Pernikahan Kiara dengan Ardan, pria tampan sekaligus dingin, awalnya hanyalah sebuah kesepakatan tanpa cinta. Ardan yang arogan dan selalu menjaga jarak, membuat Kiara merasa dirinya hanyalah pelengkap dalam hidup pria itu. Namun takdir berkata lain ketika Kiara mengetahui dirinya mengandung bayi dari suami yang bahkan tak pernah benar-benar menganggapnya istri. Saat rahasia itu terungkap, Ardan justru semakin sulit ditebak. Pria yang selalu dingin dan tak peduli, tiba-tiba menunjukkan sisi lain yang membuat Kiara bingung—apakah semua ini hanya karena bayi itu, ataukah ada perasaan yang diam-diam ia sembunyikan? Di tengah rumah tangga penuh rahasia, hadir pula masa lalu yang mengusik dan orang ketiga yang berusaha menghancurkan. Kiara harus memilih: bertahan demi bayi kecilnya, atau melepaskan hati yang diam-diam jatuh pada sang suami dingin yang ternyata ayah dari bayinya. Cinta, kebohongan, dan luka berpadu dalam kisah penuh emosi ini. Akankah pernikahan tanpa cinta itu berakhir bahagia, atau justru menjadi penjara selamanya?
Lihat lebih banyakAku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna.
Aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku. Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya. Tapi kenyataannya? Malam pertamaku terasa seperti neraka. Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun. “Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicara, meski suaraku bergetar. Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tatapan matanya yang tajam membuatku tercekat. “Jangan berharap apa-apa dariku.” Suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. “Pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan orang tuaku. Jadi, jangan pernah menganggap lebih.” Dadaku seketika terasa sesak. Kata-katanya seperti pisau yang menusuk jantungku. “Ardan…” aku berbisik, mencoba menahan air mata. “Aku ini istrimu…” “Istri di atas kertas,” potongnya cepat. “Jangan pernah berpikir lebih dari itu.” Aku menunduk, tanganku meremas gaun pengantin dengan kencang. Hatiku hancur, remuk, bahkan sebelum pernikahan ini benar-benar dimulai. Aku tak pernah menyangka lelaki yang dulu hanya bisa kulihat di layar televisi, lelaki yang kukagumi dalam diam, kini resmi menjadi suamiku… tapi juga orang pertama yang membuatku merasakan luka paling dalam. Aku berbalik, berjalan pelan menuju ranjang besar berhias bunga mawar putih. Duduk di ujungnya, aku hanya bisa menatap lantai kosong, sementara Ardan sibuk mengetik di laptopnya. Malam pertamaku… berakhir tanpa sentuhan. -- Hari-hari setelah itu pun tak jauh berbeda. Ardan selalu pulang larut malam, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Jika pun pulang, ia lebih memilih tidur di sofa daripada sekadar berbagi ranjang denganku. Aku mencoba bersabar. Aku berusaha menjadi istri yang baik. Setiap pagi menyiapkan sarapan, menyambutnya dengan senyum, bahkan menungguinya pulang hingga larut malam. Tapi balasannya selalu sama: tatapan dingin, sikap acuh, dan kata-kata yang menusuk. “Kenapa kamu masih di sini? Pergilah tidur. Jangan tunggu aku,” katanya suatu malam ketika melihatku masih duduk di ruang tamu menantinya. “Karena aku istrimu… aku hanya ingin—” “Cukup!” suaranya meninggi, membuatku terdiam. “Aku tidak butuh perhatianmu. Jangan buang waktumu untuk sesuatu yang sia-sia.” Air mataku jatuh begitu saja. Aku tidak pernah mengerti, kenapa Ardan begitu membenciku? Padahal aku tidak pernah melakukan kesalahan padanya. Hingga malam itu tiba. Malam ketika semuanya berubah. --- Hujan turun deras, petir menyambar-nyambar langit malam. Aku duduk di teras rumah, menatap jalan kosong dengan perasaan cemas. Sudah lewat tengah malam, tapi Ardan belum juga pulang. Ponselnya tidak bisa dihubungi. Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar mendekat. Aku segera berdiri, berharap itu mobil Ardan. Benar, mobil hitamnya berhenti di depan rumah. Tapi ketika pintu terbuka, aku terperanjat. Ardan keluar dengan langkah sempoyongan, wajahnya pucat, dan kemejanya basah kuyup oleh hujan. “Ardan!” aku panik, segera berlari menghampirinya. Ia hampir terjatuh, dan aku menahan tubuhnya dengan sekuat tenaga. “Astaga, kamu kenapa? Kamu sakit?” Ardan tidak menjawab. Ia hanya terengah-engah, tubuhnya panas sekali ketika kugenggam. Tanpa pikir panjang, aku membawanya masuk, menuntunnya ke kamar, lalu menyiapkan air hangat untuk mengompresnya. Malam itu untuk pertama kalinya aku melihat sisi lain dari seorang Ardan. Ia bukan pria dingin yang selalu menatapku dengan benci, melainkan seorang manusia yang rapuh, kelelahan, dan butuh dirawat. Saat ia tertidur, aku duduk di sampingnya. Air mata menetes lagi, tapi kali ini bukan karena sakit hati. Aku sadar, entah bagaimana… aku benar-benar mencintainya. Aku tak tahu apakah cintaku ini akan berbalas suatu hari nanti. Tapi malam itu aku berjanji dalam hati, apapun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisinya. Aku tidak tahu, bahwa janji itu kelak akan menyeretku pada rahasia besar. Rahasia tentang Ardan… Rahasia tentang diriku… Dan rahasia tentang bayi yang kini sedang tumbuh di dalam rahimku. Langkah-langkah kakinya terdengar semakin menjauh. Pintu kamar itu kini benar-benar menutup rapat, menyisakan aku dalam keheningan yang menusuk. Hanya detak jam dinding dan isakanku sendiri yang terdengar di ruang luas itu. Kupandangi cincin yang melingkar di jariku. Cincin yang tadi sore disematkan dengan janji suci di hadapan penghulu, keluarga, dan seluruh tamu undangan. Semua terlihat sempurna di mata orang lain—pernikahan indah, pengantin bahagia, doa-doa yang terucap. Namun siapa yang tahu, di balik senyumku tadi, ada luka yang kian dalam. Kupeluk tubuhku sendiri, berusaha menenangkan gejolak batin. “Ya Allah… jika memang ini takdirku, kuatkan aku. Jangan biarkan aku goyah.” Aku berbisik lirih, meski air mata terus bercucuran tanpa henti. Bayangan masa lalu pun terlintas. Aku menikah dengan seorang pria yang bahkan tak pernah menatapku dengan hangat. Bukankah pernikahan seharusnya dimulai dengan kasih sayang? Lalu mengapa aku justru merasa seperti seorang asing di rumah tanggaku sendiri? Aku mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin ia hanya butuh waktu. Mungkin dinginnya hanyalah cara dia melindungi perasaannya. Tapi hatiku tetap saja meronta, menginginkan sebuah kepastian. Aku berjalan pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Wajahku tampak pucat, mata sembab karena terlalu banyak menangis. Aku menyentuh kaca, seolah ingin berbicara dengan diriku sendiri. “Apa aku salah? Apakah aku yang terlalu berharap banyak?” gumam ku, nyaris tanpa suara. Namun sebelum sempat aku menjawab pertanyaan itu sendiri, pintu kamar kembali terbuka. Tubuhku refleks menegang, jantungku berdebar kencang. Aku berharap ia kembali, mungkin berubah pikiran, mungkin ingin menatapku kali ini. Tapi bukan dia. Yang muncul hanyalah pelayan rumah tangga yang membawakan segelas susu hangat. “Nyonya, ini pesan dari Tuan. Katanya, Anda harus istirahat. Jangan terlalu banyak menangis.” Seketika, dadaku serasa diremas. Ia tahu aku menangis… tapi tetap memilih menjauh. Ia peduli, tapi dari jarak yang jauh, dingin, tanpa sedikitpun sentuhan hangat. Bukankah itu lebih menyakitkan daripada ketidakpedulian sama sekali? Ku genggam gelas itu dengan tangan bergetar. Aku ingin menolak, ingin berteriak bahwa aku tak butuh susu, aku hanya butuh dirinya. Namun yang keluar dari bibirku hanyalah bisikan serak, “Terima kasih…” Pelayan itu pergi, meninggalkan aku kembali dalam kesunyian. Aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu. Malam pertamaku seharusnya menjadi malam yang indah, penuh doa, penuh cinta. Tapi justru berubah menjadi malam yang penuh tanya dan luka. Aku berbaring, menarik selimut hingga menutupi tubuhku. Mataku kembali basah, meski aku sudah lelah menangis. Sebelum terlelap, hanya satu doa yang kupanjatkan—semoga esok lebih baik, semoga esok ada secercah hangat yang bisa kurasakan darinya. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu… ini baru permulaan dari luka panjang yang harus ku tanggung.Malam itu begitu sunyi. Angin berhembus pelan melalui celah jendela kamar, membawa aroma dingin yang menusuk tulang. Aira duduk termenung di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup setelah Adrian keluar tanpa sepatah kata pun. Lagi-lagi, suaminya memilih diam, meninggalkannya sendiri dengan seribu tanya yang berputar di kepala. “Apa salahku?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Air mata mengalir, membasahi pipinya yang pucat. Sejak awal pernikahan, ia sudah mencoba menerima dinginnya Adrian. Namun, semakin lama, luka di hatinya kian dalam. Pernikahan yang semestinya membawa kebahagiaan, justru membuatnya merasa seperti tahanan dalam rumah tangganya sendiri. Aira menunduk, meraba perutnya yang datar. Ada rahasia yang belum sempat ia ungkapkan. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya—kehamilannya. Tapi melihat sikap Adrian, ia ragu. Bagaimana jika kabar itu justru membuat pria itu semakin menjauh? Bagaimana jika bayi yang ia kandung tak diinginkan?
Langkah-langkah kecilku terdengar begitu jelas di lantai marmer rumah mewah itu. Malam semakin larut, tetapi aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Dingin di dalam kamar bukan hanya berasal dari pendingin ruangan, melainkan juga dari sikap dingin seorang lelaki yang kini sah menjadi suamiku. "Kenapa aku begitu bodoh?" bisikku lirih sambil menatap jendela. Bayangan pernikahan sederhana kami sore tadi masih terus terputar dalam ingatanku. Aku bisa mengingat dengan jelas bagaimana bibirnya terkatup rapat saat penghulu mengucapkan ijab qabul. Tak ada senyum, tak ada tatapan hangat. Hanya wajah kaku, dingin, dan penuh penolakan. Aku menggigit bibir bawahku, menahan perih yang menyayat di dalam dada. "Harusnya aku bahagia, tapi kenapa aku justru merasa seperti tawanan di rumahku sendiri?" Pikiranku berlari pada sosok lelaki itu, Adrian. Suami sahku. Lelaki yang dulu hanya kukenal sebagai sosok jauh, dingin, bahkan menakutkan. Tidak pernah sekalipun aku membayangkan dia yang aka
Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku sendiri. Wajahku pucat, mata sembab karena terlalu sering menangis. Sejak malam pernikahan, air mataku tak pernah benar-benar berhenti. Semua terasa hambar, bahkan gaun tidur yang kupakai tak pernah benar-benar disentuh oleh suamiku. Andra, suamiku, selalu pulang larut malam. Kadang dengan jas yang masih menempel rapi, kadang dengan kemeja kusut yang menyisakan aroma parfum asing. Hatinya dingin, kata-katanya kaku, dan tatapannya menusuk seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. Namun yang paling menyiksa bukan hanya dinginnya sikapnya, melainkan rahasia yang kusembunyikan dari semua orang. Rahasia yang membuatku harus terus berpura-pura tegar, meski dalam hati aku hancur. --- Malam itu, hujan turun deras. Aku menunggu Andra di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi ia belum juga pulang. Teleponku diabaikan, pesanku tidak pernah dibalas. Aku menggenggam perutku dengan lembut, meski samar
Malam itu, setelah semua tamu undangan pulang dan pesta pernikahan berakhir, aku duduk sendirian di kamar yang kini resmi disebut kamar pengantin. Gaun putih yang tadi kupakai sudah kuganti dengan daster sederhana, namun perasaan asing tetap memenuhi dadaku. Suamiku—lelaki yang kini sah menjadi imamku—sedikit pun tidak menunjukkan ekspresi hangat. Tatapannya dingin, seolah aku bukan istrinya, seolah aku hanyalah orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya. "Aku tidur di sofa," ucapnya singkat sambil menurunkan jas pengantin dan meletakkannya di kursi. Deg. Hatiku bergetar sakit. Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk tanpa ampun. Bukankah malam ini seharusnya menjadi malam penuh kebahagiaan? Bukankah malam pertama adalah awal yang manis bagi pasangan halal? Tapi suamiku justru memilih jarak, memilih dingin, memilih diam. Aku mencoba menahan air mata. "Kenapa?" tanyaku lirih, hampir tak terdengar. Dia menoleh sekilas, tatapannya tajam, lalu kembali menghela napas. "Aku le
Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna. Aku resmi menjadi istrinya. Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku. Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya. Tapi kenyataannya? Malam pertamaku terasa seperti neraka. Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun. “Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen