Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku

Suami Dingin, Ternyata Ayah dari Bayiku

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-08-16
Oleh:  NurakilaOn going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
5Bab
9Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Pernikahan Kiara dengan Ardan, pria tampan sekaligus dingin, awalnya hanyalah sebuah kesepakatan tanpa cinta. Ardan yang arogan dan selalu menjaga jarak, membuat Kiara merasa dirinya hanyalah pelengkap dalam hidup pria itu. Namun takdir berkata lain ketika Kiara mengetahui dirinya mengandung bayi dari suami yang bahkan tak pernah benar-benar menganggapnya istri. Saat rahasia itu terungkap, Ardan justru semakin sulit ditebak. Pria yang selalu dingin dan tak peduli, tiba-tiba menunjukkan sisi lain yang membuat Kiara bingung—apakah semua ini hanya karena bayi itu, ataukah ada perasaan yang diam-diam ia sembunyikan? Di tengah rumah tangga penuh rahasia, hadir pula masa lalu yang mengusik dan orang ketiga yang berusaha menghancurkan. Kiara harus memilih: bertahan demi bayi kecilnya, atau melepaskan hati yang diam-diam jatuh pada sang suami dingin yang ternyata ayah dari bayinya. Cinta, kebohongan, dan luka berpadu dalam kisah penuh emosi ini. Akankah pernikahan tanpa cinta itu berakhir bahagia, atau justru menjadi penjara selamanya?

Lihat lebih banyak

Bab 1

Bab 1 Malam Pertama yang Membeku

Aku masih bisa merasakan detak jantungku yang berpacu kencang malam itu. Gaun pengantin putih yang kupakai terasa terlalu berat, seolah menindih dadaku. Di cermin kamar hotel yang megah ini, wajahku terlihat pucat meski polesan make-up masih menempel sempurna.

Aku resmi menjadi istrinya.

Istri dari seorang pria yang sama sekali tidak mencintaiku.

Namanya Ardan Prasetya. CEO muda yang dikenal dingin, berwibawa, dan tak pernah mau dekat dengan perempuan manapun. Semua orang di pesta pernikahan tadi memandang iri padaku, seolah aku adalah perempuan paling beruntung di dunia karena berhasil menikah dengannya.

Tapi kenyataannya?

Malam pertamaku terasa seperti neraka.

Ardan tidak pernah menoleh ke arahku sejak kami masuk kamar hotel ini. Ia sibuk membuka jas hitamnya, meletakkannya asal di kursi, lalu duduk di sofa sambil membuka laptopnya. Seolah-olah pernikahan kami hanyalah kontrak bisnis tanpa arti apa pun.

“Bukankah… seharusnya malam ini kita—” aku memberanikan diri bicara, meski suaraku bergetar.

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, tatapan matanya yang tajam membuatku tercekat.

“Jangan berharap apa-apa dariku.” Suaranya dingin, nyaris tanpa emosi. “Pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan orang tuaku. Jadi, jangan pernah menganggap lebih.”

Dadaku seketika terasa sesak. Kata-katanya seperti pisau yang menusuk jantungku.

“Ardan…” aku berbisik, mencoba menahan air mata. “Aku ini istrimu…”

“Istri di atas kertas,” potongnya cepat. “Jangan pernah berpikir lebih dari itu.”

Aku menunduk, tanganku meremas gaun pengantin dengan kencang. Hatiku hancur, remuk, bahkan sebelum pernikahan ini benar-benar dimulai. Aku tak pernah menyangka lelaki yang dulu hanya bisa kulihat di layar televisi, lelaki yang kukagumi dalam diam, kini resmi menjadi suamiku… tapi juga orang pertama yang membuatku merasakan luka paling dalam.

Aku berbalik, berjalan pelan menuju ranjang besar berhias bunga mawar putih. Duduk di ujungnya, aku hanya bisa menatap lantai kosong, sementara Ardan sibuk mengetik di laptopnya.

Malam pertamaku… berakhir tanpa sentuhan.

--

Hari-hari setelah itu pun tak jauh berbeda.

Ardan selalu pulang larut malam, bahkan kadang tidak pulang sama sekali. Jika pun pulang, ia lebih memilih tidur di sofa daripada sekadar berbagi ranjang denganku.

Aku mencoba bersabar. Aku berusaha menjadi istri yang baik. Setiap pagi menyiapkan sarapan, menyambutnya dengan senyum, bahkan menungguinya pulang hingga larut malam. Tapi balasannya selalu sama: tatapan dingin, sikap acuh, dan kata-kata yang menusuk.

“Kenapa kamu masih di sini? Pergilah tidur. Jangan tunggu aku,” katanya suatu malam ketika melihatku masih duduk di ruang tamu menantinya.

“Karena aku istrimu… aku hanya ingin—”

“Cukup!” suaranya meninggi, membuatku terdiam. “Aku tidak butuh perhatianmu. Jangan buang waktumu untuk sesuatu yang sia-sia.”

Air mataku jatuh begitu saja. Aku tidak pernah mengerti, kenapa Ardan begitu membenciku? Padahal aku tidak pernah melakukan kesalahan padanya.

Hingga malam itu tiba.

Malam ketika semuanya berubah.

---

Hujan turun deras, petir menyambar-nyambar langit malam. Aku duduk di teras rumah, menatap jalan kosong dengan perasaan cemas. Sudah lewat tengah malam, tapi Ardan belum juga pulang. Ponselnya tidak bisa dihubungi.

Tiba-tiba, suara deru mobil terdengar mendekat. Aku segera berdiri, berharap itu mobil Ardan. Benar, mobil hitamnya berhenti di depan rumah. Tapi ketika pintu terbuka, aku terperanjat.

Ardan keluar dengan langkah sempoyongan, wajahnya pucat, dan kemejanya basah kuyup oleh hujan.

“Ardan!” aku panik, segera berlari menghampirinya.

Ia hampir terjatuh, dan aku menahan tubuhnya dengan sekuat tenaga. “Astaga, kamu kenapa? Kamu sakit?”

Ardan tidak menjawab. Ia hanya terengah-engah, tubuhnya panas sekali ketika kugenggam. Tanpa pikir panjang, aku membawanya masuk, menuntunnya ke kamar, lalu menyiapkan air hangat untuk mengompresnya.

Malam itu untuk pertama kalinya aku melihat sisi lain dari seorang Ardan. Ia bukan pria dingin yang selalu menatapku dengan benci, melainkan seorang manusia yang rapuh, kelelahan, dan butuh dirawat.

Saat ia tertidur, aku duduk di sampingnya. Air mata menetes lagi, tapi kali ini bukan karena sakit hati. Aku sadar, entah bagaimana… aku benar-benar mencintainya.

Aku tak tahu apakah cintaku ini akan berbalas suatu hari nanti. Tapi malam itu aku berjanji dalam hati, apapun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisinya.

Aku tidak tahu, bahwa janji itu kelak akan menyeretku pada rahasia besar.

Rahasia tentang Ardan…

Rahasia tentang diriku…

Dan rahasia tentang bayi yang kini sedang tumbuh di dalam rahimku.

Langkah-langkah kakinya terdengar semakin menjauh. Pintu kamar itu kini benar-benar menutup rapat, menyisakan aku dalam keheningan yang menusuk. Hanya detak jam dinding dan isakanku sendiri yang terdengar di ruang luas itu.

Kupandangi cincin yang melingkar di jariku. Cincin yang tadi sore disematkan dengan janji suci di hadapan penghulu, keluarga, dan seluruh tamu undangan. Semua terlihat sempurna di mata orang lain—pernikahan indah, pengantin bahagia, doa-doa yang terucap. Namun siapa yang tahu, di balik senyumku tadi, ada luka yang kian dalam.

Kupeluk tubuhku sendiri, berusaha menenangkan gejolak batin. “Ya Allah… jika memang ini takdirku, kuatkan aku. Jangan biarkan aku goyah.” Aku berbisik lirih, meski air mata terus bercucuran tanpa henti.

Bayangan masa lalu pun terlintas. Aku menikah dengan seorang pria yang bahkan tak pernah menatapku dengan hangat. Bukankah pernikahan seharusnya dimulai dengan kasih sayang? Lalu mengapa aku justru merasa seperti seorang asing di rumah tanggaku sendiri?

Aku mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin ia hanya butuh waktu. Mungkin dinginnya hanyalah cara dia melindungi perasaannya. Tapi hatiku tetap saja meronta, menginginkan sebuah kepastian.

Aku berjalan pelan menuju cermin besar di sudut kamar. Wajahku tampak pucat, mata sembab karena terlalu banyak menangis. Aku menyentuh kaca, seolah ingin berbicara dengan diriku sendiri.

“Apa aku salah? Apakah aku yang terlalu berharap banyak?” gumam ku, nyaris tanpa suara.

Namun sebelum sempat aku menjawab pertanyaan itu sendiri, pintu kamar kembali terbuka. Tubuhku refleks menegang, jantungku berdebar kencang. Aku berharap ia kembali, mungkin berubah pikiran, mungkin ingin menatapku kali ini.

Tapi bukan dia. Yang muncul hanyalah pelayan rumah tangga yang membawakan segelas susu hangat. “Nyonya, ini pesan dari Tuan. Katanya, Anda harus istirahat. Jangan terlalu banyak menangis.”

Seketika, dadaku serasa diremas. Ia tahu aku menangis… tapi tetap memilih menjauh. Ia peduli, tapi dari jarak yang jauh, dingin, tanpa sedikitpun sentuhan hangat. Bukankah itu lebih menyakitkan daripada ketidakpedulian sama sekali?

Ku genggam gelas itu dengan tangan bergetar. Aku ingin menolak, ingin berteriak bahwa aku tak butuh susu, aku hanya butuh dirinya. Namun yang keluar dari bibirku hanyalah bisikan serak, “Terima kasih…”

Pelayan itu pergi, meninggalkan aku kembali dalam kesunyian.

Aku duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu. Malam pertamaku seharusnya menjadi malam yang indah, penuh doa, penuh cinta. Tapi justru berubah menjadi malam yang penuh tanya dan luka.

Aku berbaring, menarik selimut hingga menutupi tubuhku. Mataku kembali basah, meski aku sudah lelah menangis. Sebelum terlelap, hanya satu doa yang kupanjatkan—semoga esok lebih baik, semoga esok ada secercah hangat yang bisa kurasakan darinya.

Namun, jauh di dalam hati, aku tahu… ini baru permulaan dari luka panjang yang harus ku tanggung.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
5 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status