Malam minggu oii, apakah ada yang baca atau pada malem mingguan? Aku mau cek ombak, tinggalkan jejak ya, gais. Kalau rame jempol dan komennya, aku tambah up 1 bab lagi malam ini. :)
Sydney baru saja selesai mengeringkan rambut basahnya ketika notifikasi pesan dari Zya masuk ke ponselnya. Dia membuka pesan itu.[Hadiah untuk Tuan Morgan sudah tiba di rumah saya, Nona. Dan Pak Ken juga langsung pulang setelah mengantar saya.]Sydney tersenyum kecil membaca pesan itu. Dia memang menitipkan hadiah-hadiah untuk Morgan di rumah Zya, supaya kejutan yang dia rancang tidak terendus lebih awal.Dan Sydney juga meminta Ken untuk mengantar Zya pulang.Dengan menggunakan lingerie satin yang seksi, Sydney melangkah sambil membawa secangkir teh hijau hangat yang dia buat di dapur.Aroma peppermint samar memenuhi udara malam saat Sydney masuk ke ruang kerja Morgan.Pria itu masih menatap layar laptop dengan mata lelah dan rambut sedikit berantakan.“Kau harus minum sesuatu yang sehat,” ucap Sydney lembut sambil meletakkan cangkir di meja kerjanya. “Jangan terlalu banyak minum soda atau alkohol.”Morgan men
Sydney berdeham. “Hai, Ken.” Sydney akhirnya menyapa. “Aku juga tidak tahu kau ada di sini. Aku pikir karena Morgan akhir-akhir ini sibuk bekerja dari mansion, kau akan direpotkan di pelabuhan atau bahkan di laut.” Sydney berusaha bersikap normal, seolah dia tidak melakukan sesuatu yang patut dicurigai. Walau pipi wanita itu sempat merona karena kaget. Ken menyipitkan mata sesaat, lalu tersenyum kecil. Pria itu sempat melirik ke arah Zya, sebelum akhirnya kembali menatap Sydney. “Ya, dia sangat merepotkanku,” jawab Ken seperti mengadu pada Sydney atas kelakuan suami wanita itu. “Ada tugas tambahan lain darinya, yang harus aku lakukan di Highvale.” Ken bicara dengan datar dan sopan, tetapi sorot matanya berbicara lebih banyak. Terutama ketika pandangan pria itu tidak juga lepas dari sosok Zya di sebelah Sydney. Zya yang merasa dipelototi selekat itu langsung berpura-pura mengamati etalase jam tangan, berpura-pura tidak menyadari keberadaan pria itu. Namun Zya sangat payah dalam
Keesokan harinya, Sydney dan Zya pergi ke sebuah mall terbesar di Highvale pada siang hari. Mereka masuk ke dalam toko brand pakaian pria terkenal yang ada di sana.“Aku tidak tahu mengapa dia tidak punya warna cerah di lemarinya,” ucap Sydney sambil membolak-balik deretan kemeja putih yang tertata rapi di rak. “Morgan harus mulai memiliki kemeja berwarna cerah. Lemari pria itu sangat menyeramkan, semua pakaiannya berwarna hitam. Dia seperti selalu siap untuk melayat.” Sydney menambahkan.Sydney terdengar santai, tetapi ekspresi wajahnya serius saat meneliti bahan dan jahitan di ujung lengan kemeja.Zya yang berdiri di sisi Sydney langsung tertawa kecil, matanya menyipit senang melihat wanita itu begitu bersemangat.“Tuan pasti senang dengan pilihan Nona,” ucap Zya sambil menahan senyum.Sydney menoleh dan membalas dengan senyum cerah. “Kita lihat nanti.”Beberapa saat berikutnya, dua pelayan toko membantu Sydney memili
“Usia 34?” ulang Sydney pelan.Kedua alis wanita itu terangkat nyaris bersamaan dengan jantung yang berdetak lebih cepat.Sementara Morgan masih menatap Debby dengan datar. Tatapannya seolah menusuk ke balik kulit pelayan itu, tetapi tetap tenang.Sydney menggigit bibir sambil membatin panik, ‘Morgan sebentar lagi berulang tahun yang ke-34! Bagaimana bisa aku melupakannya?!’Beberapa menit kemudian, Morgan dan Sydney duduk di salah satu sudut Sweet Cafe dengan cup besar es krim di hadapan mereka.Morgan yang memang belum memilih varian es krim, akhirnya memutuskan untuk mengambil varian yang sama seperti Sydney.Pakaian serba hitam yang mereka kenakan hari ini kontras mencolok dengan warna-warni dekorasi kafe dan cerahnya es krim di depan mereka.Tanpa menunggu lebih lama, Sydney segera menyuap es krim itu ke mulutnya. Sebenarnya dia tidak terlalu ingin es krim, tetapi mendadak perutnya terasa lapar.Es krim Syd
“Kalian mesra sekali, seperti sepasang pengantin baru. Tidak segan menunjukkan kemesraan dan selalu penuh dengan gelora yang membara,” ujar pelayan es krim sambil tertawa kecil.Wanita paruh baya itu tersenyum lebar, memperhatikan Morgan yang masih merangkul pinggang Sydney tanpa canggung di depan etalase es krim.“Seperti aku dan suamiku 40 tahun lalu,” sambungnya sambil menahan geli sendiri.Sydney terkikik kecil, sementara Morgan menoleh dengan senyum jahilnya yang khas.“Kami memang pengantin baru. Dan dia,” ujar Morgan sambil mengusap perut Sydney dengan lembut, “sedang mengandung anak kembar.”“Ooh, kembar? Astaga, itu sebuah anugerah!” seru pelayan itu terkejut.Mata wanita paruh baya itu membesar dan tangan yang memegang scoop es krim terhenti di udara.Sydney mengangguk dan tersenyum hangat.“Ini anak kembar kami yang kedua,” tambah Sydney, tidak ingin melupakan Jade dan Jane.Sydney sudah lama
“Apa ini, Lucas?! Milik siapa sapu tangan norak begini?!” bentak Vienna sambil mengangkat sapu tangan merah muda itu ke udara.Dari warnanya saja, semua orang akan tahu kalau sapu tangan itu milik seorang wanita.Lucas hanya melirik sekilas dengan tangan tetap berada di setir mobil. Pria itu menghela napas.“Entahlah. Mungkin itu punyamu,” jawab Lucas santai dan tanpa perasaan bersalah sedikit pun.Vienna mengerjapkan mata. Jantungnya seolah berhenti berdetak sejenak karena tidak percaya Lucas bisa mengucapkan kebohongan semurah itu. Gigi Vienna gemeletuk.“Aku tidak pernah pakai sapu tangan!” desis Vienna kesal sambil meremas sapu tangan di tangannya itu.Perasaan takut yang sempat menyergap Vienna di makam tadi, kini menguap. Digantikan oleh amarah yang membakar seluruh syarafnya.Dengan tangan gemetar, Vienna kembali memperhatikan sapu tangan itu. Bahan kainnya lembut dan mahal. Di salah satu ujungnya, terukir kecil h
“Anak kita mati karena keras kepalamu! Dia bisa hidup kalau kau mengalah sedikit saja!” Lucas menunjuk ke arah makam kecil di samping mereka penuh penekanan.Vienna membelalak. Napas wanita itu tercekat.Seketika, wajahnya yang sudah sembab kini memucat dengan sorot mata penuh kemarahan. Mata Vienna menusuk langsung ke arah suaminya sendiri.“Lucas,” desis Vienna sambil mengepalkan tangan dengan kuat. “Kau menyalahkanku?”Lucas tidak menjawab. Namun diamnya justru membuat darah Vienna semakin mendidih.Vienna menggeram. Dengan reflek, wanita itu mengangkat tangan hendak menampar wajah Lucas.Seperti hafal dengan kebiasaan sang istri, kini Lucas berhasil menangkap pergelangan tangan Vienna tepat sebelum telapak itu mendarat di pipinya. Vienna menggigit bibir bawahnya seraya berusaha menahan ledakan. Namun, itu sia-sia.“Aaargh! Sialan kau, Lucas! Kau ... kau masih mencintai Sydney, ya?!” tuduh Vienna meledak sedetik kemudian sambil mencoba melepaskan diri dari Lucas.Ucapan itu menghe
Satu per satu pelayat mulai meninggalkan lokasi. Hanya tersisa beberapa orang yang masih berdiri dekat makam Axena, termasuk Morgan, Vienna, dan Lucas.Sydney akhirnya turun dari mobil, walaupun Morgan sudah melarangnya. Sepatu hitam berhak pendek yang Sydney kenakan hampir tidak menimbulkan suara saat bersentuhan dengan kerikil kecil di jalan pemakaman.Melihat itu, Morgan sontak memutar tubuh dan segera menghampiri Sydney.Pria itu tidak berkata apa pun. Dia hanya menggenggam tangan istrinya seperti sedang menuntun seorang putri raja yang berharga dan harus dilindungi.Sesampainya di samping Sydney, Morgan sedikit membungkuk dan berbisik pelan, “Bukankah aku memintamu untuk tetap di mobil?”Sydney menoleh, lalu menatap wajah suaminya dengan senyum tipis yang misterius.“Aku baru berpikir, untuk apa aku tetap di sana, jika kau di sini bisa melindungiku?” balas Sydney tenang.Morgan mendesah. Tidak ada perasaan marah di hatinya, tetapi dia merasa terus dikalahkan oleh wanita itu. Leb
Entah apa pertimbangan Vienna dan Lucas, Axena segera dimakamkan pada sore hari itu juga.Sydney duduk di sebelah Morgan di kursi penumpang dengan memakai pakaian serba hitam. Mereka pergi menuju tempat pemakaman.Karena mereka hanya akan pergi sebentar, jadi si kembar tidak ikut. Lagipula membawa bayi ke upacara pemakaman tampak kurang pantas.“Aku harus mengurus beberapa hal menyangkut perusahaan, Darling. Tidak apa-apa?” tanya Morgan meminta izin.“Ya, silakan,” sahut Sydney tersenyum tipis.Ada beberapa pekerjaan yang tidak sempat diselesaikan oleh Morgan sebelum berangkat. Dia berusaha menyelesaikannya selagi mereka ada dalam perjalanan.Lalu, Sydney memandang keluar jendela mobil sambil memikirkan penjelasan Morgan beberapa menit lalu saat mereka masih berada di mansion.“Saat Lucas ingin memberikan ASI-mu pada Axena, Vienna datang dan menolaknya. Dia bahkan menghancurkan semua ASI yang kau kirim,” jelas Morgan men