengangkat alis. Sydney jelas berbeda dengan Bella. Rasanya tidak ada hal yang akan membuat Morgan meragukan Sy
Beberapa saat kemudian. “Proposal yang bagus, Nyonya Sydney Draxus,” puji Morgan sambil mengusap rambut basahnya yang mulai mengering, lalu melangkah keluar dari kamar mandi dengan hanya sehelai handuk melilit pinggangnya. Butiran air masih menetes dari kulitnya yang hangat. Tubuh tegap Morgan langsung dipeluk dari belakang oleh Sydney yang hanya mengenakan bathrobe tipis berwarna putih gading. Aroma sabun mandi mereka masih samar tercium, bercampur dengan aroma tubuh yang sudah menyatu satu sama lain. “Aku banyak melakukan riset sebelum memberimu proposal yang sangat meyakinkan,” bisik Sydney menggoda di dekat telinga Morgan. Tentu saja yang mereka bicarakan bukan proposal sungguhan. Sydney baru saja menjalankan peran sebagai istri yang baik dengan memberikan Morgan pertunjukan hingga membuat pria itu melayang. Morgan hanya mendengkus geli dan melangkah perlahan ke arah walk-in closet. Sydney
“Apa ini tidak bisa ditunda, Nona?” tanya Zya khawatir, matanya melirik ke arah gerbang rumah besar yang menjulang di hadapan mereka. Sydney tidak langsung menjawab. Wanita itu menatap bangunan yang pernah dia sebut rumah dengan tatapan tajam dan hati yang bergejolak. Udara di sekitar Sydney terasa lebih dingin dari biasanya, padahal matahari pagi bersinar cerah. “Aku harus menyelamatkan barang-barang mendiang putraku,” jawab Sydney pelan, lalu menoleh pada Zya. “Dan kau yang akan mewakiliku di rapat. Jika aku terlambat datang, sampaikan presentasiku seperti yang kita latih tadi pagi. Jangan beri ruang pada Lucas untuk bermain kotor.” “Nona, ini rapat penting, jika Nona terlambat–” “Tolong, Zya?” potong Sydney sambil tersenyum. Tanpa Zya menjelaskan, Sydney sudah tahu konsekuensi apa yang dia hadapi jika terlambat datang. Jabatan CEO yang sempat ditawarkan padanya
Hari di mana Rapat Umum Pemegang Saham dilaksanakan akhirnya tiba. Sydney masuk ke dalam mobil bersama seorang sopir dan pengawal yang duduk di kursi depan. Sementara di kursi belakang, Sydney bersebelahan dengan Zya, asisten pribadinya. “Kita langsung ke kantor saja,” pinta Sydney dengan lugas begitu pintu mobil tertutup. “Baik, Nyonya,” sahut sopir tanpa menoleh. Sydney melirik Zya di sebelahnya. Wajah gadis muda itu terlihat tenang meski baru kurang dari satu hari menjalani pelatihan intensif. “Zya, ingat. Jika di luar mansion, panggil aku Nona.” Sydney mengingatkan. Dia tidak perlu mengingatkan sopir dan pengawal. Selain karena mereka pekerja lama, kedua pria itu juga tidak akan berhubungan langsung dengan orang-orang di Zahlee Entertainment. Zya mengangguk cepat. “Baik, Nyonya.” Sebelum mobil sempat melaju, suara nyaring dua bocah kecil terdengar dari luar jendela. “Mami! Dadah!” Sydney langsung menoleh. Jade dan Jane yang tengah digendong oleh pengasuhnya melambaikan
Sydney menoleh dan tersenyum tipis, lalu menjawab, “Siang ini aku harus bertemu dengan calon asisten pribadiku. Kalau memang cocok, dia bisa langsung menyiapkan keperluan untuk rapat besok.” Morgan menghela napas, tidak puas dengan jawaban itu. Namun sebelum dia sempat menimpali, Sydney menambahkan dengan sedikit cemas, “Dan si kembar ... mereka butuh ASI-ku. Stoknya menipis.” Kata-kata itu membuat dada Morgan mencelos. Dia tahu, tidak ada yang lebih penting bagi Sydney saat ini selain anak-anak mereka. “Hati-hati dan jangan terlalu lelah. Aku akan minta beberapa orang untuk menjagamu.” Morgan mengusap pipi istrinya dengan punggung tangan. Sydney hanya mengangguk dengan tetap menatap wajah suaminya. Lalu, Morgan sedikit membungkuk dan merapatkan bibirnya ke telinga Sydney. “Aku sudah menyiapkan gelang kaki baru di ruang kerjamu. Gunakan itu. Di dalamnya ada GPS yang lebih bagus d
“Tempat ini hangat sekali.” Itu adalah kalimat pertama yang meluncur dari bibir Sydney saat mereka memasuki kamar kecil yang disediakan di salah satu sudut pelabuhan. Morgan tidak langsung menanggapi. Pria itu meletakkan ponsel di meja kayu mungil yang ada di sisi ranjang, lalu membuka jendela. Angin laut menyergap masuk bersama suara ombak yang bergulung-gulung. Sydney melangkah pelan menghampiri jendela itu, lalu berdiri di samping Morgan. “Aku suka suaranya,” bisik Sydney. “Menenangkan.” Morgan menoleh dan menatap wajah istrinya yang diterangi remang lampu gantung di atas mereka. Dia tersenyum miring dan melihat Sydney dengan penuh hasrat. Tanpa basa-basi, Morgan mulai melepaskan sabuk celananya. Bunyi logam kecil terdengar jelas di antara debur ombak. “Kau siap?” tanya Morgan pelan. “Aku akan menanamkan benihku di rahimmu.” Sydney membelalakkan mata. Wajah wani
Morgan tiba-tiba menghentikan langkah. Bruk! Sydney spontan menabrak punggung pria itu. “Aww, Morgan!” pekik Sydney pelan sambil memegangi dahinya. Tubuh wanita itu terpental setengah langkah ke belakang. Morgan langsung memutar tubuh. Pria itu mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Sydney. “Aku tidak akan pernah puas denganmu, Darling,” sahut Morgan sambil tersenyum miring. Sydney mengerjapkan mata. Pipinya merona, tetapi sesaat kemudian dia menepuk pelan dada Morgan agar menjauh. “Tolong beri aku ruang bernapas,” pinta Sydney sambil mengusap dahinya yang masih berdenyut. Morgan tidak menjauh sepenuhnya. Dia hanya mundur selangkah, tetapi pandangan matanya tetap melekat di wajah sang istri. “Kau sangat menginginkan anak dariku?” tanya Sydney lebih lembut. “Kau sampai marah karena tidak bisa bersamaku malam ini?” Morgan mengangkat tangan, lalu menangkup rahang Sydney. “Ya,” jawab Morgan tegas. “Aku sangat ingin memiliki keturunan darimu. Kita
“Kau terlalu berlebihan dengan menyebut aku pergi sendirian, padahal satu langkah saja aku keluar gerbang mansion, ada satu pengawal di dekatku dan entah berapa yang bersembunyi,” desah Sydney sambil melipat kedua tangannya. Morgan tersenyum miring. Dia tidak berusaha membantah sedikit pun. Setelah Sydney diculik oleh Edgar, Morgan memasang pengawasan ketat, bahkan tidak ragu menambah pasukan khusus untuk menjaga gerbang Ravenfell dan mengawal keluarganya. Morgan tidak ingin mengulang tragedi itu. Cukup sekali. Sydney yang tahu Morgan tidak akan berubah pikiran, hanya menggeleng kecil sebelum berbalik dan berjalan ke arah kamar si kembar. “Tapi hari ini kau bisa ke rumah sakit, bukan?” tanya Sydney tanpa menoleh. “Ini jadwal kontrol rutin kita.” Langkah Morgan langsung menyamai langkah wanita itu. “Ya,” jawab pria itu santai, “aku baru akan berangkat nanti sore.” B
“Aku tidak akan melupakan itu seumur hidupku.” Tawa Sydney meledak, walau masih tergolong pelan. “Kau terlihat seperti transformer rusak.” Morgan yang duduk di dekat ranjang hanya bisa mendecak sambil melipat tangan di depan dada. “Pelankan suaramu sebelum kau membangunkan diriku yang lebih gelap, Darling,” tukas Morgan, mata pria itu menggelap sungguhan. Bukan hanya memelankan suaranya, Sydney bahkan segera menutup mulut sambil menahan senyum. Sydney perlahan bangkit dari ranjang setelah memastikan si kembar benar-benar terlelap. Lalu, Sydney menarik tangan Morgan dengan lembut. “Ayo berdiri. Aku punya ide,” ucap Sydney dengan mata berbinar. Morgan menaikkan alis, tetapi tetap mengikuti ajakan itu. Tubuh tingginya berdiri tegak, kini pria itu menghadap langsung ke Sydney yang menatap dengan senyum geli. “Honey,” panggil Sydney sembari mendekatkan
“Ayo, kita main dulu sebelum tidur,” ajak Sydney sambil menggandeng tangan Jane dan Jade menuju kamar anak yang didekor penuh warna pastel dan mural hewan lucu. Morgan menyusul dari belakang sambil menghela napas seperti pria yang baru saja menerima takdir yang tidak bisa ditolak. Pria tegap dengan lengan berotot itu berdiri kikuk di atas playmate yang penuh gambar dinosaurus dan pelangi. “Apa yang akan kau lakulan, Darling?” tanya Morgan sambil melirik ke arah lingkaran kecil yang dibentuk oleh Sydney dan si kembar. “Aku pikir kita hanya akan bermain seperti biasa.” Si kembar melompat penuh antusias, tidak mendengarkan Morgan yang tengah protes. Bermain seperti biasa bagi Morgan artinya duduk di sofa, menonton si kembar menyusun balok, lalu membacakan buku bergambar saat mereka mulai menguap. Namun kali ini berbeda. “Kau harus ikut berdiri di sini, Honey,” tukas Sydney sambil me
Beberapa saat kemudian. “Proposal yang bagus, Nyonya Sydney Draxus,” puji Morgan sambil mengusap rambut basahnya yang mulai mengering, lalu melangkah keluar dari kamar mandi dengan hanya sehelai handuk melilit pinggangnya. Butiran air masih menetes dari kulitnya yang hangat. Tubuh tegap Morgan langsung dipeluk dari belakang oleh Sydney yang hanya mengenakan bathrobe tipis berwarna putih gading. Aroma sabun mandi mereka masih samar tercium, bercampur dengan aroma tubuh yang sudah menyatu satu sama lain. “Aku banyak melakukan riset sebelum memberimu proposal yang sangat meyakinkan,” bisik Sydney menggoda di dekat telinga Morgan. Tentu saja yang mereka bicarakan bukan proposal sungguhan. Sydney baru saja menjalankan peran sebagai istri yang baik dengan memberikan Morgan pertunjukan hingga membuat pria itu melayang. Morgan hanya mendengkus geli dan melangkah perlahan ke arah walk-in closet. Sydney